I Gusti Ngurah Rai: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: pranala ke halaman disambiguasi |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
Baris 2:
|name = I Gusti Ngurah Rai
|image = Lukisan I Gusti Ngurah.jpg
|caption =Lukisan Ngurah Rai
|birth_date = {{Birth date|1917|1|30}}
|death_date = {{Death date and age|1946|11|20|1917|1|30}}
Baris 14:
|battles = Pertempuran Margarana
|awards = [[Pahlawan Nasional Indonesia]]
|spouse = [[Desak Putu Kari
|children = [[I Gusti Ngurah Gede Yudana]]
[[I Gusti Ngurah Tantra]]
[[I Gusti Ngurah Alit Yudha]]
|religion = [[Hindu]]}}
[[Brigadir Jenderal]] [[TNI]] ([[Anumerta]]) '''I Gusti Ngurah Rai''' ({{lahirmati|[[Carangsari, Petang, Badung|Carangsari]], [[Petang, Badung|Petang]], [[Kabupaten Badung|Badung]]|30|1|1917|[[Marga, Tabanan]]|20|11|1946}}) adalah seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional]] [[Indonesia]] dari [[Kabupaten Badung]], [[Bali]].
Baris 25 ⟶ 24:
Bersama 1.372 anggotanya pejuang [[Monumen MBO DPRI SK|MBO (Markas Besar Oemoem)]] [[Monumen MBO DPRI SK|Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil]] (DPRI SK) dibuatkan nisan di [[Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden]], [[Candi Marga]], Tabanan. Detail perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan resimen CW dapat disimak dari beberapa buku, seperti "Bergerilya Bersama Ngurah Rai" (Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa peraih "''Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993''", buku "Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai" (Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau buku "Puputan Margarana Tanggal [[20 November]] [[1946]]" yang disusun oleh [[Wayan Djegug A Giri]] (Denpasar: YKP, 1990).
== Kehidupan awal ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Den Passar straatbeeld. TMnr 60008142.jpg|thumb|left|260px|Kota Denpasar selama hari-hari sekolah Ngurah Rai]]
I Gusti Ngurah Rai lahir pada [[30 Januari]] [[1917]] di desa [[Carangsari, Petang, Badung|Carangsari]], distrik [[Petang, Badung|Petang]], [[Kabupaten Badung]], [[Bali selatan]], [[Hindia Belanda]] (sekarang [[Indonesia]]). Ia berasal keluarga kaya yang berasal dari bangsawan. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan [[I Gusti Ngurah Palung]] dan [[I Gusti Ayu Kompyang]]. Pada saat Rai lahir, ayahnya adalah seorang camat kabupaten Petang.
Kerabat dan warga desa mengingat Ngurah Rai sebagai anak yang ramah dan energik yang menyukai permainan luar ruangan dan berbagai silat gulat Indonesia.
== Pendidikan dan karier militer ==
Sesampainya di rumah, Ngurah Rai tidak belajar selama lebih dari dua tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap.
I Gusti Ngurah Rai tertarik dengan dunia militer sejak kecil, Ngurah Rai bergabung dengan HIS Denpasar lalu melanjutkan dengan MULO yang ada di Malang. Tak cukup sampai di sana, ia kemudian bergabung dengan sekolah kader militer, [[Prayodha Bali]], [[Gianyar]]. Pada tahun 1940, Ngurah Rai dilantik sebagai Letnan II yang kemudian melanjutkan pendidikan di [[Corps Opleiding Voor Reserve Officieren|''Corps Opleiding Voor Reserve Officieren'' (CORO)]], [[Kota Magelang|Magelang]] dan Pendidikan Artileri, [[Kota Malang|Malang]].
Di sekolah yang terletak di distrik Gianyar di tenggara pulau itu, Rai memiliki prestasi akademik yang baik, secara mandiri menguasai beberapa mata pelajaran tambahan, khususnya bahasa Inggris. Terlepas dari miniatur - bahkan menurut standar orang Bali pada paruh pertama abad ke-20 - kulit (tinggi Ngurah Rai hanya 154 sentimeter dan beratnya bahkan pada usia yang lebih tua tidak melebihi 45 kilogram), ia berhasil mengatasi masalah fisik. pengerahan tenaga yang diperlukan pelatihan militer.
Setelah lulus dari perguruan tinggi dengan pangkat letnan dua pada tahun 1940, Rai dikirim ke kursus perwira jangka pendek di Magelang, dari mana pada tahun yang sama ia juga dipindahkan untuk pelatihan ulang yang dipercepat ke sekolah artileri di Malang, yang sudah dikenalnya dari studi sekolah.
