Angkutan umum dalam kota mencakup [[bus kota]], [[angkot]], [[taksi]], [[becak]], dan [[andong]].
== Arsitektur dan peninggalan sejarah ==
Lihat [[arsitektur dan peninggalan sejarah di Surakarta]]
<!--lebih baik lagi kalau dibuatkan ringkasan-->
[[Berkas:Portal Karaton Surakarta.jpg|thumb|300px|Keraton Surakarta]]
Sebagai kota yang sudah berusia hampir 250 tahun, Surakarta memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing.
Kraton Kasunanan Surakarta tentu saja adalah bangunan paling pokok dalam konsep penataan ruang Solo. Perencanaan kraton ini mirip dengan konsep yang digunakan dalam pembangunan Kraton [[Kesultanan Yogyakarta]].
Solo merupakan salah satu kota pertama di Indonesia yang dibangun dengan konsep tata kota modern. Kraton yang dibangun berdekatan dengan [[Bengawan Solo]] selalu terancam banjir. Karena itu dibangunlah tanggul yang hingga kini masih dapat dilihat membentang dari selatan wilayah Jurug hingga kawasan Solo Baru.
[[Boulevard]] yang memanjang lurus dari arah barat laut menuju ke depan alun-alun istana (sekarang Jalan Slamet Riyadi) dirancang untuk mengarahkan pandangan ke arah [[Gunung Merbabu]].
Terdapat pula pengelompokan pemukiman untuk warga pendatang. Kawasan Pasar Gede ([[Pasar Gede Harjonagoro|Pasar Gedhe Hardjonagoro]]) dan Pasar Balong merupakan tempat perkampungan orang Tionghoa, sementara kawasan pemukiman orang Arab (kebanyakan dari [[Hadramaut]]) terletak di kawasan Pasar Kliwon.
Pedagang batik Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak mendirikan usaha dan tempat tinggal di kawasan Laweyan (sekarang mencakup Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke). Di kawasan ini juga didirikan pertama kali organisasi bercorak Islam-nasional yang pertama di Indonesia oleh Haji [[Samanhudi]], [[Serikat Dagang Islam|Syarikat Dagang Islam]] pada tanggal [[16 Oktober]] [[1905]].<ref>[http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/02/takbir06.htm+Syarikat+Dagang+Islam&hl=de&ct=clnk&cd=6&gl=de&client=firefox-a Pikiran Rakyat Cyber Media 2 November 2005, diakses 3 Juni 2007]</ref> Bekas kejayaan para pedagang batik pribumi ''tempo doeloe'' ini bisa dilihat dari sejumlah rumah mewah di Jalan Dr. Rajiman. Di kawasan ini, mereka memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah besar yang mewah dengan arsitektur cantik namun terlindungi oleh pagar-pagar yang tinggi dengan gerbang ("regol") yang besar.
Di dalam kompleks kraton terdapat perkampungan Kauman yang dulunya merupakan kompleks tempat tinggal para kaum ulama kerajaan dan kerabatnya. Kompleks ini terletak di belakang (barat) Masjid Agung keraton. Beberapa nama kampung di kawasan ini masih menunjukkan jejak tersebut, seperti Pengulon (dari kata "penghulu"), Trayeman, Sememen, Kinongan, Modinan, serta Gontoran. Perkampungan ini dipenuhi beragam arsitektur rumah gedung dengan ornamen hiasan dan model rumah gaya campuran Eropa-Jawa-Tiongkok. Awalnya, Kampung Kauman yang berada di sisi barat depan Keraton Kasunanan ini diperuntukkan bagi tempat tinggal (kaum) ulama kerajaan dan kerabatnya.
Kawasan Solo utara, yang ditata oleh pihak [[Mangkunagaran]], juga memiliki jejak arsitektur yang banyak mendapat sentuhan Eropa. Bagian utara kota Solo dilewati oleh Kali Pepe, yang seperti Bengawan Solo juga berkali-kali menimbulkan bencana banjir. Pembangunan tanggul kali dan pintu air, saluran drainasi, MCK (mandi-cuci-kakus, yang pertama kali diterapkan), serta penempatan kantor kelurahan yang selalu berada pada perempatan jalan, merupakan beberapa jejak yang masih dapat dilihat sekarang, yang pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan [[Mangkunagara IV]].
