Jainisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 13:
 
Melalui hal itulah, dapat disaksikan bahwa proses tiga lapis ini terjadi pula dalam kisah Mahavira. Setelah pencerahanya, diriwayatkan bahwa ia berkhotbah di kuil roh pohon di hadapan raja dan ratu Champa, serta sekerumunan besar asketik, dewa, orang awam, dan binatang. Para murid Mahavira yang menyimak khotbah tersebut kemudian menyampaikan pesannya secara lisan, sehingga menjadi sebuah ''sutta''. Namun, ini hanya merupakan “indikasi” kata-kata Mahavira. Ia menuturkan kebenaran yang abadi dan tetap, yang seperti alam semesta itu sendiri, tak berawal dan telah disampaikan pula oleh para “manusia tercerahkan” pada era-era sebelumnya. ''Sutta'' tidak merekam kata-kata Mahavira sendiri, tetapi sebuah komentar semata terhadap pesannya.
 
Ini barangkali dapat menjelaskan keyakinan kuat umat Jaina bahwa kitab-kitab suci meraka tidak lengkap dan bahwa kebenaran-kebenaran penting telah hilang–sebuah tema yang kita jumpai pula dalam tradisi-tradisi lain. Ada pernyataan bahwa setiap dari 24 ''tithankara'' mengajarkan doktrin ''ahimsa'' kepada lingkaran muridnya, dan pada setiap masa para murid merekam ajaran-ajaran sang guru dalam empat belas kitab suci. Namun, tragisnya setelah kematian setiap ''tithankara,'' para murid yang bertanggung jawab menyampaikan ajarannya tewas dalam bencana kelaparan, sehingga sehingga ajaran-ajaran yang penting pun hilang. Oleh karenanya, setiap kali seorang ''tithankara'' wafat, umat Jaina selalu hanya mendapat kanon kitab suci yang tidak lengkap. Kitab-kitab suci yang tersisa sedikit itu hanya mengabadikan doktrin-doktrin yang kurang penting dan diperentukkan bagi perempuan dan anak-anak, karena hanya lelaki yang mampu memahami ajaran-ajaran yang lebih tinggi. Umat Jaina mencoba memperbaiki kelemahan metode pewarisan kitab suci mereka melalui serangkaian siding (''vacana''). Sidang pertama digelar pada pertengahan abad ke-3 SM di Pataliputra, dan sidang kedua serta ketiga digelar pada abad ke-4 dan ke-5 M. Terjemahan yang lebih akurat dari ''vacana'' adalah “wacana” atau “pembacaan”. Tidak ada debat intelektual dalam sidang-sidang ini; peserta menyimak para biarawan membacakan kitab-kitab suci yang mereka hafalkan.
 
== Konsep pemahaman ==