Lampung: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi tidak terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
RobotQuistnix (bicara | kontrib)
k robot Adding: fi
Hafiirqa (bicara | kontrib)
Baris 110:
</tr>
</table>
HUBUNGAN GUBERNUR LAMPUNG DAN DPRDNYA*)
 
Firdaus Augustian
Praktisi Pemerintahan
 
Horizon publik daerah Lampung, sejak 15 Juli 2005 disesaki oleh wacana dan pembicaraan mengenai konflik politik tingkat tinggi antara Gubernur Lampung berhadapan dengan DPRD Propinsi Lampung. Semua bermula pada Keputusan DPRD Propinsi Lampung,No. 15 tahun 2005, tentang Pernyataan Pendapat DPRD Propinsi Lampung terhadap putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 437 K/TUN/2004. Substansi yang mendasar dari Pernyataan Pendapat DPRD Propinsi Lampung sejak saat itu tidak lagi mengakui eksistensi Drs.Sjachroedin ZP dan Drs.Syamsuria Ryacudu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung. Apakah sesudah terbitnya Keputusan DPRD No. 15 tahun 2005, terjadi kekosongan hukum dan stagnasi Pemerintahan Daerah. Tidak juga, praktek pemerintahan tetap berjalan sebagaimana mestinya, Drs.Sjachroedin ZP tetap melaksanakan tugas-tugas beliau selaku Gubernur Lampung, termasuk Otorisator dan Ordonator Keuangan, yang merupakan persyaratan mendasar untuk melaksanakan fungsi pemerintahan dan pembangunan dan tugas kemasyarakatan lainnya. Meskipun jalannya pemerintahan tidak seelok dan selazim jalannya Pemerintahan Daerah yang seyogyanya mampu menciptakan kondisi rustig en ordelijk, baik untuk pelaksanaan tugas Pemerintahan maupun untuk kepentingan public. Kenyataan yang ada sejak munculnya konflik tersebut, semua fihak termobilisasi dan “dimobilisasi” untuk mendeklarasikan kebenaran-kebenaran pada fihak masing-masing. Dan masing-masing fihak menafikan dan menutup kebenaran fihak lain. Pernyataan pendapat dan opini untuk kepentingan Gubernur Lampung maupun DPRD Propinsi terjadi dimana-mana, semua sudah ikut bicara, mulai dari KORPRI se Propinsi Lampung, para Bupati/Walikota, Forum Rektor, Profesor ini, Profesor itu, termasuk Prof.Dr.Muladi, Prof.Kadri Husin, tentunya di awali serta diakhiri oleh Prof.Dr.Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Surat Ketua Mahkamah Agung yang terakhir yang disampaikan kepada Ketua DPRD Propinsi Lampung No. KMA/043/II/2006, surat ini merupakan jawaban atas surat Ketua DPRD Propinsi Lampung,No.100/037/II.1/2006, tanggal 23 Januari 2006,tentang Mohon Penjelasan Putusan MA Nomor 437 K/TUN/2004.
Surat Ketua Mahkamah Agung No. KMA/043/II/2006 ini sudah dianalisis secara cerdas, runtun dan lugas oleh Yuswanto (Dosen Bagian HAN Fakultas Hukum Unila) dalam tulisannya “Sikap MA terhadap Konflik Lampung” ( Lampung Post, 1 Maret 2006). Kesimpulan tulisan Yuswanto, konkrit serta signifikan atas dasar azas rechtmatigheid dan doelmatigheid, Presiden dapat dipastikan tidak akan mencabut atau membatalkan Keputusan Presiden No.71/M tahun 2004, tentang pengangkatan Drs. Sjachroedin ZP dan Drs.Syamsurya Ryacudu sebagai Gubernur Lampung dan Wakil Gubernur Lampung. Apabila Presiden mencabut Keppres a quo, berarti Presiden telah melakukan perbuatan melampaui kewenangannya (detournement de pouvoir) dan melakukan perbuatan sewenang-wenang (willekeur). Semua ini merupakan pendapat Yuswanto, enak dibaca, memperluas cakrawala berfikir mereka yang awam hukum. Sementara kita tahu ada fenomena dalam discource (wacana) hukum, apabila ada 2 orang ahli hukum melakukan perdebatan hukum, maka bukan hanya akan terformula 2 pendapat hukum, akan muncul dinamika dan kreatifitas pemikiran hukum melampaui wacana awal. Dengan demikian tentunya pendapat Yuswanto ini, pada waktunya akan dikritisi oleh Ahli Hukum lainnya, yang kompetensi dan kredibilitasnya tidak diragukan, mungkin memperkuat argument Yuswanto, atau barangkali menolak pendapat Yuswanto. Tetapi satu hal semua kita harus berprasangka baik, bahwa wacana dan pergumulan pemikiran akademis ini, benar-benar lahir dari sikap profesional dan tanggung jawab akademis, bukan atas dasar pesanan, apalagi pelacuran intelektual.
