Katholieke Kweekschool: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tomflamingo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tomflamingo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
''a. Tempat pendidikan calon imam di Kolese Xaverius Muntilan (1911-1926)''
 
(1) Seminari Menengah Mertoyudan telah menempuh perjalanan sejarah cukup panjang. Awal berdirinya tidak dapat dilepaskan dari dua pemuda pribumi lulusan [[Kweekschool]] di Muntilan yang berkeinginan menjadi imam. Nama pemuda itu adalah Petrus Darmaseputra dan Fransiskus Xaverius Satiman. Pada bulan November 1911 mereka menghadap Romo F. van Lith SJ dan Romo Y. Mertens SJ, dan mohon agar diperkenankan belajar untuk menyiapkan diri menjadi imam. Niat kedua pemuda itu dan kebutuhan imam di Indonesia mendorong munculnya gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para calon imam. Untuk itu, proses perizinan dari Roma segera diurus. Pada tanggal 30 Mei 1912, keluarlah izin resmi dari Roma untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Kemudian, kursus pendidikan calon imam diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan.
 
(2) Antara tahun 1916-1920, sudah ada sepuluh siswa Muntilan yang dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan oleh para pater Ordo Salib Suci di Uden, Eropa. Karena dua siswa meninggal di sana dan seorang lagi terganggu kesehatannya, diambil kebijaksanaan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut di Indonesia. Kursus di Muntilan disempurnakan.
Baris 29:
== 2. Zaman Jepang - Seminari "in diaspora" (1942-1945) ==
 
a. Pada tanggal 8 Maret 1942 tentara [[Hindia Belanda]] menyerah kepada [[Jepang]]. Asia Raya berada di bawah kekuasaan Jepang. Semua sekolah yang menggunakan [[bahasa Belanda]] ditutup. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang, dan digunakan untuk Sekolah Pertanian Nogako.
 
b. Pada tanggal 5 April 1942, para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Namun, pendidikan calon imam tetap dilangsungkan di berbagai pastoran: Boro, Yogyakarta, Ganjuran, Muntilan, Girisonta, Ungaran, Semarang, dan Solo. Di tempat-tempat ini, pelajaran diberikan secara sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, Seminari lazim disebut Seminari "in diaspora". Situasi ini berlangsung sampai tahun 1945.