Burhanuddin Harahap: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 71:
Pada bulan Januari 1957, Masyumi mundur dari koalisi pemerintah karena gesekan dengan partai-partai lainnya. Sebelum jatuhnya kabinet Ali II pada bulan Maret, Burhanuddin sempat mencoba mencari kompromi dengan mengusulkan agar Soekarno lebih aktif turun dalam pemerintahan sehari-hari.{{sfn|Madinier|2015|pp=232-237}} Pada akhir tahun itu juga, sidang umum PBB memutuskan untuk tidak membahas urusan Irian Barat, sehingga Soekarno memerintahkan [[nasionalisasi]] perusahaan-perusahaan milik Belanda. Hal ini diikuti percobaan pembunuhan Soekarno ([[Peristiwa Cikini]]).{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}}{{sfn|Madinier|2015|pp=248-249}} Karena kebijakan mereka yang mendukung investasi asing, Burhanuddin dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya seperti [[Mohammad Natsir]] dan [[Syafruddin Prawiranegara]] menjadi sorotan media. Sejumlah koran pro-PNI dan pro-PKI mulai menuding bahwa Burhanuddin dan rekan-rekannya terlibat dalam Peristiwa Cikini, dan para tokoh mulai menerima teror psikologis. Burhanuddin didesas-desuskan telah meninggal, dan bahkan sejumlah anggota keluarganya dari Sumatra "melayat" Burhanuddin di Jakarta.{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}}{{sfn|Madinier|2015|pp=248-249}} Pada Desember 1957, Burhanuddin memutuskan untuk melarikan diri ke Sumatra begitu ia mendengar bahwa ia akan ditangkap. Tak lama kemudian, para tokoh Masyumi lainnya juga hijrah.{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}}{{sfn|Madinier|2015|p=249}}
 
Burhanuddin sudah berada di [[Padang]] pada pertengahan Januari 1958, dan ia turut menghadiri pertemuan dengan sejumlah perwira militer yang berniat memberontak di [[Sungai Dareh, Pulau Punjung, Dharmasraya|Sungai Dareh]], [[Kabupaten Dharmasraya]], [[Sumatra Barat]].{{sfn|Madinier|2015|p=250}} Burhanuddin belakangan menulis bahwa para perwira tersebut berniat memisahkan Sumatra sebagai negara sendiri, sementara Burhanuddin beserta para pemimpin Masyumi lainnya ingin Sumatra tetap menjadi bagian Indonesia.{{sfn|Busyairi|1989|p=145}}{{sfn|Madinier|2015|p=251}} Soekarno sedang berada di luar negeri pada waktu itu, dan Perdana Menteri [[Djuanda Kartawidjaja]] mencoba berunding dengan pihak-pihak di Sumatra. Tokoh Masyumi yang masih berada di Jakarta seperti [[Mohammad Roem]] juga mencoba membujuk Burhanuddin dan rekan-rekannya untuk tidak membentuk pemerintah tandingan.{{sfn|Kahin|1999|p=208}}{{sfn|Madinier|2015|p=252}} Meskipun begitu, pihak militer di Sumatra di bawah Kolonel [[Ahmad Husein]] mengirimkan ultimatum ke pemerintah pusat pada tanggal 10 Februari 1958, yang isinya menuntut pembubaran [[Kabinet Djuanda]] dan penyusunanpembentukan kabinet baru di bawah [[Mohammad Hatta]] dan Sultan [[Hamengkubuwono IX]].{{sfn|Madinier|2015|p=252}}{{sfn|Kahin|1999|pp=210-211}} Setelah ultimatum tersebut ditolak pemerintah pusat, [[Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia]] dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang. Dalam struktur kabinet PRRI, Burhanuddin ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Keadilan.{{sfn|Madinier|2015|p=252}}{{sfn|Kahin|1999|pp=210-211}} Menurut Burhanuddin, ia tadinya setuju menjadi Menteri Dalam Negeri dan masih ragu-ragu untuk membentuk pemerintah tandingan, tetapi sayap militer PRRI melakukan perombakan kabinet tanpa berbicara dengan Burhanuddin.{{sfn|Busyairi|1989|p=153}}{{sfn|Madinier|2015|p=253}}
 
Tidak lama setelah deklarasi PRRI, operasi militer TNI mendesak PRRI ke luar dari kota-kota besar di Sumatra. Pada bulan Mei 1958, Padang, [[Medan]], dan [[Pekanbaru]] sudah direbut kembali oleh pemerintah. Kinerja militer PRRI yang mengecewakan juga menyebabkan dukungan asing (khususnya [[Amerika Serikat]]) surut.{{sfn|Kahin|1999|pp=214-216}}{{sfn|Madinier|2015|p=257}} PRRI mulai meluncurkan [[perang gerilya]], dan Burhanuddin turut serta denganmendampingi Kolonel [[Dahlan Djambek]] di basisnya sekitar [[Kabupaten Agam]].{{sfn|Kahin|1999|p=218}} Operasi militer pemerintah pusat perlahan-lahan mendorongmemaksa Burhanuddin dan Dahlan untuk mundur lebih lanjut ke hutan, sampai markas terakhir PRRI di [[Koto Tinggi, Baso, Agam|Koto Tinggi]] direbut pemerintah pada bulan Juli 1960. Setelah kehabisantidak markaslagi bermarkas tetap, para pemimpin sipil PRRI tidak lagi memegang kontrolmengendalikan pergerakan tersebut.{{sfn|Kahin|1999|p=225}}
 
