Masbuhin Faqih: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Usersyn (bicara | kontrib)
k typo, replaced: nasehat → nasihat (2) using AWB
Baris 41:
12. KH. Masbuhin Faqih
 
Dengan silsilah yang begitu agung tersebut, tak bisa dimungkiri dalam diri beliau terdapat ruh dan jiwa seorang ulama yang tangguh dan berjuang tanpa batas waktu seperti embah buyutnya dahulu. Hal ini sesuai dengan Qiyasankiasan [[santri]]: “Bapaknya Singa maka ankanak-anaknya pun singa”.<ref>{{Cite web|url=http://www.nu.or.id/post/read/96924/belajar-tawadhu-dari-kiai-masbuhin-faqih-mambaus-sholihin|title=Belajar Tawadhu' dari Kiai Masbuhin Faqih, Mamba'us Sholihin|last=Online|first=N. U.|website=NU Online|language=en-us|access-date=2019-03-13}}</ref>
 
<br />
Baris 47:
 
== Pendidikan ==
Pendidikan beliau sejak kecil di lingkungan yang islami. Mulai dari tingkat MI sampai Mts. Setelah Tsanawiyah beliau melanjutkan studinya ke [[Gontor]], Pondok pesantren [[Darussalam gontor|Darussalam]] Ponorogo, [[Jawa Timur]], disanalahdi sanalah beliau memperdalam ilmu bahasa Arab dan Inggris. Setelah lulus dari Gontor beliau ingin memperdalam ilmu lagi, selanjutnya beliau nyantri di PP. [[Pondok Pesantren Langitan|Langitan]] Widang Tuban, yang pada saat itu diasuh oleh KH. Abdul Hadi dan [[Abdullah Faqih|KH. Abdullah Faqih]] [[Pondok Pesantren Langitan|langitan]]. Di sana beliau memperdalam ilmu kitab kuning, mulai dari Fiqh, Nahwu, Shorof, tauhid, sampai tasawwuf. Proses penggembalaan ilmu di PP. Langitan cukup lama, sekitar 17 tahun beliau nyantri di sana. Diceritakan bahwasanyabahwasannya sosok KH. Masbuhin Faqih muda adalah pemuda yang giat dan tekun belajar, suka bekerja keras, dan optimis dalam suatu keadaan apapun. Waktu di PP. Langitan beliau banyak melakukan tirakat, seperti memasak sendiri, melakukan ibadah puasa sunnah dan lain-lain. Di sana beliau juga sempat menjadi khadam (pembantu dalem) kyai. Hal ini sampai menjadi jargon beliau dalam menasihati santri MBS (Mamba’us Sholihin), yakni “nek mondok ojo belajar tok, tapi nyambio ngabdi nang pondok iku (Jika kamu belajar di pondok jangan hanya sekadar mondok saja, tapi sembari mengabdi pada pondok tersebut)”. Dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, beliau jalani semua kehidupan diatas demi mendapatkan ilmu yang manfaat dan barakah.
 
Di tengah-tengah menimba ilmu di [[Pondok Pesantren Langitan|Langitan]], tepatnya pada tahun 1976 M atau pada saat beliau berumur 29 th, [[Abdullah Faqih|KH. Abdullah Faqih]] [[Pondok Pesantren Langitan|langitan]] menyuruh kyai Masbuhin untuk berjuang di tengah masyarakat Suci bersama-sama dengan abahnya. [[Abdullah Faqih|KH. Abdullah Faqih]] [[Pondok Pesantren Langitan|langitan]] sudah yakin bahwasahnyabahwasannya santrinya ini sudah cukup ilmunya untuk berda’wah dan mengajar di masyarakat. Waktu demi waktu berlalu, proses berda’wahdakwah terus berjalan dan berkembang pesat. Dengan perkembangan itu KH. Abdullah Faqih (Suci) diminta untuk membuat pesantren oleh beberapa guru beliau agar prosesperjalanan berda’wahdakwah tersebut lancar. Bersama-sama dengan Anak-anaknya mereka mendirikan suatu pondok yang diberi nama PP. At-Thohiriyyah, yang manaberarti dengansuci, filosofinisbat beradapada dinama desa tempat pesantren berdiri, Suci.
 
== Mendirikan Pondok ==
KH. Masbuhin pada waktusaat itu masih pulang pergi dari Langitan ke Suci. Beliau masih beranggapan bahwa menimba ilmu di Langitan belum sempurna jika tidak dalam waktu yang lama. Inilah salah satu kelebihan beliau, yakni haus akan ilmu pengetahuan agama Islam. Tepat pada tahun 1980 M, beliau mendapat restu untuk meninggalkan pondok pesantren Langitan. Dengan itulah beliau sekarang harus berkonsentrasi dalam mengurus PP. At-Thohiriyyah bersama dengan abahnya. Tepat pada tahun ini juga PP. At-Thohiriyyah diubah menjadi PP. Mambaus Sholihin, keadaan ini sesuai dengan usulan KH. Usman Al-Ishaqi. Karena nama suatu pondok dirasa mempunyai arti dan harapan yang penting.
 
Perjuangan KH. Masbuhin dalam memajukan pondoknya tidak kenal lelah. Setahap demi setahap pembangunan pondok dilakukan, mulai dari komplek asrama santri hingga gedung sekolah. Dengan relokasi yang cukup banyak, beliau mampu membuat MBS (singkatan Mambaus Sholihin) lebih maju baik fisik bangunan maupun kualitas sumber daya manusia di dalamnya.