Pangeran Walangsungsang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dani kurya (bicara | kontrib) ISSN Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Dani kurya (bicara | kontrib) Tambahkan penjelesan lebih Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan pranala ke halaman disambiguasi |
||
Baris 45:
Pada Tahun 1448{{efn|Tahun menurut perkiraan Unang Sunardjo{{sfn|Sunardjo|1983|pp=54}}}} Atas anjuran [[Syekh Datuk Kahfi]], Walangsungsang dan Lara Santang berlayar ke [[Makkah|Mekkah]] untuk menunaikan [[ibadah haji]]. [[Makkah|Kota Mekkah]] saat itu berada di bawah naungan [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]] yang berpusat di [[Mesir]]. Kedua [[bangsawan]] [[Sunda]] ini hidup di [[Makkah|Mekkah]] selama tiga bulan, di bawah bimbingan Syekh Bayanullah (''saudara'' [[Syekh Datuk Kahfi]]). Selama di [[Mekkah]], Walangsungsang dan Lara Santang masing-masing mengambil nama Arab, yakni Haji Abdullah Iman dan [[Syarifah Mudaim]]. Lara Santang kemudian menikah dengan seorang amir atau bangsawan setempat bernama [[Syarif Abdullah Umdatuddin|Syarif Abdullah]]{{sfn|Sunardjo|1983|pp=44}}, dan berputrakan [[Syarif Hidayatullah]] (kelak menjadi [[tokoh]] berpengaruh di [[Jawa]]) yang dipekirakan lahir pada tahun itu juga. Ia tampaknya menetap di sana bersama suami dan putranya, sementara Walangsungsang pulang ke Cirebon.
== Masa pemerintahan ==
Walangsungsang berkuasa sebagai [[Kuwu|Kuwu Cirebon]] menggantikan Ki Gede Alang-Alang. Ia kemudian memproklamirkan [[Cirebon]] sebagai sebuah Nagari{{efn|Nagari disini mengacu sebagai mungkin setara dengan provinsi sekarang yang sebelum eksistensi [[Kesultanan Cirebon]] telah ada. Istilah ini dipakai bukan hanya di Sumatra. Lihat: buku ''Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809'' karya Unang Sunardjo}}, di mana ia meleburkan seluruh Nagari Singapura{{Efn|Singapura di sini bukan negara Singapura saat ini, tapi merujuk ke nama sebuah Nagari yang berkembang di Cirebon sebelum eksistensi Kesultanan Cirebon}} ke dalam kekuasaannya. Ia juga menyatukan Nagari di sekelilingnya, yakni Surantaka, Wanagiri, dan Japura ke dalam [[Kesultanan Cirebon]]. Sejak saat itu, Walangsungsang lebih dikenal dengan nama barunya, Pangeran Cakrabuana. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Cirebon berbatasan dengan Cimanuk ([[Indramayu]]) di barat, Rajagaluh ([[Majalengka]]), Saunggalah ([[Kabupaten Kuningan|Kuningan]]), Dayeuhluhur, dan Pasirluhur (Cilacap-Banyumas) di selatan, Paguhan (Tegal-Pemalang) di timur, dan Laut Jawa di utara. [[Pelabuhan]] utamanya adalah Muara Jati. Cakrabuana tetap berkuasa di bawah [[Kerajaan Galuh]]. Ia mengirimkan [[upeti]] (bulubekti) tahunan kepada Tohaan (
=== Kedatangan Syarif Hidayutullah ===
Pada tahun 1474, [[Syarif Hidayatullah]] berangkat ke [[Jawa]] untuk mendakwahkan [[agama Islam]]. Sebelumnya, ia telah banyak berguru kepada sejumlah ulama Arab di [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]], khususnya di [[Mekkah]] dan [[Bagdad|Baghdad]]. Dalam perjalanan ke [[Jawa]], ia singgah di [[Gujarat]] dan [[Pasai]]. Di Pasai, ia bertemu dengan [[Maulana Ishaq]], ayah [[Sunan Giri]].
