Jaranan Thek Ponorogo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k merapikan |
|||
Baris 5:
Masyarakat Ponorogo sebagian menyebut kesenian Jaranan Thek dengan sebutan Reog Thek adapun juga disebut sentherewe, karena mahkota pada barongan Jaran thek berbentuk seperti daun Talas, dalam bahasa jawa adalah Sente dan Rawe.
Keberadaan Jaranan Thek ada sekitar pada akhir abad ke 15
=== Abad 15 (Barongan Tanpo Lulang) ===
Warok Guno Seco dan Warok Suro Handoko merupakan orang yang tersingkirkan di Kadipaten Ponorogo, sehingga diberi kewenangan untuk
Yang dimaksud Barongan ''Tanpo Lulang'' adalah, topeng reyog tanpa dilapisi kulit harimau.
=== Abad 17 (Barongan Nogo Baruk klinting) ===
Kemudian sering terjadinya pertarungan antar komunitas Reog Ponorogo (dhahak merak) di era Kolonial yang disebut ''tempuk'', bagi grup reog yang kalah akan kehilangan perangkat Barongan dadak merak, Gemblak dan peralatan lainnya. Sehingga membuat malu bagi anggota komunitas Reog Ponorogo yang kalah, kemudian mengungsi ke wilayah pengunungan Ponorogo bagian timur.
Komunitas Reog Ponorogo yang kalah tetap melakukan pertunjukan kesenian reog Tanpo Lulang, karena apabila ingin membuat barongan dhadhak merak harus berhadapan dengan harimau lagi. Sehingga para warok yang kalah ''tempuk'' membuat kesenian dengan cerita berdasarkan legenda [[telaga Ngebel]], [[Naga]] Baruk klinting. Meski topeng berbentuk menyerupai naga, tetap disebut macan atau singo barong.<ref>{{Cite journal|last=Nugraheni|first=Whinda Kartika|date=20 april 2015|title=BENTUK PENYAJIAN KESENIAN TARI JARANAN THIK
DI DESA COPER, KECAMATAN JETIS
KABUPATEN PONOROGO JAWA TIMUR|url=https://eprints.uny.ac.id/18147/1/SKRIPSI.pdf|journal=UNY - BENTUK PENYAJIAN KESENIAN TARI JARANAN THIK
Baris 19 ⟶ 21:
KABUPATEN PONOROGO JAWA TIMUR}}</ref>
Walau pun tanpa dilapisi kulit harimau, Jaranan Thek
Jaranan Thek yang di daerah pegunungan ini kemudian disebut Senterewe, kerana mahkota pada topeng jaranan thek ini seperti daun Talas. Kemudian lebih dikenal senterewe di daerah Tulungagung sebagai jaranan kreasi karena mengolah gerak tari yang baru.
== Dari Waktu ke Waktu ==
=== Masa Penjajahan ===
Dimasa Kolonial belanda, kelompok Jaranan Thek yang mulanya dari grup Reog yang kalah, sehingga selalu bersinggungan dengan Reog Dhadhak merak di era Kolonial Belanda hingga kemerdekaan sekalipun. Tak jarang kelompok Jaranan Thek mendapatkan intimidasi dan penghinaan dari anggota Reog Dhadhak Merak dengan sebutan Kesenian buangan. Sehingga hampir tidak pernah ada penampilan secara bersama kolaborasi antara Jaranan Thek dengan Reog Dhadhak Merak, adapun ketika pertunjukan budaya seperti bersih desa karena tidak pertemuan yang tidak disengaja.<ref>{{Cite book|last=Zamzam Fauzannafi|first=Muhammad|date=2005|title=Reog Ponorogo: Menari di antara Dominasi dan Keragaman|publisher=Kepel Press|url-status=live}}</ref>
Akan demikian, Jaranan Thek memiliki penggemarnya sendiri di daerah pegunungan yang berbatasan dengan kota lain, sehingga jaran Thek diterima dan dipelajari oeh Masyarakan luar kota yang berbatasan dengan Ponorogo dengan mudah, bahkan Jaranan Thek Ponorogo sangat populer di [[Kota Blitar|Blitar]] dan malang ketika pasar malam berlangsung.
=== Masa Kemerdekaan ===
Ketika Indonesia sudah Merdeka, Jaranan Thek di Ponorogo hidup secara mandiri hasil swadaya masyarakat, karena tidak ada bantuan dari Pemerintah Ponorogo sama sekali, hal itu karena Pemerintah menggelontorkan
Pada saat ini terdapat perubahan kreasi pada pakaian Bopo (pawang) pada kesenian kuda lumping umumnya yang mengenakan kaos lengan panjang, Tetapi Bopo pada Jaranan Thek Saat ini masih seperti dahulu, yakni menggunakan setelan Penadon komplit seperti halnya pada Reog Dhahak Merak. Keberadaan Jaranan Thek di Ponorogo dirasa meresahkan oleh seniman kuda Lumping di Luar Ponorogo, karena jaranan thek tetap menampilkan gerakan lama atau kawak yang rumit, selain itu harga pementasan jaranan thek dirasa merusak harga karena dianggap murah dari harga pentas jaranan di luar Ponorogo.
Baris 35 ⟶ 40:
== Alur Cerita Pementasan ==
Jaranan Thek di Ponorogo tidak menceritakan tentang perebutan seorang puteri seperti halnya kesenian kuda lumping umumnya, tetapi menceritakan perburuan hewan-hewan di hutan Ponorogo yang akan digunakan sebagai santapan pada acara desa yang mengacu pada legenda terjadinya [[Telaga Ngebel|Telaga Ngebel,]] sebagai pengingat kepada penonton dan generasi selanjutnya bahwa manusia tidak boleh rakus, serakah, sombong dan acuh tak acuh.
Pada Pementasan Jaranan Thek, diawali dengan pembacaan mantra oleh para Bopo. setelah itu pasukan berkuda mengejar dan memburu pasukan babi. kemudian, Pasukan Berkuda menyerang barongan naga baruk klinting yang kemudian pasukan berkuda kalah.
|