Lampung: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi tidak terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Hafiirqa (bicara | kontrib)
Hafiirqa (bicara | kontrib)
Baris 179:
===Rupa===
 
===Literatur===KEBUDAYAAN LOKAL DALAM GLOBALISASI, MILIK SIAPA ?
 
Oleh : Firdaus Augustian
Peminat masalah kebudayaan.
 
 
Kadang terfikir dalam era globalisasi, dimana kita menjadi warga dunia, faktor geografis telah tidak memisahkan antara komunitas satu dengan yang lain, batas-batas negara dan fisik geografis telah terjembatani, apakah diskursus tentang nasionalisme, kebudayaan nasional dan kebudayaan lokal masih relevan? Kita masih ingat bencana tsunami yang menghancurkan sebagian Propinsi Nanggro Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004, yang pertama kali memberikan bantuan resque dan emergency secara intens, ternyata bukan saudara-saudara kita dari Sumatera Barat atau Sumatera Selatan, atau dari Jakarta. Pada tanggal 27 Desember 2005 dan minggu pertama setelah terjadinya bencana alam ini, yang paling berperan membantu saudara-saudara kita di Aceh dan Sumatera Utara adalah Relawan terlatih dan Tentara dari berbagai belahan dunia, Amerika Serikat, Malaysia,Singapura,Pakistan,Jepang, Spanyol,Inggris, Australia dan banyak negara lainnya. Begitu juga LSM dari berbagai Negara dan Organisasi Internasional lainnya, seperti UNHCR, IOM, Mercy Corps, Green Peace,WFP, USAID, Save the Children, Apheda adalah nama Organisasi Internasional/LSM Internasional yang perannya amat besar dari hari pertama bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. Mereka berdatangan dengan bantuan konkrit pembuatan Rumah Sakit Darurat, pengadaan dapur umum, perbaikan prasarana fisik, dan menyalurkan bantuan yang bernilai ratusan juta US Dollar, termasuk obat-obatan, makanan, beras, tenda yang amat diperlukan oleh korban bencana. Begitu juga peralatan yang mereka bawa amat spektakuler, dari sarana telekomunikasi, pesawat angkut militer C-130, Helikopter, sampai kapal induk yang dimodifikasi menjadi Rumah Sakit Darurat yang begitu lengkap. Mereka bekerja dengan penuh kecermatan semata-mata untuk kemanusiaan jauh melampaui tanggung jawabnya sebagai warga negara Asing di NAD dan Sumatera Utara.
Dari fenomena semacam ini tampaknya nilai-nilai kemanusiaan, yang dihantarkan oleh informasi global telah jauh mengalahkan semangat nasionalisme yang selama ini menjadi slogan dan jargon pada Negara-negara yang sedang berkembang. Sementara di beberapa Daerah mempersiapkan penggalangan dana oleh Pemerintah dan masyarakat, kemudian upacara penyerahan bantuan yang diliput secara luas oleh media cetak dan elektronika, dan relawan asing termasuk kekuatan militer asing bekerja tanpa pamrih di medan bencana, baik di NAD maupun Sumatera Utara jauh dari publikasi. Dengan melihat kenyataan semacam ini tampak jelas sekali bahwa telah terjadi pergeseran ikatan solidaritas, sebagai pengaruh informasi global dan nilai-nilai kemanusiaan, dari Komunitas Nation bergeser ke Komunitas Global. Saat ini kita telah menjadi warga dari Komunitas Global, emosi dan sentimen primordial yang terasa selama ini menjadi tidak bermakna dibandingkan denga emosi dan sentimen global. Secara akumulatif mulai terasa apresiasi kita terhadap Kebudayaan Lokal, Kebudayaan Nasional, yang pada waktunya akan terdiferensiasi dalam Kebudayaan Global. N.Driyarkara (Mencari Kepribadian Nasional,1960) menegaskan, baik untuk Pembangunan Bangsa, maupun Pembangunan Pribadi pengaruh Kebudayaan luar adalah syarat mutlak. Menolak Kebudayaan luar, berarti matinya kebudayaan nasional. Kebudayaan Nasional bukanlah entitas empirik yang terlepas dari subjek. “Dalam pembudayaan,” kata Driyarkara, ada diferensiasi yang menimbulkan Kebudayaan Nasional. Dengan kata lain diferensiasi adalah prinsip yang melahirkan kebudayaan. Kebudayaan Nasional adalah hasil pembudayaandi