Baris 56:
=== Pengunduran diri Pangeran Cakrabuana ===
Pada tahun 1479, [[Syarif Hidayatullah]] diangkat menjadi [[Tumenggung]] [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] (didukung [[Wali Sanga]]), menggantikan pamannya yang mengundurkan diri secara sukarela.{{Sfn|Erwantoro|2012|p=172}}{{Sfn|Sunardjo|1983|p=57-59}} Ia tetap tunduk sebagai raja daerah [[Kerajaan Galuh|Galuh]] dan mengirim upeti ke [[Kawali]], setidaknya hingga tiga tahun kemudian. Sementara itu, Pangeran Cakrabuana selanjutnya lebih banyak hidup sebagai [[pengembara]], meskipun sesekali tetap mendampingi keponakannya dalam [[Pemerintah|memerintah]] di [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]]. Masih pada tahun yang sama, [[Syarif Hidayatullah]] pergi ke [[Kesultanan Demak|Demak]] atas undangan [[Raden Patah]] dan para [[Wali Sanga|wali]]. Mereka pun mengangkat [[Syarif Hidayatullah]] sebagai ''Panatagama Rasul ing Tanah Pasundan'' (“Penyiar Agama Rasul di Tanah Sunda”). Sejak saat itu, hubungan [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] dan [[Kesultanan Demak|Demak]] pun mulai terjalin. [[Syarif Hidayatullah]] kemudian juga turut serta membangun [[Masjid Agung Demak]]{{Sfn|Kertawibawa|2018|p=275}}, dengan mendirikan sebuah tiang besar sebagai salah satu dari empat sokoguru di dalam masjid itu.
== Cirebon pasca-pemerintahan Pangeran Cakrabuana ==
Setelah pengunduran diri Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1480, [[Syarif Hidayatullah]] mendirikan [[Masjid Agung Sang Cipta Rasa]]. Dalam pembangunannya, ia dibantu oleh beberapa [[Wali Sanga|Walisanga]] lainnya ([[Sunan Kalijaga]], [[Sunan Bonang]], [[Sunan Drajat]], dan [[Sunan Kudus]]) serta Raden Sepat, seorang [[arsitek]] [[Suku Jawa|Jawa]] dan bekas petinggi [[Majapahit]] dari [[Demak]]. Raden Sepat kemudian mengabdi kepada [[Syarif Hidayatullah]] dan membantu memajukan pembangunan di [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]].
Setahun kemudian pada 1481, [[Syarif Hidayatullah]] berkunjung ke [[Dinasti Ming|Kekaisaran Cina (Dinasti Ming)]]. Di sini, [[Syarif Hidayatullah]] menikah dengan Ong Tien Nio, seorang putri setempat.{{Efn|Dalam naskah-naskah tradisional Cirebon, ia disebut sebagai putri dari Kaisar Cina. Namun, kemungkinan yang lebih mendekati adalah bahwa ia adalah putri dari seorang [[bangsawan]] atau petinggi setempat (entah [[gubernur]], [[syahbandar]], [[panglima]], atau [[saudagar]]). Penguasa [[Dinasti Ming]] sendiri saat itu adalah [[Kaisar Chenghua]] atau Zhu Jianshen (1464-1487)}} Ia membawa istri barunya itu kembali ke [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]]. Keduanya tampaknya memiliki seorang putra, yakni Suranggajaya atau Arya Kamuning.{{Efn|Namun, versi yang lebih umum menyebutkan bahwa Arya Kamuning hanyalah anak angkat dari [[Sunan Gunung Jati]] dan Ong Tien Nio. Ia adalah putra dari Ki Gede Luragung yang kemudian diasuh dan diadopsi oleh Ong Tien. Pendapat tentang Arya Kamuning sebagai putra kandung mereka muncul dari interpretasi terhadap kisah “bokor/wadah kuningan” yang lahir dari perut Ong Tien, yang dianggap sebagai simbolisasi dari seorang [[bayi]] yang lahir dengan [[kulit]] [[kuning]] seperti [[kuningan]].}} Kedatangan Ong Tien Nio ke [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] memberikan pengaruh bagi [[Keraton Kasepuhan|Keraton Pakungwati]], di mana unsur-unsur [[Budaya cina|kebudayaan Cina]] seperti [[Porselen|porselin]], [[guci]], dan hiasan dinding ditempatkan di banyak sudut [[istana]], serta sejumlah bangunan penting lain seperti [[masjid]].
=== Proklamasi dari Nagari ke Kesultanan ===
pada tahun 1482, [[Syarif Hidayatullah]] [[Proklamasi|memproklamasikan]] [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] sebagai kerajaan yang merdeka dari [[Kerajaan Galuh|Galuh]] maupun [[Kerajaan Sunda|Sunda]]. Beban upeti ditambah usaha untuk memperluas pengaruh [[Islam]] tampaknya menjadi penyebabnya. Sebagai raja merdeka, [[Syarif Hidayatullah]] mengangkat dirinya dengan gelar baru, Susuhunan Jati Purbawisesa alias [[Sunan Gunung Jati]]. Ia juga mengganti nama istana kediamannya, Jalagrahan, menjadi Keraton Pakungwati, yang tetap berlokasi di daerah Kebon Pesisir atau [[Kota Cirebon]]. Ia tampaknya juga merombak pembagian wilayah kekuasaannya, dengan meleburkan nagari-nagari Surantaka, Singapura, dan Wanagiri menjadi dua [[kadipaten]] baru, [[Cirebon Girang, Talun, Cirebon|Cirebon Girang]] dan Cirebon Larang, serta membentuk nagari baru, Losari yang dipecah dari Japura. Deklarasi kemerdekaan Cirebon disambut dengan keras oleh [[Sri Baduga Maharaja]], yang segera mengirim pasukan pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk “menertibkannya kembali”. Namun, [[pasukan]] [[Kerajaan Sunda|Sunda]] dihadang oleh seluruh [[penduduk]] [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] yang jumlahnya melebihi mereka. Jagabaya pun menyerah kalah, dan bersama seluruh prajuritnya akhirnya memutuskan untuk mengabdi kepada [[Sunan Gunung Jati]] dan masuk [[Islam]].