=== Benteng Vastenburg ===
Di kota Surakarta terdapat pula bekas peninggalan kolonial Belanda yaitu [[Benteng Vastenburg]] yang dulu digunakan sebagai pusat pengawasan kolonial Belanda untuk mengawasi gerak-gerik [[Keraton Kasunanan]], namun sekarang keadaannya tidak terurus, di pusat kota Surakarta di dekat (sejalan dengan) [[Balaikota Surakarta]]. Dulu bangunan ini bernama "Grootmoedigheid" dan didirikan oleh [[Gubernur Jenderal]] [[Baron van Imhoff]] pada tahun [[1745]]. Benteng ini dahulu merupakan benteng pertahanan yang berkaitan dengan rumah Gubernur Belanda. Benteng dikelilingi oleh kompleks bangunan lain yang berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal perwira dan asrama perwira. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi ''bearing wall'' serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. Setelah kemerdekaan pernah berfungsi sebagai kawasan militer dan asrama bagi [[Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya]] / [[Kostrad]]. Bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya.<ref>http://www.solonet.co.id/sololama/vastenburg.htm</ref>
=== Gedung Brigade Infanteri ===
Gedung Brigade [[Infanteri]] merupakan bangunan yang dibangun untuk melengkapi kompleks benteng pertahanan Vastenburg.
=== Kantor Kodim ===
Dulunya terletak di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, bangunan ini berkaitan erat dengan [[Loji Gandrung]] sebagai rumah komandan pasukan Belanda dan Benteng Vastenburg sebagai pusat pertahanan tentara Belanda di wilayah Surakarta. Sejak beberapa tahun terakhir, kantor Kodim yang baru berada di Jalan Ahmad Yani, sementara kantor yang lama dikembalikan ke pemilik. Setiawan Jodi pernah memiliki kantor kodim ini.
=== Pasar Gedhe Hardjonagoro ===
{{artikel|Pasar Gede Harjonagoro}}
[[Berkas:Pasar Gede Harjonagoro.jpg|thumb|300px|Pasar Gede Hardjonagoro]]
Pada jaman kolonial Belanda, Pasar Gedhe merupakan sebuah pasar "kecil" yang didirikan di area seluas 10.421 meter persegi, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang digunakan sebagai Balaikota Surakarta. Bangunan ini di desain oleh arsitek Belanda bernama Ir. [[Thomas Karsten]] yang selesai pembangunannya pada tahun [[1930]] dan diberi nama Pasar Gede Hardjanagara. Diberi nama Pasar Gedhe karena terdiri dari atap yang besar (''Gedhe'' artinya besar dalam [[bahasa Jawa]]). Seiring perkembangan waktu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta.
Awalnya pemungutan pajak (retribusi) dilakukan oleh [[abdi dalem]] Kraton Surakarta. Mereka mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa jubah dari kain (lebar dan panjang dari bahan [[batik]] dipakai dari pinggang ke bawah), [[beskap]] (semacam kemeja), dan [[blangkon]] (topi tradisional). Pungutan pajak kemudian akan diberikan ke Keraton Kasunanan.
Pasar Gedhe terdiri dari dua bangunan yang terpisah, masing masing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang bertuliskan 'PASAR GEDHE''.
Arsitektur Pasar Gedhe merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya tradisional. Pada tahun [[1947]], Pasar Gedhe mengalami kerusakan karena serangan Belanda. Pemerintah Indonesia kemudian merenovasi kembali pada tahun [[1949]]. Perbaikan atap selesai pada tahun [[1981]]. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan untuk kantor [[DPU]] yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.<ref>http://www.solonet.co.id/sololama/pasargede.htm</ref>
=== Pasar Klewer ===
{{sect-stub}}
[[Berkas:Pasar Klewer.jpg|frame|Gapura Kraton dan Pasar Klewer (tampak belakang)]]
Pasar Klewer merupakan salah satu pasar batik terbesar di Indonesia. Pasar ini terletak di dekat [[Keraton Kasunanan]] dan di seberang [[Masjid Agung Surakarta]]
=== Rumah Sakit Kadipolo ===
Rumah Sakit Kadipolo terletak di jalan Dr. [[Radjiman Wedyodiningrat|Radjiman]] dengan luas lahan sekitar 2,5 Ha. Rumah sakit ini didirikan pada masa pemerintahan Sunan [[Paku Buwono X]].
