Danurejo II: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: kemungkinan menambah konten tanpa referensi atau referensi keliru Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 11:
Setelah kakeknya wafat pada 19 Agustus 1799, Tumenggung Mertonegoro yang belum genap berusia 28 tahun diangkat menjadi patih menggantikan kakeknya dengan gelar Danurejo II {{Sfn|Carey|2015|p=224}}{{Sfn|Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat|2018}} Ia menjabat sejak 9 September 1799 berdasarkan perjanjian HB II dan VOC. Pada masa itu, pengangkatan dan pemberhentian patih di kesultanan Jawa, baik [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]] maupun [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Kesunanan Surakarta]], harus dengan persetujuan dan perjanjian dengan [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Gubernur Jenderal Hindia-Belanda]].{{Sfn|Carey|2015|p=293}}
Hamengkubuwana II tidak menyukai Danurejo II selama menjabat sebagai patih karena Patih Danuredjo dianggap terlalu lugu, dan naif dalam politik, tidak punya pengalaman administrasi, dan tidak tegas menghadapi lawan-lawannya dan para pengkritiknya. Ia dianggap tidak mampu menanggung beban jabatannya sesuai yang diinginkan oleh Hamengkubuwana II. Bahkan Danurejo II sering dilecehkan oleh Hamengkubuwono II dengan menyebutnya sebagai lelaki yang belum dewasa dan memanggilnya dengan sebutan "anak laki-laki" ([[Bahasa Jawa]]: ''tholé''). Residen Yogya, van Ijsseldijk (1786-1798), mengatakan selama menjadi asisten Danurejo I, ia sebenarnya punya ketaatan dan ketakutan yang besar terhadap Sultan HB II sehingga urusan kesultanan lebih banyak berasal dari ide-ide pribadi Sultan dibanding aturan-aturan keadilan.{{Sfn|Carey|2015|p=224}}
J.G. van den Berg yang menjabat sebagai Residen Yogya pada 1798-1803, menilai Danurejo II adalah administrator yang buruk dan lebih suka bersenang-senang dibanding melaksanakan tugasnya sebagai patih. Suatu ketika Sultan HB II memberikan denda yang berat karena ia lalai tidak menghadiri acara [[selamatan]] untuk mendiang Ratu Bendara—anak HB I dan istri [[Mangkunegara I|Mangkunegara I—]]<nowiki/>yang baru saja wafat.{{Sfn|Carey|2015|p=224}} Bahkan konon ada cerita bahwa Danurejo II berperan menyediakan gadis muda bagi HB III. Salah satu wanita itu diduga berasal dari Keraton Surakarta.{{Sfn|Carey|2015|p=224-225}}
Ditambah lagi, Danurejo II
Dukungan Danurejo II terhadap Sultan Raja Hamengkubuwono III juga menimbulkan banyak keresahan dan kekesalan Sultan Sepuh HB II dan membuat Danurejo II dimusuhi banyak orang di istana terutama kubu dari Ratu Kencono Wulan. Di antaranya [[Paku Alam I|Pangeran Notokusumo]], adik HB II, yang menjadi [[musuh bebuyutan]] Danurejo II dan Ratu Kencono Wulan, permaisuri ketiga HB II sekaligus [[besan]] Notokusumo. Putri sulung Ratu Kencono Wulan menikah dengan anak Notokusumo, [[Paku Alam II|Pangeran Notodiningrat]]. Kedua orang ini memiliki misi untuk menggulingkan Danurejo II dan mengangkat Notodiningrat sebagai penggantinya.{{Sfn|Carey|2015|p=225}} Terlebih lagi, dengan adanya [[Pemberontakan Raden Ronggo]] pada 1810, Notokusumo dan Notodiningrat
Puncak kekesalan Sultan HB II pada Danurejo II bermuara pada April 1810 ketika sultan meminta izin [[Herman Willem Daendels|Daendels]] untuk memecat patihnya dan menggantikannya dengan Raden Mas Tumenggung Sindunegoro. Namun, hal itu ditolak Daendels karena Sindunagara dianggap terlalu tua dan kurang berbakat dalam administrasi untuk jabatan sepenting ini, dan pengangkatan tersebut dianggap sepihak dan tidak sah. Residen Surakarta, van Braam, mendapat tugas dari Daendels untuk mengembalikan hubungan sultan dengan patihnya tetapi ia tidak berhasil mengubah pikiran sultan. Justru sebaliknya, Danurejo II malah kehilangan sebagian besar kekuasaan dan tanggung jawabnya. Pada Oktober 1810, Danurejo II kehilangan semua tanggung jawab administrasi internal yang diambil alih oleh Pangeran Notodiningrat. Perdana menteri Yogya itu hanya diberi tugas mengatur urusan di ''mancanegara'' dan hubungan Keraton Yogyakarta dengan Keraton Surakarta dan pemerintah Hindia-Belanda. Namun, ruang geraknya pun dibatasi karena setiap kunjungan ke karesidenan harus didampingi Pangeran Notodiningrat dan Sindunagara sebagai wakilnya. Pada akhir Agustus 1810, Hamengkubuwana II juga menunjuk orang kepercayaannya dan mantan pengawal pribadinya, Raden Tumenggung Purwadipura, untuk menjadi asisten resmi sekaligus mengikuti gerak-gerik Danurejo II.{{Sfn|Carey|2015|p=227}} Ia bahkan dilarang [[sungkem]] kepada Sultan Hamengkubawana II pada saat [[Idulfitri]].{{Sfn|Carey|2015|p=235}}{{Sfn|Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat|2018}}
|