Kesultanan Lingga: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Arifjohan905 (bicara | kontrib)
k Thema
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Kanzcech (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 62:
{{Sejarah Indonesia}}
 
'''Kesultanan Lingga''' atau '''Kesultanan Riau-Lingga''' adalah salah satu kerajaan [[Islam]] yang didirikan di [[Pulau Lingga]]. Kesultanan ini dibentuk pada tahun 1824 dari pecahan wilayah [[Sejarah Johor|Kesultanan Johor Riau]] atas perjanjian yang disetujui oleh [[Britania Raya]] dan [[Hindia Belanda]]. Pendirinya adalah [[Abdul Rahman Muazzam Syah dari Lingga|Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah]]. Wilayah Kesultanan Lingga mencakup provinsi [[Kepulauan Riau]]. Pusat pemerintahan Kesultanan Lingga awalnya berada di [[Kota Tanjungpinang|Tanjung Pinang]], tetapi kemudian dipindahkan ke Pulau Lingga. Kesultanan Lingga berakhir pada tanggal 3 Februari 1911 dan menjadi kekuasaandikuasai Hindia Belanda. Kesultanan ini berperan dalam pengembangan [[Melayu Riau|Bahasa Melayu Riau]] sebagai bahasa standar yang kemudian ditetapkan sebagai [[Bahasa Indonesia]].{{Sfn|Sunandar|2015|p=188}}
 
== Pendirian ==
Baris 68:
 
== Pemerintahan ==
Pemerintahan di Kesultanan Lingga dibagi antara sultan, yang dipertuan muda, dan ulama. Sultan memerintah dalam bidang militer, politik, ekonomi, dan perdagangan. Pusat pemerintahannya berada di Pulau Lingga. Sultan yang dipilih berasal dari para bangsawan [[Suku Melayu|Melayu]]. Yang dipertuan muda bertugas sebagai penasehat sultan. Pusat pemerintahannya berada di [[Pulau Penyengat]]. Jabatan yang dipertuan muda diberikan kepada bangsawan Bugis. Peran ulama di Kesultanan Lingga adalah sebagai penasehat Yang Dipertuan Muda dalam bidang [[rihlah]] ilmiah.{{Sfn|Syahid|2005|p=301}}
 
Pemilihan Pulau Lingga sebagai pusat pemerintahan dikarenakankarena lokasinya yang strategis dalam bidang pertahanan. Pulau ini memiliki dataran yang luas di sekeliling Sungai Daik . Selain itu, sungainya dapat dilayari hingga ke bagian [[Hulu dan hilir|hulu]], sehingga pasukan Hindia Belanda sulit menjangkaunya. Perairan sungai ini juga berubah-ubah sesuai dengan pasang surut air, sehingga sangat sulit dijangkau oleh kapal pada waktu tertentu.{{Sfn|Rehayati dan Farihah|2017|p=173}}
 
== Politik ==
Politik dalam negeri Kesultanan Lingga cukup stabil. Pembagian kekuasaan antara [[Suku Bugis]] dan Suku Melayu dapat terkendali.{{Sfn|Syahid|2005|p=303}} Sebaliknya, Kesultanan Lingga berada di wilayah dengan perpolitikan luar negeri yang rumit dan tidak stabil. Kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya sering melakukan persaingan antarkekuasaan. Selain itu, pejabat pemerintahan dari Kesultanan Lingga juga sering berselisih. Kondisi politik semakin rumit setelah kedatangan Portugis[[Portugal]], Hindia Belanda, Britania Raya dan [[Jepang]]. Wilayah-wilayah di Kepulauan Riau, Semenanjung Melayu, dan pesisir timur [[Sumatra|Pulau SumateraSumatra]] tidak dapat sepenuhnya dikendalikan.{{Sfn|Syahid|2005|p=302}}
 
== Keagamaan ==
Baris 79:
 
== Kebudayaan ==
Kesultanan Lingga telah mengembangkan tradisi tulis menulis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dalam bidang [[sastra]] dan [[keagamaan]]. Naskah-naskah ditulis menggunakan [[Abjad Jawi]] / [[huruf pégon]].{{Sfn|Jamal dan Harun|2014|p=55}} Kesultanan Riau Lingga membuat [[kamus]] Bahasa Melayu dan menjadikannya sebagai sebuah bahasa standar.{{Sfn|Jamal dan Harun|2014|p=59}}
 
