Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Gilang Bayu Rakasiwi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Ayreee (bicara | kontrib)
Baris 46:
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh [[Pangeran Mangkubumi|Sultan Hamengku Buwono I]] beberapa bulan pasca [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]]. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan<ref>''Pesanggrahan'' bermakna 'istana kecil' atau 'vila'</ref> yang bernama ''Garjitawati''. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di [[Imogiri]]. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, ''Umbul Pacethokan'', yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di ''Pesanggrahan Ambar Ketawang'' yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten [[Sleman]].<ref>Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Pesanggrahan Ambar Ketawang ke Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756. Tanggal ini kemudian dijadikan tanggal berdirinya Kota Yogyakarta.</ref>
 
Secara fisik [[istana]] para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan).<ref>Murdani Hadiatmadja. Tulisan ini selain menggunakan bahan referensi yang diterbitkan juga menggunakan cerita-cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat.</ref><ref>Penamaan kompleks/bagian dari Keraton Yogyakarta, begitu pula dengan bangunan maupun lain-lain yang terkait, sengaja menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut merupakan suatu kesatuan makna. Untuk terjemahan dalam bahasa Indonesia, apabila ada/memungkinkan, akan diberikan di dalam tanda kurung (…). Terjemahan hanya dilakukan sekali saat bagian, gedung, atau yang lain disebutkan untuk pertama kalinya. Untuk seterusnya tidak diberikan keterangan mengingat keterbatasan tempat.</ref> Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu [[Situs Warisan Dunia UNESCO]].
 
== Tata ruang dan arsitek ==
Baris 52:
=== Tata ruang ===
[[Berkas:Jogja.kraton2.jpg|jmpl|240px|Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno]]
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari [[Gapura]] Gladhag di utara sampai di Plengkung<ref>Plengkung bermakna gerbang lengkung (arched gate).</ref> Nirboyo di selatan. Kini, bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Masjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks [[Sasana Hinggil Dwi Abad|Siti Hinggil Kidul]] (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta [[Alun-alun Kidul]] (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing.<ref>Chamamah Soeratno et. al. (Buku dari Chamamah Soeratno et. al. banyak berisi ilustrasi terutama foto yang sangat membantu dalam hal arsitektur dan kadang foto-foto tersebut menjelaskan lebih banyak detail arsitektur dibandingkan dengan teks yang ada. Banyak keterangan dari foto-foto tersebut yang digunakan dan diuraikan di sini).</ref><ref>Murdani Hadiatmadja. Murdani hanya menyebutkan bagian utama dari Keraton Yogyakarta mulai dari Siti Hinggil Ler sampai Siti Hinggil Kidul. Untuk arsitektur dan tata ruang, termasuk detailnya, buku dari Murdani dan Chamamah banyak digunakan.</ref>
 
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Baris 77:
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan<ref>Pangurakan berasal dari kata “urak” dapat dimaknai daftar jaga atau pengusiran.</ref> yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis.<ref>Chamamah Soeratno et. al. begitu pula dengan Murdani Hadiatmadja.</ref> Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan.<ref name="Murdani Hadiatmadja">Murdani Hadiatmadja.</ref>
 
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet.<ref name="ReferenceA">Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).</ref> Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak ada.<ref name="On location Desember 2007">On location [[Desember]] [[2007]]</ref> Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiri.<ref name="On location Desember 2007"/> Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun LerLor.
 
=== Alun-alun Lor ===