Bagi kita yang awam hukum pemikiran dan wacana akademis ini merupakan tambahan informasi, untuk bagaimana mencermati dan mengantisipasi, serta memposisikan diri dalam melihat konflik yang berkepanjangan tak berujung semacam ini. Dengan demikian kita akan tahu posisi masing-masing, sehingga pada waktunya apabila ada para fihak yang yang ingin memobilisasi pemikiran dan aspirasi, secara cerdas kita dapat mempermainkan posisi tawar menawar masing-masing. Dari pengalaman selama ini pada setiap proses konflik yang terjadi, para fihak memanfaatkan massa secara vulgar untuk mendukung kepentingan masing-masing, dengan sama sekali tidak memahami substansi apa yang menjadi latar belakang perbedaan kepentingan. Tentunya bagi Ahli Hukum yang melakukan wacana dan pergumulan pemikiran, semua ini merupakan latihan berfikir dalam proses mencari nilai-nilai kebenaran akademis yang universal sifatnya. Tetapi tentunya semua kita menyadari bahwa praktek kenegaraan, praktek penyelenggaraan pemerintahan, tidak semata-mata urusan Hukum, pada dasrnya merupakan keputusan Politik, melalui pendekatan Sosiologis, pendekatan Kultural, Ekonomi dan sebagainya. Pendekatan Hukum bukan satu-satunya kacamata analisis di dalam melihat praktek Pemerintahan, ada pendekatan-pendekatan lain yang tidak sejalan dengan logika hukum.
Tetapi sesungguhnya dengan adanya analisis dan tinjauan kritis para Ahli Hukum didalam melihat konflik berkepanjangan antara Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung, akan menciptakan situasi “tidak kondusif”, memberikan tambahan amunisi pada masing-masing fihak, untuk melakukan konsolidasi siap melakukan pertempuran baru. Seharusnya kita semua mengingatkan baik kepada Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung, bahwa selama ini kita semua telah melakukan langkah-langkah yang amat kontra produktif. Kita semua disini, termasuk kelompok masyarakat,Tokoh Adat, LSM, Organisasi, Pers, Akademisi dan fihak lain di luar Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung yang tidak hirau, bahkan memblow up konflik. Dengan menempatkan diri berfihak pada salah satu fihak, mengatasnamakan masyarakat dan daerah Lampung, yang sesungguhnya untuk kepentingan praktis dan sesaat.
Seharusnya secara jernih dan cerdas kita perlu mengingatkan semua fihak bahwa pada setiap konflik yang terjadi, tidak mungkin terjadi karena bertepuk sebelah tangan, masing-masing fihak ada plus-minusnya, harus terbuka di dalam menerima kebenaran fihak lain. Konflik ini jangan dikesankan sebagai kesalahan mutlak Gubernur Lampung atau sebaliknya kesalahan mutlak DPRD Lampung. Selanjutnya jangan kita memberikan stigma bahwa DPRD Propinsi Lampung telah mengkhianati rakyat Lampung, telah bekerja bukan untuk kepentingan rakyat Lampung tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Mereka berkonflik dan melakukan pergulatan pemikiran dan sikap atas dasar tanggung jawab dan kesadaran hukum serta keyakinan politik dan semuanya untuk kepentingan masyarakat dan daerah Lampung. Dengan demikian proses konflik itu akan terselesaikan secara elegan, egaliter dan bermartabat, konflik itu bukan harus diredam, tetapi harus diselesaikan. Konflik yang berkepanjangan ini amat melelahkan dan menguras energi semua fihak, termasuk jajaran eksekutif staf Gubernur Lampung. Kita lihat kenyataan yang ada Gubernur Lampung dalam menyusun staf jajarannya, seolah tertatih, belum memanfaatkan semua sumber daya manusia yang ada. Penempatan personil amat mencengangkan, sehingga ketika Gubernur Lampung dipanggil Presiden untuk membahas berjangkitnya avian influenza (flu burung), beliau tidak mengajak Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung, tetapi membawa Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Lampung. Bagaimana mau mengajak Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, sementara yang bersangkutan baru melaksanakan tugas belum beradaptasi, basis pendidikannya Sarjana Hukum, tentunya pada saat itu baru dapat membedakan secara