Pada tahun 1850, Kesultanan Lingga membangun sebuah percetakan surat kabar dengan tulisan dengandalam Abjad Jawi dan [[Alfabet Latin|Abjad Latin]]. Jenis cetakannya adalah cetakan [[Litografi|litograf]]. Selain itu, di Kesultanan Lingga juga dibentuk perkumpulan para cendekiawan yang menulis karya-karya ilmiah dan menerjemahkan buku-buku berbahasa asing, terutama buku keagamaan yang menggunakan [[bahasa Arab]].{{Sfn|Jamal dan Harun|2014|p=60}}
 
Kesultanan Lingga juga mengembangkan Bahasa Melayu, terutama bahasa lisan di kalangan istana. Bahasa Melayu ini kemudian disebarkan untuk digunakan oleh masyarakat umum.{{Sfn|Firdaus, Elmustian, dan Melay|2018|p=15–16}} Bahasa Melayu kemudian disempurnakan menjadi bahasa baku di Pulau Penyengat.{{Sfn|Firdaus, Elmustian, dan Melay|2018|p=20}} Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kerajaan Lingga menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Bahasa ini kemudian ditetapkan sebagai [[bahasa persatuan]] pada [[Kongres Pemuda|Kongres Pemuda Indonesia]] yang diadakan pada tahun 1928 dengan sebutan baru yaitu Bahasa Indonesia.{{Sfn|Firdaus, Elmustian, dan Melay|2018|p=24}}
Baris 88:
 
=== Sultan Abdurrahman (1819-1832) ===
Sultan Abdurrahaman adalah sultan pertama dari Kesultanan Lingga. Ia adalah putra dari Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa di Kesultanan Johor Riau. Setelah ayahnya wafat, kesultanannya dibagi menjadi dua, yaitu [[Sejarah Johor|Kesultanan Johor Singapura]] dan [[Kesultanan Lingga]]. Pembagian wilayahnya ditentukan oleh [[Britania Raya]] dan [[Hindia Belanda]] dalam [[Traktat London]] yang ditetapkan pada tahun 1824. Wilayah Kesultanan Johor Singapura mencakup [[Johor]], [[Singapura]], [[Pahang]], dan [[TregganuTerengganu]]. Sedangkan wilayah Kesultanan Lingga mencakup [[Pulau Lingga]], [[Pulau Singkep]] dan [[Riau]].{{Sfn|Firdaus, Elmustian, dan Melay|2018|p=156}}
 
=== Sultan Muhammad Syah (1832-1841) ===
Baris 100:
 
=== Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913) ===
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tidak mempunyai keturunan, sehingga penggantinya adalah putri Sultan Mahmud Muzafar Syah yang bernama Fatimah. Suami dari Fatimah adalah [[Yang Dipertuan Muda]] ke-10 bernama Raja Muhammad Yusuf, sehingga kekuasaannya diberikan kepada anaknya yang bernama Raja Abdurrahman. Setelah dilantik pada tahun 1883, Raja Abdurrahman diberi gelar Sultan Abdurrahman Muazam Syah. Pada tahun 1903, ia memindahkan pusat pemerintahan ke [[Pulau Penyengat]]. [[Kesultanan Lingga]] mengalami perkembangan pesat selama masa pemerintahannya. Sultan Abdurrahman Muazam Syah mendirikan perkumpulan Rusydiah di Pulau Penyengat yang kemudian menjadi pusat perkembangan [[politik]], [[budaya]], dan [[kemasyarakatan]]. Ia menjadi sultan terakhir dari Kesultanan Lingga setelah [[Hindia Belanda]] memutuskan untuk membubarkan kerajaan ini pada tanggal 10 Februari 1911. Keputusan ini ditetapkan karena Sultan Abdurrahman Muazam Syah tidak patuh terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Setelah diberhentikan sebagai sultan, ia bersama para [[bangsawan]] akhirnya pindah ke [[Singapura]].{{Sfn|Firdaus, Elmustian, dan Melay|2018|p=158–159}}
 
== Peninggalan ==