Mulai tahun 1961, KSAD [[Abdul Haris Nasution]] meluncurkan program amnesti sembari berunding dengan para perwira militer PRRI. Ahmad Husein menyerah pada tanggal 21 Juni 1961, dan setelah itu para pemimpin sipil menyadari bahwa PRRI sudah kalah. Pada peringatan hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1961, Soekarno menawarkan amnesti untuk semua anggota PRRI yang menyerah sebelum tanggal 5 Oktober. Setelah mendengar itutawaran tersebut, Burhanuddin bersama Syafruddin Prawiranegara dan [[Assaat]] memutuskan untuk menyerah. Pada akhir bulan Agustus, ketiga tokoh tersebut meminta pasukan PRRI untuk menyerah melalui siaran radio sebelum mereka sendiri turun gunung dan menyerahkan diri ke pihak pemerintah di [[Padangsidempuan]].{{sfn|Madinier|2015|p=260}}{{sfn|Kahin|1999|p=226}} Pemberontakan PRRI berakhir tidak lama kemudian, setelah tewasnya Dahlan Djambek dan menyerahnya [[Mohammad Natsir]] pada bulan September.{{sfn|Kahin|1999|p=227}}
 
Setelah PRRI berakhir, Burhanuddin awalnya tinggal di Medan sebagai warga bebas. Meskipun begitu, pada bulan Maret 1962 Burhanuddin beserta pemimpin sipil PRRI lainnya ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Para pemimpin tersebut kemudian dipisahkan dan dipenjara masing-masing; Burhanuddin mendekam di penjara selama dua tahun di [[Kabupaten Pati]]. Ia kemudian dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1964, dan baru dilepaskan setelah [[Sejarah Indonesia (1965–1966)|Soeharto berkuasa]] di bulan Juli 1966.<ref>{{cite news |title=Orde Lama, Syahrir, Natsir, Hamka:Penjara Tanpa Proses Hukum |url=https://www.republika.co.id/berita/plk6zr385/0rde-lama-syahrir-natsir-hamkapenjara-tanpa-proses-hukum |access-date=5 April 2022 |work=[[Republika (surat kabar)|Republika]] |date=19 Januari 2019 |language=id |archive-date=14 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211114095542/https://www.republika.co.id/berita/plk6zr385/0rde-lama-syahrir-natsir-hamkapenjara-tanpa-proses-hukum |url-status=live }}</ref>
 
== Orde Baru dan meninggal kematian==
Setelah Burhanuddin dan para pemimpin Masyumi dibebaskan, beberapa pihak mencoba untuk membentuk kembali Partai Masyumi yang telah dibubarkan sebelumnya. Bersama mereka, Burhanuddin turut serta dalam pertemuan [[Partai Muslimin Indonesia]] (Parmusi) pada bulan Agustus 1968. Namun, Soeharto tidak memperbolehkan tokoh-tokoh pemimpin Masyumi menjadi pemimpin di Parmusi.{{sfn|Ward|2010|pp=62-68}} Burhanuddin sendiri kurang berminat menjadi pemimpin di struktur Parmusi, karena ia lebih fokus ke bidang lain seperti jurnalisme dan dakwah. Ia berhasil mendirikan kembali surat kabar [[Abadi (surat kabar)|''Abadi'']], dan Burhanuddin menjadi pemimpin ''Abadi'' sampai surat kabar tersebut [[Peristiwa Malari|dibredel tahun 1974]]. Ia juga aktif di [[Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia]].{{sfn|Ward|2010|p=64}}{{sfn|Karma|1987|p=17}} Selain itu, setelah Soeharto memaksakan [[Pancasila]] menjadi dasar ideologis semua organisasi di Indonesia, termasuk organisasi keagamaan, Burhanuddin ikut menandatangani [[Petisi 50]] beserta banyak tokoh Muslim dan ABRI lainnya.{{sfn|Kahin|2012|pp=198-199}}
 
Burhanuddin meninggal pada tanggal 14 Juni 1987 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, [[Jakarta Barat]]. Sebelum meninggal, Burhanuddin sudah menderita penyakit jantung sejak tahun 1976. Ia dimakamkan di [[Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir]], [[Jakarta Selatan]].<ref name="detik"/>