I Gusti Ngurah Rai: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 169:
[[Image:Mount_Agung_from_the_east.jpg|thumb|left|Lereng barat Gunung Agung - tempat pemindahan milisi Ngurah Rai]]
 
Pada akhir Mei, Komandan Pasukan M, Kapten Markadi tiba di Munduk-Malang dengan sekelompok 25 pejuangnya dan mengacu pada laporan terbaru dari Staf Umum untuk memberitahu Ngurah Rai tentang pendaratan skala besar yang akan datang pasukan Indonesia di pantai barat Bali. Pada [[1 Juni]] [[1946]], Rai memerintahkan seluruh unit yang dibentuknya untuk pindah ke bagian timurbarat Bali tepatnya di wilayah puncak gunung terbesar di pulau itu, gunung berapi yaitu [[Gunung Agung]].
 
Motivasi untuk keputusan ini masih belum sepenuhnya jelas dikarenakan Ngurah Rai tak mengumumkan rencana tindakan lebih lanjut, menjanjikan rekan-rekan seperjuangannya untuk menavigasi di sepanjang jalan. Yang paling umum adalah asumsi bahwa dengan bergerak ke timur, ia berharap untuk mengalihkan perhatian Belanda dari bagian barat pulau untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pendaratan pasukan republik dari Pulau Jawa yang diumumkan oleh Kapten Markadi.
Baris 177:
Di kaki Gunung Agung, pasukan Rai menjadi sasaran beberapa hari mortir dan serangan udara, di mana Belanda mengerahkan pesawat pengebom B-25. Setelah mencapai desa Tanakh-Aron di lereng barat gunung pada tanggal 7 Juni, mereka memasuki pertempuran dengan unit musuh yang berjumlah sekitar 200 orang.
 
Usai pertempuran, Ngurah Rai mengadakan pertemuan dengan anggota markas. Posisi partisan dianggap kritis. Sebagai akibat dari kerugian pertempuran dan sanitasi, serta desersi, jumlah detasemenpasukan berkurang hampir tiga kali lipat, amunisi dan makanan habis, para pejuang yang tersisa di barisan berada di ambang kelelahan fisik. Pendekatan ke gunung dari sisi barat diblokir oleh pasukan Belanda. Beberapa rekan Rai menyarankan untuk melawan balik ke Bali tengah, tetapi Rai menganggap kemungkinan kerugian tidak dapat diterima.
 
Dalam keadaan demikian, ia memutuskan untuk membagi pasukan menjadi kelompok-kelompok kecil yang dapat turun di sepanjang jalur pegunungan dan melewati lokasi unit-unit Belanda yang menyebar ke seluruh pulau. Pembagian serupa dilakukan dua hari kemudian di lereng utara gunung berapi. Sebagian besar partisan dikelompokkan menurut prinsip "rekan senegaranya" dan maju menuju tempat asalnya.
 
Dengan persetujuan Ngurah Rai, Kapten Markadi memutuskan untuk mengangkut "Pasukan M", yang telah menderita kerugian besar, kembali ke Jawa. Dari Kapten Markadi, Rai mengirimkan laporan kepada Staf Umum yang menjelaskan keadaan buruk gerakan partisan dan memberikan data rinci tentang disposisi, jumlah dan persenjataan pasukan [[Hindia Belanda|Belanda]] di Bali.
 
Setelah selesainya "Long March", sekitar 90 orang tetap dibawah komando termasuk pejuang yang paling berpengalaman dan andal serta termasuk hampir semua peserta gerakan partisan Bali yang memiliki kekuatan Belanda atau Pelatihan militer Jepang serta sekelompok personel militer Jepang. Dalam berbagai sumber, jumlah yang terakhir diperkirakan antara enam dan sepuluh orang serra setidaknya dua di antaranya adalah perwira. Unit ini diberi nama Ciung Wanara untuk menghormati karakter. Mitologimitologi Sunda, dibedakan oleh keberanian dan keadilan.
 
Ciung Wanara dipersenjatai dengan tidak lebih dari 50 senjata ringan, 5 mortir, satu kuda-kuda, dan 3 senapan mesin ringan dengan amunisi minimum. Karena kelangkaan persenjataan, Ngurah Rai lebih suka menghindari bentrokan dengan Belanda sampai ia menerima instruksi dari Staf Umum. Yang terakhir juga menahan diri dari tindakan militer, akibatnya, pada awal Agustus 1946, situasi di Bali menjadi cukup tenang.
 