mana “nasionalisme” menjadi prinsip diferensiasi. Dengan demikian Kebudayaan pertama-tama harus dilihat sebagai proses diferensiasi bukan konfrontasi. Sebagai keadaan yang taken for granted kita hanya bisa mengatakan bahwa kita terlahir sebagai anak bangsa yang mendiami bumi pertiwi yang terhampar antara Sabang di NAD dan Merauke di Papua Barat sana. Ini bersifat ascribed. Hubungan darah, kesamaan asal usul, bahasa ibu, atau warna kulit, tempat dimana kita lahir. Seorang menjadi Jawa, menjadi Batak, Cina, ini bukan karena pilihannya tetapi semata-mata karena ascribed. Selanjutnya mewujudkan nation, ke Indonesiaan, dan Integrasi Nasional adalah pemikiran, perasaan, perjuangan yang penuh kesadaran dan pilihan, merupakan sebuah achievement. Hal ini diuraikan secara jelas oleh Ignas Kleden (Nasionalisme dan Kebudayaan, 2002) , keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam Nation dan Integrasi Nasional dianggap mengharuskan adanya pengorbanan terhadap hal-hal yang bersifat primordial. Dengan demikian menjadi sebuah kewajaran apabila timbul pemikiran bahwa rasa kedaerahan (primordialisme) yang berkelebihan dianggap membahayakan integrasi Nasional.
Tetapi satu hal yang kurang kita sadari, bahwa sesungguhnya pada saat ini kita dalam proses meng “Indonesia”, kapan terwujudnya ? Ini merupakan perjalanan panjang, sebab sampai hari ini yang exist adalah budaya lokal dengan segala pernak-perniknya, termasuk sentimen primordialnya. Dalam kaitan ini istilah Kebudayaan Nasional menjadi istilah kontroversi dan ketidak jelasan. Selain bahasa nasional, sastra Indonesia, seni lukis Indonesia,seni tari dengan koreografi baru yang non traditional, teater modern Indonesia, pendidikan dan pengajaran, serta media massa Indonesia, sulit bagi kita menunjukkan secara empiris apa saja yang menjadi unsur-unsur Kebudayaan Nasional. Menurut pengalaman selama ini Kebudayaan Nasional merupakan gagasan ( atau bahkan retorika) politik, daripada suatu konsep yang dapat diuraikan secara ilmiah. Dengan mudah suatu tindakan pada masa lalu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan Nasional, tetapi tidak pernah dijelaskan nilai-nilai mana saja yang dapat diterima sebagai sistem nilai Kebudayaan Nasional. Seperti biasanya, istilah politik lebih mudah berfungsi sebagai anti konsep, yang dapat diterapkan secara abritrer apabila dibutuhkan secara politik, daripada suatu kerangka konseptual yang jelas batas-batasnya dan dapat dideskripsikan unsur-unsurnya. Apakah ada upacara perkawinan Nasional, apakah ada jenis makanan Nasional, apakah ada pencak silat Nasional? Hal-hal terakhir ini lebih mudah diidentifikasikan sebagai produk budaya suatu daerah, lokal sifatnya, atau suatu kelompok etnis tertentu. Pergumulan pemikiran Ignas Kleden ini merupakan elaborasi lebih jauh dari gugatan Sutan Takdir Alisyahbana tentang Indonesia dan Prae Indonesia, sebuah polemik kebudayaan yang monumental di tahun 1930 an. Dan tentunya akan lebih menarik lagi apabila kita mencermati pemikiran Mochtar Lubis (1977) dalam Manusia Indonesia. Kita akan begitu terperangah ketika Mochtar Lubis membedah secara lugas dan transparan tentang Manusia Indonesia. Apa yang bisa dibanggakan?
Dalam korelasi Global di mana terjadi saling interaksi kuat, inter dependensi jelas, saling ketergantungan dan saling keterpengaruhan masihkah ada warna nasional, apalagi warna global ? Selama ini kebudayaan lokal disibuki oleh pernak-pernik dan basa basi tradisional sesuai dengan tantangan peradaban dimana kebudayaan itu dilahirkan, belum ada teknologi digital, belum mengenal sinar laser, belum tahu ada senjata genggam dengan peluru karet peluru tajam, ada pesawat concorde. Tantangan peradaban yang melahirkan Kebudayaan Lokal itu belum akrab dengan istilah effisiensi, produktivitas, sinergi, appraisal project, break event point dan sebagainya.
 
==Sejarah==