Kabupaten Kampar: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi tidak terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Penduduk: Wikipedia:Pemastian, sumber bisa diakses
Snshe (bicara | kontrib)
k Membalikkan vandalisme. (Wikipedia: sudut pandang netral)
Tag: Pengembalian manual VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 106:
=== Penduduk ===
 
Jumlah penduduk Kabupaten Kampar tahun 2010 tercatat 688,204 orang,<ref>http://www.bps.go.id [http://www.bps.go.id/download_file/Data_SP2010_menurut_kelompok_umur.pdf Jumlah Penduduk]</ref> yang terdiri dari penduduk laki-laki 354,836 jiwa dan wanita 333,368 jiwa. Ratio jenis kelamin (perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan) adalah 109. Mayoritas Penduduk Kabupaten Kampar adalah etnis [[orangOrang Kampar|Melayu Kampar]] yang memiliki kedekatan dengan [[Orang Minangkabau|Minangkabau]]. Mereka juga kerap menyebut dirinya sebagai ughang (orang) Ocu yang tersebar di sebagian besar wilayah Kampar dengan persukuan [[Suku Domo|Domo]], [[Malayu]], [[Suku Piliang|Piliong/Piliang]], [[Suku Mandailiang|Mandailiong]], [[Suku Pitopang|Putopang]], [[Caniago]], [[Kampai]], [[Bendang]], dan lainnya. Beberapa literatur menyatakan, masyarakat Kampar dari segi adat-istiadat, budaya, dan bahasa mereka sangat dekat dengan masyarakat [[Orang Minangkabau|Minangkabau]].<ref name="Purna"/> khususnya dengan kawasan [[Luhak Limopuluah]], [[Sijunjung]], [[Dharmasraya]] Hal ini terjadi karena wilayah Kampar yang merupakan bagian dari provinsi [[Riau]] dulunya merupakan wilayah [[Sumatra Tengah]] bersamaan dengan [[Jambi]] dan [[Sumatra Barat]] sejak masa penjajahan Jepang pada tahun 1942. Menurut H.Takahashi dalam bukunya Japan and Eastern Asia, 1953, Pemerintahan Militer Kaigun di Sumatra memasukkan Kampar ke dalam wilayah Riau Shio sebagai bagian dari strategi pertahanan teritorial militer di pantai Timur Sumatra. Hal inilah yang membuat budaya mereka dekat, jika dilihat juga kebudayaan di Jambi hulu dan Riau daratan memiliki kedekatan dengan budaya di Sumatra Barat atau memiliki pengaruh budaya dari Sumatra Barat. Karena masyarakat Kampar termasuk Melayu, maka wilayah Kampar dimasukkan kedalam wilayah provinsi Riau dan ini sudah berlangsung sejak dahulu. Wilayah Kampar juga menjadi wilayah rantau Minangkabau (''rantau Kampar'') atau wilayah yang memiliki pengaruh budaya Minangkabau. Rantau Kampar sendiri termasuk bagian dari rantau nan duo yang memiliki dua macam yaitu: "rantau hilia" (''rantau hilir/rantau di timur atau hilir'') dan juga "rantau mudiak" (''rantau mudik/rantau di sepanjang pesisir Barat''). Rantau Kampar ialah perantauan masyarakat darek (darat) di Minangkabau yang kita kenal dengan (luhak) tepatnya Luhak limopuluah.
 
Selanjutnya terdapat juga etnis [[Jawa]] yang sebagian telah menetap di Kampar sejak masa penjajahan dan masa kemerdekaan melalui program [[transmigrasi]] yang tersebar di sentra-sentra permukiman transmigrasi. Didapati pula penduduk beretnis [[Batak]] dalam jumlah yang cukup besar bekerja sebagai buruh di sektor-sektor perkebunan dan jasa lainnya. Selain itu dalam jumlah yang signifikan para pendatang beretnis Minangkabau asal [[Sumatra Barat]] yang umumnya berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha.
Baris 140:
Kabupaten Kampar memiliki kawasan situs purbakala yang diperkirakan telah ada pada masa [[Sriwijaya]] yaitu [[Candi Muara Takus]], kawasan ini selain menjadi kawasan cagar budaya juga menjadi tujuan wisata religi bagi umat [[Buddha]]. [[Candi Muara Takus]] terletak di desa [[Muara Takus, XIII Koto Kampar, Kampar]]. Selain itu masyarakat Kampar yang beragama [[Islam]], masih melestarikan tradisi mandi ''balimau bakasai'' yaitu mandi membersihkan diri di [[Sungai Kampar]] terutama dalam menyambut bulan [[Ramadan]]. Kemudian terdapat juga tradisi ''Ma'awuo ikan'' yaitu tradisi menangkap ikan secara bersama-sama (ikan larangan) setahun sekali, terutama pada kawasan Danau Bokuok (Kecamatan Tambang) dan Sungai Subayang di Desa Domo (Kecamatan Kampar Kiri Hulu).
 
Budaya masyarakat Kampar tidak lepas dari pengaruh [[Minangkabau]],<ref name="Purna">Purna, I. M., Sumarsono, Astuti, R., Sunjata, I. W. P., (1997), ''[http://repositori.kemdikbud.go.id/13377/1/Sistem%20pemerintahan%20tradisional%20di%20riau.pdf Sistem pemerintahan tradisional di Riau]'', Departemen Pendidikan dan Kebudayaan</ref> yang identik dengan sebutan Kampar Limo Koto dan dahulunya merupakan bagian dari [[Pagaruyung]]. Limo Koto terdiri dari Kuok, [[Salo]], [[Bangkinang]], [[Air Tiris, Kampar, Kampar|Air Tiris]] dan Rumbio. Terdapat banyak persukuan yang masih dilestarikan hingga kini,<ref>Luthfi, A., (1992), ''Pola hukum kewarisan adat dan hak ulayat daerah Kampar'', Yayasan Lembaga Studi dan Pengembangan Masyarakat dengan bantuan biaya dari Pemerintah Daerah Tingkat II Kampar.</ref> termasuk model kekerabatan dari jalur ibu ([[matrilineal]]).<ref>Coral Reefs Information and Training Center, (2002), ''Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir dan kepulauan: perspektif budaya lokal pesisir dan kepulauan'', Coral Reefs Information and Training Center.</ref> Konsep adat dan tradisi persukuannya sama dengan konsep [[Minang]] khususnya di [[Luhak Limopuluah]]. Bahasa sehari-hari masyarakat Kampar mirip dengan [[Bahasa Minangkabau]],<ref>Said, C., (1986), ''Struktur bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar'', Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.</ref> atau disebut dengan [[Bahasa Ocu]] salah satu varian yang mirip dengan bahasa digunakan di Luhak Limopuluah. Bahasa ini berlainan aksen dengan varian Bahasa Minangkabau yang dipakai oleh masyarakat [[Luhak Agam]], [[Luhak Tanah Datar]] maupun kawasan pesisir Minangkabau lainnya. Di samping itu, Kampar Limo Koto juga memiliki semacam alat musik tradisional yang disebut dengan ''Calempong'' dan ''Oguong''.
 
== Referensi ==