signifikan kambing jantan dan kambing betina. Pada gonjang-ganjing konflik semacam ini terlihat sekali ketidak puasan Gubernur Lampung dalam menilai kinerja staf sehingga dapat dikatakan setiap tiga bulan sekali dilakukan rolling pejabat atas dasar pertimbangan yang amat prerogative Gubernur. Lebih ironis sekali di antaranya ada Kepala Dinas yang tengah menjalani cuti kebagian rolling dan dibebaskan dari jabatan Kepala Dinas. Semua ini tentunya berakibat menimbulkan ketegangan dan rasa ketidak pastian dalam pembinaan karier kepegawaian pada pejabat yang ada. Seharusnya pembinaan dan pengembangan kepegawaian yang menjadi tanggung jawab Sekretaris Propinsi Lampung, sangat sederhana sekali diselesaikan untuk kepentingan dinas dan pengembangan karier, sepanjang menggunakan prinsip-prinsip profesionalisme, dengan menghindarkan segala bentuk KKN. Kenyataan yang kita lihat semua fihak merasa tidak puas terhadap kebijaksanaan Gubernur Lampung, termasuk Gubernur Lampung itu sendiri. Dan semuanya ini berpengaruh terhadap suasana kondusif dalam membangun komunikasi internal eksekutif, dalam menghadapi konflik yang berkepanjangan. Terakhir konflik ini memberikan ekses hubungan yang saling melecehkan antara Sekretaris Propinsi Rachmat Abdullah dengan anggota DPRD Propinsi Lampung dan seluruh anggota Fraksi Golkar DPRD Propinsi Lampung. Rachmat Abdullah secara eksplisit menilai Mega Putri Tarmizi sebagai Politisi Penjilat dan sebagai mantan anggota MPR Mega Putri Tarmizi sama sekali tidak pernah berbuat apa-apa. Tentunya pernyataan semacam ini jelas merupakan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik terhadap Mega Putri Tarmizi. Wajar saja kalau Mega Putri Tarmizi beserta seluruh anggota Fraksi Golkar yang juga ikut dinilai oleh Rachmat Abdullah pada kesempatan pertama melaporkan perbuatan pidana ini ke Polda Lampung. Fenomena ini dikemukakan untuk menunjukkan betapa konflik berkepanjangan ini akan menimbulkan snowball effect apabila tidak dihentikan, bersifat kontra produktif, merusak sinergi kebersamaan
Bagaimana kalau DPRD Propinsi Lampung yang dibekukan? Kita belum pernah sampai saat ini membaca analisis dari Pakar Hukum atau Praktisi yang memberikan tinjauan kemungkinan pembubaran DPRD Propinsi Lampung. Sepertinya Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menutup kemungkinan terjadinya pembubaran atau pembekuan DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota yang ada. Kalau juga ada pemikiran atau pendapat lain dari para Ahli Hukum atau Ilmu Politik yang berpendapat lain, tentunya akan kita cermati sebagai bentuk latihan berfikir pada wacana akademis. Kemungkinan selanjutnya, bagaimana melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap anggota DPRD Propinsi Lampung, sehingga diharapkan mayoritas anggota DPRD Propinsi Lampung, nantinya akan melakukan reevaluasi terhadap Keputusan DPRD Propinsi Lampung No. 15 tahun 2005. Proses PAW ini akan mudah dilaksanakan pada era Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang amat sentralistik, dimana peran Pemerintah Pusat begitu mendominasi Pemerintah Daerah.
Dengan meminjam pendapat Yuswanto ( Lampung Post, 1 Maret 2006), yang menyatakan betapa tidak mungkinnya Presiden mencabut atau membatalkan Keputusan Presiden No. 71/M tahun 2004, sementara kedudukan DPRD Propinsi Lampung begitu kuat dan tidak dapat digoyahkan maka pilihan satu-satunya adalah rekonsiliasi / perdamaian yang harmonis antara Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung. Ke depan melalui hubungan yang harmonis, elegan dan egaliter antara Gubernur Lampung dan DPRD Propinsi Lampung akan terjadi sinergi yang positip dan dapat membawa Daerah dan Rakyat Lampung ke arah yang sejahtera dan mandiri sesuai dengan visi dan misi Lampung. Pendapat Yuswanto ini kita kedepankan, bukan berarti menyatakan analisisnya bersifat aplikabel, kita tahu pendapatnya hanyalah sebatas wacana untuk latihan berfikir dan yang pasti bersifat debatable yang dapat kita nikmati secara khusus.