=== Renovasi Keraton Pangkuwati ===
Tahun 1483, [[Sunan Gunung Jati]] melakukan renovasi [[Keraton Kasepuhan|Keraton Pakungwati]]. Ia memperluas [[kompleks]] [[istana]] itu dan menambahkan [[bangunan]]-[[bangunan]] [[pelengkap]]. Ia juga membangun [[tembok pertahanan]] setinggi 2 [[meter]] yang mengelilingi [[Ibu kota|ibukota]] [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]], yang dilengkapi dengan pintu [[gerbang]] bernama Lawang Gada. Pembangunan [[infrastruktur]] lain juga dilakukan, seperti pembangunan pangkalan [[perahu]] di tepi Sungai Kriyan, istal (''stable'') [[kuda]] kerajaan, dan pos-pos penjagaan. [[Pelabuhan]] Muara Jati juga diperbaiki dan disempurnakan, dengan bantuan [[Tionghoa|masyarakat Cina]] yang tinggal di daerah itu.{{Sfn|Erwantoro|2012|p=174}} Di bidang [[keamanan]], [[Sunan Gunung Jati]] juga membentuk Pasukan Jagabaya, yang difungsikan sebagai penjaga dan pemelihara [[keamanan]] di [[masyarakat]], selayaknya [[polisi]] saat ini.{{Sfn|Erwantoro|2012|p=175}}
=== Kedatangan bangsawan Arab ===
Pada tahun 1485, Serombongan bangsawan [[Bangsa Arab|Arab]] dari [[Bagdad|Baghdad]]{{Efn|[[Baghdad]] adalah salah satu kota utama di [[Timur Tengah]]. Saat itu, kota ini berada di bawah kekuasaan sebuah dinasti [[Turki]] bernama Aq Qoyunlu, yang dipimpin oleh [[Sultan Yaqub]] (1478-1490). Masyarakatnya secara umum tetap didominasi oleh [[Bangsa Arab|orang Arab]].}} pimpinan Maulana Abdurrahman dan dua adiknya (Maulana Abdurrahim dan Syarifah Baghdadi) tiba di [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] dan mengabdi kepada [[Sunan Gunung Jati]]. Mereka diterima oleh Sunan Gunung Jati, yang kemudian menikahi Syarifah Baghdadi alias Nyai Lara Baghdad. Sang Maulana sendiri kemudian dianugerahi gelar Pangeran Panjunan oleh [[Sunan Gunung Jati]].
Setahun kemudian pada 1486, Pangeran Jayakelana, putra pertama [[Syarif Hidayatullah]] dengan Syarifah Baghdad, lahir. Disusul dengan [[kelahiran]] Pangeran Bratakelana pada 1488. Disisi lain, istri [[Syarif Hidayatullah]] dari Cina, Ong Tien Nio, wafat.{{Sfn|Kertawibawa|2018|p=275}}
=== Proyek pembangunan besar-besaran ===
Dengan bantuan Raden Sepat, [[Sunan Gunung Jati]] melakukan sejumlah proyek pembangunan, antara lain perluasan [[Keraton Kasepuhan|Keraton Pakungwati]], penyelesaian pembangunan [[Masjid Agung Sang Cipta Rasa]], pembuatan jalan yang menghubungkan Keraton dengan pelabuhan utama di Muara Jati dan pusat ekonomi di [[Panambangan, Sedong, Cirebon|Pasambangan]]. Ini semua terjadi pada 1489.
== Wafat ==
'''Pangeran Cakrabuana''' Wafat pada tahun 1529 Saat [[Pertempuran]] pecah di Pegunungan Kromong dan Gempol, yang berakhir dengan [[kemenangan]] [[pasukan]] [[Cirebon]]. Panglima perang [[Galuh]], Arya Kiban gugur menyebabkan moral pasukan [[Galuh]] turun dan dapat dikalahkan dengan mudah. Pasukan Cirebon lalu bergerak ke [[Kerajaan Talaga Manggung|Nagari Talaga]] di [[selatan]]. Mereka berhasil menundukkannya dan mengislamkan penduduknya.{{sfn|Sunardjo|1983|pp=109}}
|