Kongres Perempuan Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kpicom (bicara | kontrib)
Menambah berita
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Copyofamedicine (bicara | kontrib)
k menambahkan pranala dan menyunting redaksi kata pada artikel
Baris 7:
Kongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, [[R.T. Joyodipoero]]. Sekarang ini gedung tersebut dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (sekarang berganti nama menjadi [https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/ Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta]) di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
 
Tercatat sekitar 1.000 orang hadir pada resepsi pembukaan yang diadakan mulai tanggal [[22 Desember]] 1928. Di antara yang hadir terdapat juga tokoh-tokoh organisasi-organisasi terkemuka di [[Hindia Belanda]] (sekarang [[Indonesia]]) yang dipimpin dan didominasi oleh kaum lelaki, seperti [[Boedi Oetomo]], [[PNI]], Pemuda Indonesia, [[PSI]], Walfadjri, [[Jong Java]], Jong Madoera, [[Muhammadiyah]] dan [[Jong Islamieten Bond]]. Para peninjau mencatat sejumlah tokoh penting yang hadir antara lain: Mr. Singgih dan Dr. [[Soepomo]] dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Dr. [[Soekiman]] (PSI), A.D. Haani (Walfadjri). Selain resepsi pembukaan, ada 3 pertemuan terbuka berikutnya selama berlangsungnya kongres.
 
Pers saat itu memberikan peliputan yang simpatik, misalnya surat kabar lokal berbahasa Jawa, “Sedijo Tomo” menyatakan kekagumannya atas hasil-hasil kongres tetapi juga mengingatkan agar gerakan perempuan yang meski terpengaruh Barat jangan sampai kehilangan ciri-ciri Timur-nya.
 
Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga ikut mengapresiasi kongres ini sebagaimana dilaporkan oleh Penasihat Urusan Pribumi, [[Charles Olke van der Plas]], yang melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, [[Andries Cornelis Dirk de Graeff]], dengan kalimat berikut: <blockquote>“…laporan dari berbagai pihak memandang konferensi ini telah berhasil. Dalam kesempatan ini juga kenyataannya bahwa perempuan sering lebih realistis, lebih berimbang dan lebih beradab dalam pendekatan dibandingkan lelaki… Organisasi ini pantas mendapatkan ucapan selamat dan perhatian secukupnya…”</blockquote>Bahkan van der Plas menyebutkan bahwa ia telah menugaskan istri seorang pegawai bawahannya, Patih Datoek Toemenggoeng, untuk menghadiri kongres dengan catatan harus memberikan laporan lengkap kepadanya. Nama istrinya adalah [[Khailan Syamsu|Rangkajo Chailan Sjamsoe Datoek Toemenggoeng]], seorang [[Minang]] pemimpinyang memimpin gerakan perempuan yang sedang naik daun. Laporannya menyebutkan bahwa sekitar 600 perempuan hadir mewakili generasi tua dan muda, berpendidikan dan tidak berpendidikan.
 
Jika dinilai sebagai kekurangan yang tercatat saat penyelenggaraan kongres, masalah keterwakilan gerakan organisasi-organisasi dari daerah-daerah merupakan isu yang dihadapi. Walau catatan kongres menunjukkan bahwa ada 30 organisasi mengirimkan utusan, tetapi sebagian merupakan cabang dari organisasi yang sama. Sejumlah organisasi di Sumatra mengirimkan telegram berisi dukungannya namun kelihatannya tidak bisa hadir lebih disebabkan karena masalah jarak dan keterbatasan transportasi.
Baris 17:
Saat mencatat kegiatan kongres, Ny. Toemenggoeng terkejut karena tidak ada organisasi-organisasi Sunda yang menurut panitia penyelenggara kongres tidak mengenal adanya organisasi Sunda, jawaban yang menurut Ny. Toemenggoeng keliru karena Ny. Abdoerachman sudah mendirikan organisasi yang sangat terkenal di [[Bogor]] dengan nama ''Kemadjoean Isteri'' tahun [[1926]]. Belum lagi gerakan pendidikan ''Sakola Kautamaan Istri'' (Sekolah Keutamaan Perempuan) yang didirikan oleh R. [[Dewi Sartika]] di [[Bandung]] pada tahun [[1904]].
 
Menurut catatan Susan Blackburn,<ref>1. "Kongres Perempuan Indonesia - Tinjauan Ulang", Susan Blackburn, (YOI & KITLV)"</ref> beberapa tokoh feminis [[Eropa]] merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi "kaum Pribumi", suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan2perempuan-perempuan lain.
 
Jika dibandingkan dengan kongres perempuan Indonesia yang diadakan pada tahun-tahun berikutnya, Kongres Pertama ini memang didominasi oleh [[etnis Jawa]] dan acara pembukaan pun diawali dengan lagu penyambutan dalam bahasa Jawa yang diciptakan oleh Soekaptinah. Namun demikian, Selama kongres, hanya 1 perwakilan organisasi yang berpidato menggunakan bahasa Jawa sedangkan sisanya berbahasa Melayu (sebutan untuk bahasa Indonesia zaman Hindia Belanda). Mengenai bahasa Melayu ini sejak Mei 1928 sudah dijadikan materi dalam kursus yang diselenggarakan oleh Poetri Indonesia Cabang Yogyakarta (semula adalah organisasi sayap perempuan dari Pemoeda Indonesia dan kemudian menjadi sayap perempuan PNI).
 
Kongres Pemuda ke-2 yang menghasilkan "[[Sumpah Pemuda]]" yang diadakan terlebih dulu pada bulan Oktober 1928 telah menginspirasi tokoh-tokoh perempuan dari kelompok guru muda Jong Java yang telah membentuk cabang Poetri Indonesia di Yogyakarta, untuk membentuk Panitia Kongres Perempuan yang diketuai oleh R.A. Soekonto dengan [[Nyi Hajar DewantoroDewantara]] sebagai wakilnya & Soejatien (Ketua Poetri Indonesia Cabang Yogya) sebagai sekretaris. Ketiga tokoh perempuan ini sebenarnya tidak asing dengan dunia pergerakan karena memiliki hubungan dengan tokoh pergerakan nasionalis Indonesia. R.A. Soekonto adalah kakak dari [[Ali Sastroamidjojo]], dari namanyasedangkan Nyi Hajar DewantoroDewantara sudahmerupakan jelas isteriistri dari [[Ki Hajar Dewantoro]], sedangkankemudian Soejatien (saat Kongres masih lajang) adalah murid Soekarno & Ki Hajar Dewantoro.
 
Beberapa pidato yang dibacakan oleh tokoh-tokoh perempuan pada saat Kongres:
Baris 31:
# "Kewadjiban Perempoean di Dalam Roemah Tangga", oleh Saudari R.A. Soekonto (Wanita Oetomo)
# "Hal Keadaan Isteri di Europah", oleh Ny. [[Ali Sastroamidjojo]]
# "Keadaban Isteri", oleh [[Nyi Hajar Dewantoro]]
 
Pada 22 Desember [[1953]], dalam acara peringatan ke-25 Kongres ini, [[Presiden RI]] [[Soekarno]] menetapkan sebagai Hari Ibu Nasional melalui Dekret Presiden RI No. 316 Tahun 1953. Sejak saat itulah, setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.