Pada [[masa kependudukan Jepang]], Ngurah Rai sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan Lombok berkat bekal ilmu kemiliteran yang telah diperolehnya semasa muda dan pribadinya yang cerdas <ref>{{Cite web|url=http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/Yuk%20Kenali%20Pahlawan%20Kita%20Melalui%20Permainan%20Monas%20dan%20Kwarnas%20(Rachmawati).pdf|title=Yuk Kenali Pahlawan Kita Melalui Permainan|last=|first=Rachmawati|date=November 2018|website=Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan|access-date=13 Juni 2020}}</ref>. Setelah kabar Indonesia merdeka pada tahun 1945 akhirnya sampai di Bali, BKR berganti nama menjadi [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR) Sunda Kecil di mana ia sebagai komandannya. Sebagai komandan TKR Sunda Kecil, Ngurah Rai merasa perlu untuk melakukan konsolidasi dengan pimpinan TKR pusat di mana saat itu bermarkas di Jogjakarta. Sampai di Jogjakarta, Ngurah Rai dilantik menjadi komandan resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel.
Tahun 1945 setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, ia bersama dengan rekan militernya ikut membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil, kemudian ia diangkat menjadi komandannya. Berbekal rasa tanggung jawab sebagai Komandan TKR, I Gusti Ngurah Rai pergi ke Yogyakarta yang menjadi markas besar TKR untuk berkonsolidasi dengan pimpinan pusat.
Kembali dari Yogyakarta dengan bantuan persenjataan, Ngurah Rai mendapati bahwa Belanda telah menduduki Bali dengan mempengaruhi raja-raja Bali. Sebanyak kurang lebih 2000 pasukan dengan persenjataan lengkap dan sejumlah pesawat terbang yang berhasil dihimpun Belanda telah siap berperang menyerang Ngurah Rai dan pasukan kecilnya. Pertempuran tersebut dilatar belakangi dengan kekecewaan Ngurah Rai atas hasil dari perjanjian Linggarjati antara Belanda dan pemerintah Indonesia. Dalam perjanjian tersebut menyebutkan bahwa pemerintah Belanda mengakui kekuasaan Indonesia yang meliputi pulau Jawa, Madura dan Sumatera. Sedangkan Bali diakui menjadi bagian dari negara Indonesia timur buatan Belanda.
Bersama Ciung Wanara, pasukan kecil Ngurah Rai, pada tanggal 18 November 1946 menyerang Tabanan yang menghasilkan satu datasemen Belanda dengan persenjataan lengkap menyerah. Hal ini memicu Belanda untuk membalas pertempuran lebih sengit dan mengerahkan kekuatannya yang ada di seluruh pulau Bali dan Lombok untuk membalas perbuatan Ngurah Rai. Dalam pertempuran tersebut, pertahanan demi pertahanan yang dibentuk Ngurah Rai hancur hingga sampai pada pertahanan terakhir Ciung Wanara, desa Margarana, Ngurah Rai dan pasukannya berhasil dipukul mundur lantaran seluruhnya jatuh ke dalam jurang yang dalam. Perang tersebut akhirnya dikenal dengan perang Puputan Margarana karena sebelum gugur Ngurah Rai sempat meneriakkan kata puputan yang berarti perang habis-habisan. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 November 1946.
Berkat usahanya tersebut, Ngurah Rai mendapatkan gelar [[Bintang Mahaputra]] dan kenaikan pangkat menjadi [[Brigjen TNI]] (anumerta). Tak hanya itu, ia juga mendapatkan gelar [[Pahlawan Nasional]] berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://m.merdeka.com/i-gusti-ngurah-rai/profil/|title=Profil - I Gusti Ngurah Rai|website=merdeka.com|language=en|access-date=2020-06-13}}</ref>.
▲Tahun 1945 setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, ia bersama dengan rekan militernya ikut membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil, kemudian ia diangkat menjadi komandannya. Berbekal rasa tanggung jawab sebagai Komandan TKR, I Gusti Ngurah Rai pergi ke Yogyakarta yang menjadi markas besar TKR untuk berkonsolidasi dengan pimpinan pusat. Saa itu juga, ia dilantik menjadi Komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel.<ref name=":0" /> TKR Sunda Kecil di bawah pimpinannya, dengan kekuatan 13,5 kompi ditempatkan tersebar diseluruh kota di Bali, saat itu pasukannya dikenal dengan nama [[Ciung Wanara]].<ref>{{Cite web|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8207/1/SEJARAH%20KOTA%20DENPASAR%201945-1979.pdf|title=Sejarah Kota Denpasar 1945 - 1979|last=Gde Putra Agung|first=A.A.|date=Juli 1986|website=Layanan Informasi Publikasi Bidang Pendidikan dan Kebudayaan|access-date=13 Juni 2020}}</ref>
== Pengabadian ==
|