Arsitektur dan peninggalan sejarah di Surakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 183:
* Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara [[Kutab Minar]] di [[India]]. Didirikan pada tahun [[1928]].
* Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu shollat.
* Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.
==Masjid Mangkoenegaran==
Pendirian Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh [[Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya]] [[Mangkunagara I]] di [[Praja Mangkunagaran|Kadipaten Mangkunagaran]] sebagai masjid [[Lambang Panotogomo]].
Sebelumnya terletak di wilayah [[Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta|Kauman, Pasar Legi]], namun pada masa Adipati [[Mangkunagara II]] dipindah ke wilayah [[Banjarsari]] dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada [[Pura Mangkunagaran]].
Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunagaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunagaran.
Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada saat pemerintahan Adipati [[Mangkunagara VII]], pada saat itu Mangkunagara VII meminta seorang arsitek dari Prancis untuk ikut serta mendesain bentuk masjid ini.
Luas kompleks masjid sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung.
Masjid Mangkunagaran terdiri dari:
* Serambi: merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur [[Raden Mas Said]] (Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunagaran. Di serambi terdapat [[bedug]] yang bernama [[Kanjeng Kyai Danaswara]].
* Maligin: dibangun atas prakarsa Adipati [[Mangkunagara V]], digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum.
* Ruang Sholat Utama: merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 penyangga pembantu yang berhias huruf kaligrafi Alquran.
* Pawasteren: merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat sholat khusus wanita.
* Menara: dibangun tahun [[1926]] pada masa Mangkunagara VII. Digunakan untuk menyuarakan [[adzan]], pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang [[muadzin]] untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.
Saat ini Masjid Mangkunagaran bernama ''Al-Wustho'', diberi nama demikian pada tahun [[1949]] oleh Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi. Masjid Mangkunagaran merupakan masjid yang cukup unik karena di sini dapat dilihat hiasan kaligrafi Alquran di berbagai tempat, seperti pada pintu gerbang, pada markis/kuncungan, soko dan Maligin.
==Masjid Lawejan==
Masjid Laweyan dibangun pada masa Djoko Tingkir sekitar tahun [[1546]]. Merupakan masjid pertama di [[Kerajaan Pajang]].
Awalnya merupakan pura agama [[Hindu]] dengan seorang biksu sebagai pemimpin. Namun dengan pendekatan secara damai, seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi Masjid.
Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya [[santri]], pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai [[Kampung Belukan]] (''beluk'' = asap).
Pemilik masjid ini adalah [[Kyai Ageng Henis]] (kakek dari [[Susuhunan]] [[Paku Buwono II]]). Seperti layaknya sebuah masjid, Masjid Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk [[pernikahan|nikah]], [[talak]], [[rujuk]], [[musyawarah]], dan [[makam]].
Kompleks masjid menjadi satu dengan makam kerabat [[Keraton Pajang]], [[Kartasura]] dan [[Kasunanan Surakarta]].
Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan [[Paku Buwono X]] untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.
Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu diantaranya adalah:
* Kyai Ageng Henis
* Susuhunan [[Paku Buwono II]] yang memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Keraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.
* Permaisuri [[Paku Buwono V]]
* Pangeran [[Widjil]] I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II-Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Keraton dari Kartasura ke Surakarta.
* [[Nyai Ageng Pati]]
* [[Nyai Pandanaran]]
* Prabuwinoto anak bungsu dari [[Paku Buwono IX]].
* Dalang Keraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh [[Nyi Roro Kidul]] untuk mendalang di Laut Selatan.
* [[Kyai Ageng Proboyekso]], yang menurut legenda merupakan jin [[Laut Utara]] yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.
Di makam ini terdapat tumbuhan langka [[Pohon Nagasari]] yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari [[Betari Durga]]. Makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Keraton Kartasura.
c-law-prasasti1.JPG (26746 bytes)
Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh PB X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.
==newsect==
|