Pada mulanya bangunan ini dibangun khusus untuk poliklinik para abdi dalem kraton. Karena masalah biaya, pada tahun [[1948]] pengolahannya diserahkan kepada [[Pemda Surakarta]] disatukan dengan pengolahan [[Rumah Sakit Mangkubumen]] dan [[Rumah Sakit Jebres]]. Namun dengan syarat bahwa keluarga kraton dan pegawai kraton yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapat keringanan pembiayaan. Tahun [[1960]] pihak keraton menyerahkan Rumah Sakit Kadipolo sepenuhnya termasuk investasi bangunan berikut seluruh pegawai dan perawatnya kepada Pemda Surakarta.
Tanggal [[1 Juli]] [[1960]] mulai dirintis penggabungan Rumah Sakit Kadipolo dengan Rumah Sakit Jebres dan Rumah Sakit Mangkubumen di bawah satu direktur yaitu dr. [[Sutedjo]]. Kemudian masing-masing rumah sakit mengadakan spesialisasi, RS. Jebres untuk anak-anak, RS. Kadipolo untuk penyakit dalam dan kandungan serta RS. Mangkubumen untuk korban kecelakaan.
[[1 Agustus]] [[1976]] diadakan pemindahan pasien dari RS. Kadipolo ke RS. Mangkubumen sebagai persiapan berdirinya SPK ([[Sekolah Pendidikan Keperawatan]]). Pemindahan pasien selesai sampai awal April 1977.
[[24 April]] [[1977]] SPK resmi berdiri dengan menempati bangunan RS. Kadipolo.
Kampus SPK hanya bertahan 5 tahun karena Februari [[1982]] [[Departemen Kesehatan Republik Indonesia|Depkes]] Pusat memerintahkan untuk mengosongkan RS. Kadipolo untuk dipindah ke kawasan Mojosongo.
Sejak tahun [[1985]] bangunan tersebut menjadi milik klub sepak bola [[Arseto]] sebagi tempat tingal dan ''mess'' bagi para pemain Arseto Solo. Namun kini sebagian besar bangunan dibiarkan kosong tak terawat.<ref>http://www.solonet.co.id/sololama/rs_kadipolo.htm</ref>
=== Dalem Poerwadiningratan ===
Dalem Purwodiningratan terletak di lingkungan dalam Keratonan, Baluwarti dan merupakan bangunan dalem yang terluas, terbesar dengan pagar tertinggi di lingkungan itu (90m x 100m atau sekitar 1 Ha).
Bangunan ini dibuat oleh Sunan [[Paku Buwono IV]] bersamaan dengan dibangunnya [[Dalem Suryohamijayan]] dan [[Dalem Sasonomulyo]]. Ketika Dalem Poerwadiningratan selesai dibangun, Sinuhun PB IV berkenan untuk mengadakan ''Lenggah Sinoko'' (sidang pemerintahan dihadapan para menteri) di bangunan tersebut.
Dalem ini kemudian diserahkan kepada [[Ratu|Kanjeng Ratu]] [[Pembayun]] yang dinikahi oleh [[KPH|KGPH]] [[Mangkubumi II]], kemudian diwariskan kepada [[KPH]] [[Riyo Atmodjo]]. Putra beliau yang mendapatkan hak waris atas dalem adalah [[Raden Mas|Kanjeng Raden Mas]] [[Haryo Purwodiningrat Sepuh]] dan kemudian pada putranya lagi Kanjeng Raden Mas [[Tumenggung Haryo Purwodiningrat]].
