Burhanuddin Harahap: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 56:
Pada masa jabatannya, Burhanuddin berhasil mengesahkan Undang-Undang Pemilu, sehingga memungkinkan dilangsungkannya Pemilu 1955.{{sfn|Kahin|2012|p=85}} Meskipun beberapa menteri dalam kabinetnya menginginkan pengunduran tanggal, Burhanuddin menetapkan tanggal yang sudah dijadwalkan (29 September 1955) tetap berlaku.{{sfn|Feith|2006|pp=424-425}} Kabinet Burhanuddin sejak awal memang direncanakan untuk dibubarkan setelah hasil pemilihan umum diumumkan dan anggota DPR baru dilantik. Oleh karena itu, Burhanuddin kesulitan menentukan kebijakan jangka panjang.{{sfn|Feith|2006|pp=421-422}} Selain itu, partai-partai di dalam koalisi pemerintah mempunyai agenda masing-masing. Masyumi dan PSI bertekad mengurangi pengaruh PNI dan [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) dalam struktur pemerintah, sementara partai-partai kecil yang tidak yakin masih akan ada di DPR setelah Pemilu 1955 fokus menggalang dukungan politik.{{sfn|Lucius|2003|pp=130-131}} Meskipun sesama partai Islam, [[Nahdlatul Ulama]] (NU) dan PSII beragenda lain lagi dan menentang sejumlah kebijakan politik Burhanuddin.{{sfn|Lucius|2003|pp=133-135}}{{efn|Basis suara Masyumi pada waktu itu berada di [[Jawa Barat]] (etnis [[Suku Sunda|Sunda]]) dan luar Jawa, sementara basis NU/PSII merupakan etnis [[Suku Jawa|Jawa]].{{sfn|Lucius|2003|pp=133-135}}}} Menjelang hari pemungutan suara, kabinet Burhanuddin menurunkan harga bensin sebesar hampir 50 persen dan melonggarkan ketentuan impor, sehingga menekan harga pasaran.{{sfn|Feith|2006|p=426}}
 
Awalnya, banyak yang berasumsi bahwa Masyumi akan memenangkan pemilu.{{sfn|Kahin|1999|p=177}} Namun, begitu hasil pemilu diumumkan, PNI berhasil memenangkan suara terbanyak, baru disusul Masyumi. Selain itu, NU berhasil merebut banyak kursi, berkebalikan dengan PSI yang kursinya turun drastis. Sejumlah partai kecil yang berkoalisi dengan Masyumi tidak lagi memiliki perwakilan di DPR setelah pemilu.{{sfn|Feith|2006|pp=434-436}} Meskipun koalisi Masyumi-NU masih memegang mayoritas kursi, posisi NU-PSII jauh menguat di dalam koalisi tersebut. Selama September dan Oktober 1955, Kabinet Burhanuddin mencoba untuk mengesahkan suatu undang-undang antikorupsi yang kontroversial karena isinya membentuk pengadilan khusus yang berhak menginterogasi tersangka korupsi apabila ada tidak cukup bukti untuk mendakwa. Pihak NU menentang UU tersebut karena sejumlah anggotanya telah dituduh sebagai pelaku korupsi oleh media, dan PNI juga menentangnya karena banyak tersangka merupakan mantan pegawai pemerintah yang juga anggota PNI. Presiden Sukarno juga mem[[veto]] UU tersebut begitu Burhanuddin mencoba untuk menjadikannya sebagai UU darurat yang tidak langsung membutuhkan persetujuan DPRS. Burhanuddin akhirnya memutuskan untuk mundurmengalah untuk menghindari konflik sekaligus dengan NU, PNI, dan Sukarno.{{sfn|Feith|2006|pp=437-439}}{{sfn|Lucius|2003|p=136}} NU juga mendesak Burhanuddin untuk menunjuk [[Abdul Haris Nasution]] kembali menjadi KSAD.{{sfn|Feith|2006|pp=442-443}}
 
===Kebijakan===