Pong Tiku: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Baris 48:
Khawatir akan persaingan dari kerajaan [[Luwu]] dan [[Kerajaan Bone|Bone]] di utara dan Sidareng dan Sawitto di selatan, Tiku berusaha memperkuat pertahanan negaranya. Kerajaan akhirnya mencapai beberapa perjanjian perdagangan.{{sfn|Tangdilintin|1976|p=3}} Namun, perambahan Bugis menyebabkan ketegangan baru antara negara bagian, yang mencapai puncaknya dalam [[Perang Kopi]] pada tahun 1889. Tiku memihak kerajaan selatan yang dipengaruhi Bugis.{{sfn|Tangdilintin|1976|pp=4–5}}
 
Pemimpin militer Bone Petta Panggawae dan prajurit Songko' Borrong{{efn|Dinamai setelah topi mereka, yang berwarna merah. Dalam bahasa setempat, ''songko{{'}}'' berarti topi dan ''borrong'' berarti merah.}} menyerbu Pangala' dan memihak Pong Maramba', seorang bangsawan kecil. Panggawae mengambil alih ibu kota Tiku di Tondon dan meruntuhkan kota, membuat Tiku dan penduduk sipil meninggalkan daerah tersebut. Tiku, yang berpihak pada pemimpin Sidenreng, Andi Guru, berhasil merebut kembali sisa-sisa ibu kota malam itu.{{sfn|Tangdilintin|1976|p=6}} Perang berakhir pada tahun 1890.{{sfn|Tangdilintin|1976|pp=4–5}} SesuaiAtas perintah [[Hindia Belanda|pemerintah kolonial]] di [[Jawa]], pasukan Belanda merangsek sampai Bone. Namun, negara-negara bagian yang tersisa segera memulai serangkaian perjuangan lain atas perdagangan [[industri senjata|senjata]] dan [[perdagangan budak|budak]]. Negara-negara kemudian menukar senjata dengan budak. Tiku juga berpartisipasi dalam perdagangan.{{sfn|Tangdilintin|1976|p=7}}
 
Tiku akhirnya membentuk aliansi dengan para pemimpin Bugis terdekat, yang mengurangi ketegangan dan meningkatkan perdagangan;{{sfn|Tangdilintin|1976|pp=8–9}} ia juga mempelajari [[Alfabet Lontar|sistem penulisan]] dan [[Bahasa Bugis|bahasa]] kelompok tersebut, sehingga ia dapat dengan mudah berkorespondensi dengan para pemimpin Bugis.{{sfn|Bigalke|2005|pp=34–35}} Pada saat ini Tiku telah merebut banyak wilayah.{{sfn|Bigalke|2005|p=44}} Untuk menghindari pengulangan penghancuran Tondon, Tiku memulai pembangunan tujuh benteng di tanahnya, serta beberapa pos pengawasan dan gudang.{{sfn|Tangdilintin|1976|pp=8–9}} Benteng Toraja dirancang untuk mencegah masuknya lembah menuju pusat populasi, dan benteng Tiku dibagi antara bagian timur dan barat tanahnya.{{sfn|Bigalke|2005|p=57}} Dia menerapkan sistem pajak untuk mendanai langkah-langkah defensif ini: pemilik sawah diwajibkan untuk mengenakan pajak dua pertiga dari hasil panen mereka, sementara petani lain dikenai pajak sepuluh persen.{{sfn|Bigalke|2005|p=44}}