Demikian hingga kawasan ini bernama Poerwadiningratan. (Menurut aturan Jawa, Dalem diberi nama sesuai dengan pemilik terakhir bangunan). Sampai sekarang Dalem Poerwodiningratan dimiliki oleh segenap keluarga keturunan Poerwadiningrat.
Rumah Jawa merupakan pencerminan diri pemilik-nya oleh karena itu seringkali pamor rumah Jawa akan berangsur-angsur turun atau hilang setelah pemiliknya meninggal dunia.
Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Poerwodiningrat adalah seorang [[Bupati]] [[Keraton Kasunanan Surakarta]] yang pernah menjabat sebagai penguasa [[Taman Sriwedari|Sriwedari]]. Seorang dengan wibawa besar yang tercermin dari dalem yang dimilikinya.
Pengaruh ini dirasakan menurun ketika beliau wafat (sesuai peribahasa Jawa ''Yen ditinggal Ibu ora kopen ning yen ditinggal Bapak ora kajen''). Ini tercermin dari kebiasaan-kebiasaan penghormatan terhadap bangunan yang telah berubah. Misalnya kendaraan yang berlalu-lalang disekitar pendopo atau masuk pendopo tanpa melepas alas kaki.
Pada jaman KRTH Poerwodiningrat, pendatang yang masuk ke lingkungan dalem berjalan kaki bahkan berjalan jongkok di pendopo untuk menghormat. Halaman pendopo ditutup pasir untuk area duduk para abdi dalem yang sowan, dan ada tempat penyimpanan payung-payung untuk para tamu.
Seiring dengan berfungsinya bangunan sebagai kantor [[Departemen Pertanian dan Kehakiman]] ([[1947]]) kebiasaan ini mulai ditiadakan. Dalem Poerwodiningratan juga pernah digunakan sebagai SMP, SMA, SGA dari [[Yayasan Pendidikan Tjokroaminoto]] (sekitar tahun 1950–1960).
Poerwodiningratan juga mempunyai urutan ruang seperti halnya bangunan tradisional Jawa dengan paviliun di sekelilingnya. Paviliun kini ditinggali oleh keluarga Poerwadiningrat.
Dengan dasar (warah/petuah) filosofi dari Sunan [[Paku Buwono X]] bahwa "''Budoyo Jowo iku ora bedo karo pusoko kadatone, lamun dipepetri bakal hamberkahi nanging lamun siniosio bakal tuwuh haladipun''" yang kurang lebih berarti budaya Jawa itu sama dengan pusaka keraton jika dihormati akan memberi berkah, namun jika disia-sia akan memberi hukuman. Untuk itu setiap malam Jumat ''dalem pringgitan'' diberi sesajian dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Demikian pula pada tanggal 1 bulan Jawa dan setiap tahun pada [[bulan Sapar]] untuk memperingati berdirinya bangunan tersebut.
Layaknya bangunan kuno di Jawa, pada bangunan ini sering terjadi hal-hal aneh yang bersifat mistik terutama bila sesajian lupa disajikan di dalam pendopo.
=== Masjid Agoeng Soerakarta ===
Masjid Agung Surakarta pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.
Masjid Agung dibangun oleh Sunan [[Paku Buwono III]] tahun [[1763]] dan selesai pada tahun [[1768]]. Masjid ini merupakan masjid dengan katagori [[Masjid Jami]], yaitu masjid yang digunakan untuk sholat lima waktu dan sholat Jumat. Dengan status Masjid Negara/Kerajaan karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan.
Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.
Masjid Agung terdiri dari
* Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.
* Ruang Sholat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab dengan kelengkapan mimbar sebagai tempat [[Khotib]] pada waktu [[Sholat]] Jumat.
* Pawestren, (tempat sholat untuk wanita) dan Balai Musyawarah,
* Tempat ber[[wudhu]]
* Pagar Keliling, dibangun pada masa Sunan [[Paku Buwono VIII]] tahun [[1858]].
* Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat [[gamelan]] ketika upacara [[Sekaten]] (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad S.A.W.)
* Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Sholat Jumat dan [[Gerebeg]], diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
* Gedung PGA Negeri, didirikan oleh Susuhunan [[Paku Buwono X]] ([[1914]]) dan menjadi milik kraton.
* Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara [[Kutab Minar]] di [[India]]. Didirikan pada tahun [[1928]].
* Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu shollat.
* Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.
=== Masjid Mangkoenegaran ===
Pendirian Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh [[Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya]] [[Mangkunagara I]] di [[Praja Mangkunagaran|Kadipaten Mangkunagaran]] sebagai masjid [[Lambang Panotogomo]].
Sebelumnya terletak di wilayah [[Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta|Kauman, Pasar Legi]], namun pada masa Adipati [[Mangkunagara II]] dipindah ke wilayah [[Banjarsari]] dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada [[Pura Mangkunagaran]].
Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunagaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunagaran.
Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada saat pemerintahan Adipati [[Mangkunagara VII]], pada saat itu Mangkunagara VII meminta seorang arsitek dari Prancis untuk ikut serta mendesain bentuk masjid ini.
Luas kompleks masjid sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung.
Masjid Mangkunagaran terdiri dari:
* Serambi: merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur [[Raden Mas Said]] (Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunagaran. Di serambi terdapat [[bedug]] yang bernama [[Kanjeng Kyai Danaswara]].
* Maligin: dibangun atas prakarsa Adipati [[Mangkunagara V]], digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum.
* Ruang Sholat Utama: merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 penyangga pembantu yang berhias huruf kaligrafi Alquran.
* Pawasteren: merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat sholat khusus wanita.
* Menara: dibangun tahun [[1926]] pada masa Mangkunagara VII. Digunakan untuk menyuarakan [[adzan]], pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang [[muadzin]] untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.
Saat ini Masjid Mangkunagaran bernama ''Al-Wustho'', diberi nama demikian pada tahun [[1949]] oleh Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi. Masjid Mangkunagaran merupakan masjid yang cukup unik karena di sini dapat dilihat hiasan kaligrafi Alquran di berbagai tempat, seperti pada pintu gerbang, pada markis/kuncungan, soko dan Maligin.
=== Masjid Lawejan ===
Masjid Laweyan dibangun pada masa Djoko Tingkir sekitar tahun [[1546]]. Merupakan masjid pertama di [[Kerajaan Pajang]].
Awalnya merupakan pura agama [[Hindu]] dengan seorang biksu sebagai pemimpin. Namun dengan pendekatan secara damai, seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi Masjid.
Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya [[santri]], pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai [[Kampung Belukan]] (''beluk'' = asap).
Pemilik masjid ini adalah [[Kyai Ageng Henis]] (kakek dari [[Susuhunan]] [[Paku Buwono II]]). Seperti layaknya sebuah masjid, Masjid Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk [[pernikahan|nikah]], [[talak]], [[rujuk]], [[musyawarah]], dan [[makam]].
Kompleks masjid menjadi satu dengan makam kerabat [[Keraton Pajang]], [[Kartasura]] dan [[Kasunanan Surakarta]].
Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan [[Paku Buwono X]] untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.
Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu diantaranya adalah:
* Kyai Ageng Henis
* Susuhunan [[Paku Buwono II]] yang memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Keraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.
* Permaisuri [[Paku Buwono V]]
* Pangeran [[Widjil]] I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II-Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Keraton dari Kartasura ke Surakarta.
* [[Nyai Ageng Pati]]
* [[Nyai Pandanaran]]
* Prabuwinoto anak bungsu dari [[Paku Buwono IX]].
* Dalang Keraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh [[Nyi Roro Kidul]] untuk mendalang di Laut Selatan.
* [[Kyai Ageng Proboyekso]], yang menurut legenda merupakan jin [[Laut Utara]] yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.
Di makam ini terdapat tumbuhan langka [[Pohon Nagasari]] yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari [[Betari Durga]]. Makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Keraton Kartasura.
c-law-prasasti1.JPG (26746 bytes)
Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh PB X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.
=== Parmadi Poetri ===
Berdiri Januari 1927 atas prakarsa pemerintahan Kasunanan dengan nama HIS ([[Hollandsch-Inlandsche School]]) Pamardi Putri. Semula digunakan untuk putri kerabat dekat kasunanan. Sebuah bangunan yang berfungsi sama namun digunakan untuk lelaki bernama [[Gedung Ksatriyan]].