Pada bulan Oktober, faktor penstabil tambahan adalah gencatan senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda, diumumkan di seluruh teater operasi, setelah itu perwakilan pemerintah kedua negara mengadakan negosiasi dengan mediasi Inggris yang bertujuan untuk penyelesaian konflik secara damai.
 
Pada tanggal 15 November 1946, [[Perjanjian Linggarjati]] ditandatangani di Jawa[[Cirebon]], dimana Belanda secara de facto mengakui kedaulatan [[Republik Indonesia]] di [[Pulau Jawa|Jawa]], [[Pulau Sumatra|Sumatra]] dan [[Pulau Madura|Madura]]. Di sisa wilayah bekas jajahan itu, direncanakan untuk membuat dan atas dukungan dari [[Den Haag]] sejumlah negara kerajaan yang bersama-sama dengan [[Republik Indonesia (1949–1950)|Republik Indonesia]], akan membentuk [[Republik Indonesia Serikat]] sebuah entitas federal yang memiliki kedaulatan akan berada dalam semacam persatuan dengan Belanda. Pada saat yang sama, Bali termasuk dalam salah satu yang terakhir dalam lingkup [[negara Indonesia Timur]].
 
=== Pertarungan terakhir dan kematian ===
Kecewa dengan syarat-syarat perjanjian Linggarjati, Ngurah Rai atas inisiatifnya sendiri memutuskan untuk melanjutkan tindakan partisan, dengan harapan dapat mengusir Belanda dari Bali dan mencaplok pulau itu ke [[Republik Indonesia]]. Daya tariknya kepada para pejuang Ciung Wanara sehingga menimbulkan slogan:
 
<blockquote>Jangan gentar, Sunda kecil harus mampu berdiri sendiri. Lanjutkan perjuangan dengan apa yang ada walaupun perhatian dari pusat kurang...</blockquote>
 
Menyadari bahwa persenjataan yang dimilikinya tak cukup untuk melakukan perjuangan [[gerilya]] yang aktif dan berkepanjangan, Rai memutuskan untuk merebut sejumlah senjata dan amunisi dari musuh. Barak polisi kolonial di [[kabupaten Tabanan]] dianggap sebagai target yang paling nyaman dalam hal ini: banyak senjata disimpan disana dan kepala polisi bernama Wagimin adalah pendukung rahasia dan informan dari gerilyawan.
 
Selain 95 pejuang Ciung Wanara, Rai memobilisasi sedikitnya 300 orang dari kalangan petani desa sekitar yang bersimpati dengan para partisan untuk operasi tersebut: para milisi, yang sebagian besar memiliki senjata tajam, ditugaskan sebagai peran pembantu dan mereka harus menciptakan kesan untuk sejumlah besar penyerang serta memastikan lingkungan yang lebih padat dari barak yang diserang. Diketahui bahwa sebelum penyerangan, Rai dan para pejuang mengunjungi kuil [[Hindu]] setempat, dimana mereka berdoa untuk keberuntungan.
 
Pada tanggal 18 November 1946, pasukan Ngurah Rai menyerang barak Tabanan dan dengan perlawanan minimal dari polisi, menyita senjata dan amunisi yang disimpan disana: 36 karabin, 2 senapan mesin ringan Bren, 2 senapan mesin ringan dan 8 ribu butir amunisi. Wagimin, yang memainkan peran penting dalam keberhasilan operasi, bergabung dengan Ciung Wanara.
 
Setelah melengkapi persenjataan mereka dan membubarkan milisi petani pembantu, para gerilyawan mundur ke kamp yang telah disiapkan sebelumnya di dekat desa Marga, yang terletak di daerah pegunungan sekitar 40 kilometer sebelah utara [[Denpasar]]. Keesokan harinya, kamp Ciung Vanara ditemukan oleh Belanda dan sehari kemudian, pada tanggal 20 November, diserang dengan melibatkan pesawat yang dipanggil dari Makassar, serta unit infanteri tambahan yang segera dipindahkan dari [[pulau Lombok]].
 
[[Berkas:Makam I Gusti Ngurah Rai.jpg|thumb|right|260px|Makam Ngurah Rai dan rekan-rekannya di kompleks peringatan dekat desa Marga]]
 
== Lihat pula ==