Tetapi mungkinkah akan terjadi rekonsiliasi dan perdamaian yang harmonis ? Mengapa tidak, signal ini telah diberikan oleh Wakil Gubernur Lampung, Drs.Syamsuria Ryacudu (Lampung Post, 4 Maret 2006), yang secara terbuka menyatakan, komunikasi politik dengan DPRD harus sudah dibangun sejak awal memimpin daerah ini. Sehingga konflik tidak melebar seperti sekarang. “Saya yakin konflik tidak akan mengembang, jika kami dapat membangun komunikasi itu” Semua fihak harus berani menilai kesalahan masing-masing. Sebagai pemimpin, saya harus berani akui kesalahan memanajemen pemerintahan daerah. Dengan kata lain,Gubernur dan Wakil Gubernur harus bertanggung jawab atas konflik ini. Kita jangan sekedar menyalahkan DPRD Propinsi Lampung dengan tidak diterimanya RAPBD 2006 oleh Menteri Dalam Negeri. Pengakuan secara terbuka semacam ini yang dilakukan oleh Wakil Gubernur Lampung, merupakan wujud sikap kenegarawanan yang matang dan dewasa tentunya diharapkan mampu menciptakan suasana yang lebih kondusif. Meskipun publik mencatat secara jelas dan terbuka betapa Gubernur Lampung pada tiga kali kesempatan, mendapat perlakuan yang amat khusus dan sama sekali diluar dari tatakrama dan fatsoen politik.
1. pada tanggal 16 Agustus 2006, pada sidang paripurna istimewa mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden , dimana kehadiran Gubernur Lampung di acara tersebut berdasarkan undangan yang bukan ditandatangani oleh Ketua DPRD Propinsi Lampung, tetapi oleh Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung Nurhasanah,SH. Pada acara tersebut Gubernur Lampung duduk disebelah kanan Ketua DPRD Propinsi Lampung. Selama acara sidang paripurna tersebut, Gubernur Lampung sama sekali tidak ditoleh, tak ada “say hello” dari Ketua DPRD Propinsi Lampung dan sampai akhir acara tidak ada shake hand antara tiga pimpinan DPRD Propinsi Lampung dan Gubernur Lampung.
2. pada tanggal 17 Agustus 2006, pada peringatan detik-detik proklamasi tingkat Propinsi Lampung, tidak dihadiri oleh Ketua DPRD Propinsi Lampung dan Wakil-Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung. Acara tersebut hanya dihadiri oleh Nurhasanah,SH Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung dan beberapa orang anggota DPRD Propinsi Lampung.
3. pada tanggal 3 Nopember 2005, bertepatan dengan 1 Syawal 1426 H, Gubernur Lampung melakukan open house peringatan hari raya Idul Fitri, Gubernur Lampung, Wakil Gubernur Lampung hanya didampingi oleh Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung Nurhasanah,SH dan Muspida Propinsi Lampung lainnya, tanpa didampingi oleh Ketua DPRD Propinsi Lampung dan dua orang Wakil Ketua DPRD Propinsi Lampung lainnya.
Tentunya perlakuan yang diterima oleh Gubernur Lampung ini, merupakan refleksi penghargaan dan appresiasi terbuka yang ada pada DPRD Propinsi Lampung terhadap Gubernur Lampung, dan ini semata-mata merupakan reaksi balik dari DPRD Propinsi Lampung atas sikap dan penilaian yang diberikan oleh Gubernur Lampung terhadap DPRD Propinsi Lampung. Sementara kita mengetahui juga pada beberapa kesempatan secara terbuka Gubernur Lampung memberikan penilaian dan kecaman yang jauh dari nilai-nilai fatsoen terhadap DPRD Propinsi Lampung. Walaupun akumulasinya kita ketahui untuk mengajak DPRD Propinsi Lampung melakukan pembahasan RAPBD Propinsi Lampung 2006, Gubernur Lampung siap minta maaf dan mencium tangan anggota DPRD Propinsi Lampung (apa benar demikian?,penulis). Dengan meminjam pernyataan Syamsuria Ryacudu Wakil Gubernur Lampung, inilah refleksi kegagalan Pemimpin dalam melakukan komunikasi politik dengan DPRD Propinsi Lampung sejak awal. Dalam konstruksi appresiasi dan komunikasi yang terganggu semacam ini tentunya untuk terjadinya rekonsiliasi yang elegan, egaliter memerlukan kesiapan emosi dan mental yang luarbiasa.
Atau apakah kita tetap berharap Presiden sesuai dengan kewenangannya berdasarkan undang-undang dengan mempertimbangkan keputusan Kasasi Mahkamah Agung No. 437 K/TUN/2004, untuk mencabut dan membatalkan Keputusan Presiden No.71/M tahun 2004 sebagaimana dinyatakan dalam surat terakhir Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/043/II/2006.
*) tulisan ini dimuat di "Lampung Post, 6 Maret 2006"
 
==Perekonomian==