=== Gedung Pengadilan Tinggi Agama ===
Awalnya bangunan ini dipergunakan untuk rumah tinggal. Sejak tahun 1938 digunakan sebagai Kantor Departemen Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Ornamen bangunan ini bergaya Arab-Kolonial, terlihat dari penggunaan kubah lengkung yang dihiasi kaca dan berbagai ukiran kaligrafi. Bangunan ini terletak di jalan Slamet Riyadi Surakarta.
=== Gedung Veteran ===
Dikenal juga dengan sebutan Gedung Lowo. Awalnya bangunan ini digunakan sebagai rumah tinggal bangsawan/pejabat Belanda. Tahun [[1945]] gedung ini dihuni oleh keluarga Djian Ho. Gedung ini terletak di jalan Slamet Riyadi dengan bentuk khas arsitektur kolonial untuk sebuah bangunan rumah tinggal.
Setelah merdeka gedung ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan digunakan sebagai Gedung Veteran. Pemugaran besar yang berarti tanpa merubah bentuk asli bangunan pernah dilakukan pada tahun 1983-1985.
=== Kantor Pertani ===
Berdiri tahun 1908 sebagai bangunan rumah tinggal seorang bangsawan [[Tionghoa]] yang dekat dengan kerabat Keraton. Pernah digunakan sebagai tempat usaha batik oleh pedagang [[Lawiyan, Lawiyan, Surakarta|Lawiyan]]. Tahun [[1978]] dialihfungsikan sebagai kantor PT. Pertani yang melayani bidang administrasi perkantoran. Mempunyai banyak kesamaan detail arsitektur dengan Gedung Veteran, Loji Gandrung dan Bekas Kantor DPU.
=== Bank Indonesia ===
Dulu bernama [[Bank Indonesia|Javasche Bank]]. Merupakan kantor cabang karya arsitek Hulswit, Fermont dan Ed. Cuipers dengan standart gaya neoklasik. Sekelompok pemuda pernah menggunakan gedung ini untuk menculik PM [[Sutan Syahrir|Syahrir]] pada masa revolusi.
=== Geredja Katholik Antonius ===
[[Gereja Katolik Santo Antonius Surakarta]] merupakan gereja tertua di Surakarta yang didirikan tahun 1905. Memiliki skala bangunan yang besar, bangunan ini belum pernah berubah bentuk dan fungsinya hingga hari ini.
=== Broederan Poerbayan ===
Bruderan [[Purbayan]] merupakan tempat pendidikan sekaligus asrama bagi para [[Bruder]]. Didirikan pada jaman penjajahan Belanda tahun 1921/1922.
=== Tempat Ibadah Tri Dharma Tien Kok Sie ===
[[Berkas:Klenteng Tien Kok Sie.jpg|thumb|300px|Muka Depan Klenteng Tien Kok Sie]]
Klenteng yang terletak di Jalan R.E Martadinata no.12 ini sudah berdiri semenjak 263 (2008) tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1745.
Vihara Avalokitheswara merupakan tempat ibadah umat Tri Dharma ( Confucianisme, Buddhisme, dan Taoisme ). Sangat dipengaruhi oleh arsitektur Tiongkok.
=== Vihara Am Po Kian ===
Vihara Am Po Kian didirikan tanggal [[24 Agustus]] [[1875]] dan mengalami perbaikan pada tanggal [[14 Agustus]] [[1944]]. Dulu merupakan bangunan kuil milik seorang [[biksu]] dengan adu ilmu akhirnya bangunan ini dapat dikuasai oleh [[Kyai Ageng Henis]] (Kakek dari Raja-raja [[Mataram]]) dan diubah fungsikan menjadi masjid.
Di dalam kawasan ini pula Kyai Ageng Henis beserta keluarganya dimakamkan. Pada halaman tengah makam terdapat pendapa tempat menikahkan raja pada masa kerajaan [[Kartasura]]. Saat ini tempat tersebut digunakan sebagai tempat persiapan ziarah/istirahat.
== Budaya ==
|