Daerah Istimewa Surakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Maulana.AN (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 47:
== Sosial Budaya ==
Sampai saat ini belum ada informasi yang lengkap mengenai kondisi
== Pembekuan dan Penghapusan ==
Pembekuan dan pengapusan status daerah istimewa tak terlepas dari munculnya revolusi sosial berupa gerakan anti swapraja di Surakarta. Revolusi sosial di Surakarta merupakan pertemuan antara kebencian rakyat kepada pemimpin-pemimpin tradisional dan kepentingan kekuatan politik yang ingin menggoyang pemimpin-pemimpin nasional. Rakyat sudah lelah lantaran dijajah Belanda, diduduki Jepang, didominasi keraton, serta ketidakpedulian keraton terhadap revolusi. [[Pakubuwana XII]] dianggap tidak mempunyai pengalaman dalam mengurus masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum, kurang memiliki wattak yang serius dan keberanian untuk mengambil keputusan serta tidak memahami kekuatan-kekuatan revolusi yang sedang bergerak ke arah demokrasi barat dan kedaulatan rakyat. Kondisi ini diperburuk dengan hubungan yang tidak harmonis antara [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Kesunanan Surakarta]] dengan [[Kadipatèn Mangkunagaran|Mangkunegaran]].<ref name=":0">{{Cite journal|last=Sutiyah|first=Sutiyah|date=2017-09-19|title=KEHIDUPAN POLITIK DI KOTA SURAKARTA DAN YOGYAKARTA MENJELANG PEMILIHAN UMUM 1955|url=https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/view/11164|journal=Paramita: Historical Studies Journal|language=id|publisher=Universitas Negeri Semarang|volume=27|issue=2|pages=198|doi=10.15294/paramita.v27i2.11164|issn=2407-5825}}</ref>
Gerakan anti feodal meluas menjadi aksi massa. Kesatuan Barisan Banteng (BB) menculik Sunan, kanjeng Ratu dan Soerjohamidjojo pada bulan Januari 1946 menuntut agar Sunan bersedia disejajarkan dengan pemimpin rakyat lainnya dengan panggilan “Bung”. Selain itu, mereka juga menuntut Sunan untuk melepas kekuasaan politiknya dan bergabung dengan Pemerintah Republik.<ref name=":0" /> Kondisi semakin genting di Surakarta memuncak kala Sutan Syahrir diculik oleh kaum oposisi republik pimpinan Tan Malaka. Setelah dilakukan penculikan, segelintir pasukan oposisi berupaya menyerang istana presiden di Yogyakarta, tetapi berhasil digagalkan.<ref>{{Cite journal|last=Prasadana|first=Muhammad Anggie Farizqi|last2=Gunawan|first2=Hendri|date=2019-06-17|title=KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA|url=http://handep.kemdikbud.go.id/index.php/handep/article/view/36|journal=Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya|language=id|publisher=Balai Pelestarian Budaya Kalimantan Barat|volume=2|issue=2|pages=196|doi=10.33652/handep.v2i2.36|issn=2684-7256}}</ref>
Untuk mengatasi keadaan genting tersebut pemerintah mengeluarkan UU No. 16/SD/1946 yang memutuskan bahwa Surakarta menjadi daerah karesidenan di bawah seorang residen dan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia. Menteri dalam negeri melalui keputusan tanggal 3 Maret 1950 menyatakan bahwa wilayah Kesunanan dan Mangkunegaran secara adminiatrtif menjadi bagian dari provinsi Jawa Tengah. Kedua aturan tersebut mengakhiri status istimewa Surakarta.<ref name=":0" />
== Pembentukan Kembali ==
Seiring dengan dibukanya kembali semangat otonomi daerah dan dengan pemberian Otonomi Khusus pada Papua (2001), Papua Barat (2008), Aceh (2001 dan 2006), dan DKI Jakarta (1999 dan 2007) serta penegasan keistimewaan Aceh (1999 dan 2006) dan Yogyakarta (2012), muncul wacana untuk menghidupkan kembali Daerah Istimewa Surakarta sebagai bagian dari NKRI. Salah satu langkah yang akan ditempuh adalah melakukan uji materi ke [[Mahkamah Konstitusi]] atas UU Negara Bagian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1950.
==
{{reflist}}
== Lihat pula ==
|