Soeprijadi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tag: kemungkinan perlu dirapikan kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 177:
Jika fakta menyelamatkan pemimpin pemberontakan dikonfirmasi, reputasi kepahlawanannya menurut mereka akan hancur total dan rekan-rekan seperjuangannya tidak dapat melihatnya selain sebagai pengecut, pengkhianat, dan pembelot.
== Calon identitas Soeprijadi ==
Pada tahun-tahun berikutnya, orang-orang muncul secara berkala, menyamar sebagai Soeprijadi yang diduga masih hidup. Raden Darmadi sendiri, ayah Soeprijadi yang meninggal tahun 1973 sempat bertemu sedikitnya 5 orang yang berpura-pura menjadi anaknya. Jumlah penipu, menurut beberapa kerabat Soeprijadi, mencapai puluhan.
Dalam kebanyakan kasus, pemalsuan terungkap dengan cukup mudah dan cepat. Keingintahuan langsung muncul misalnya, pada Juni 1965 sebuah pesan diterbitkan di pers Indonesia tentang seorang perwira salah satu unit militer, Letnan Sain yang menyatakan bahwa semangat Soeprijadi telah masuk ke dalam dirinya.
Namun Letnan Sain tidak berpura-pura menjadi Soeprijadi dengan mengatasnamakan arwah yang mendiaminya, ia menceritakan bahwa pemimpin pemberontakan Blitar itu telah dibunuh dan bahkan dipenggal oleh Jepang.
Pada pertengahan 1990-an, Kolonel Angkatan Udara Indonesia Wiguno bertemu dengan seorang pria yang mengaku sebagai Soeprijadi di [[Lampung|provinsi Lampung]]. Wiguno melaporkan hal ini dalam sebuah surat kepada Wakil Presiden Indonesia, Tri Sutrisno yang memerintahkan pemeriksaan sesuai.
Soeprijadi pura-pura dibawa ke [[Yogyakarta]] untuk bertemu Utomo Darmadi, salah satu adik Soeprijadi, yang tinggal di sana. Setelah berbicara dengan orang yang dikenalkannya, Utomo Darmadi mencelanya sebagai penipu dengan alasan dia tidak bisa [[bahasa Belanda|berbahasa Belanda]] atau [[bahasa Jepang|Jepang]], sedangkan Supriyadi yang belajar di sekolah Belanda dan kursus sipil dan militer Jepang, hampir fasih berbahasa Belanda.
Sebagian besar kasus klaim atas kepribadian Soeprijadi tak menimbulkan kemarahan media dan publik yang serius. Namun pada tahun 2008, terjadi insiden yang cukup lama menyita perhatian media nasional, kalangan jurnalistik dan ilmiah luas: tabib berusia 88 tahun asal Semarang Andaryoko Wisnupabu menyatakan dirinya sebagai Soeprijadi. Kisah-kisahnya tak seperti para pendahulunya sangat rinci dan dari semua aspek cukup masuk akal.
Andaryoko dengan sangat akurat mereproduksi jalannya pemberontakan Blitar. Menurut tabib tua, ia berhasil menghindari Jepang setelah penindasan pemberontakan dan bersembunyi dari mereka selama lebih dari 3 bulan di hutan pegunungan [[Jawa Timur]]. Pada akhir Mei 1945, ia diduga bisa sampai ke [[Jakarta]] dan bertemu [[Soekarno]] disana dan memperkenalkan perwira muda yang dikenalnya dari Blitar itu ke lingkaran dalamnya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pembentukan pemerintahan pertama Republik, ia memang mengambil jabatan Menteri Keamanan Rakyat yang ditawarkan kepadanya, tetapi setelah beberapa hari ia diduga dipindahkan ke posisi Asisten Kepala Presiden khusus didirikan untuknya. Pada saat yang sama, pekerjaannya dalam posisi ini sepenuhnya dirahasiakan, karena hanya Soekarno sendiri dan beberapa orang terdekat presiden yang mengetahuinya.
Soekarno diduga membuat keputusan personel yang tidak standar seperti itu atas permintaan mendesak dari Soeprijadi sendiri, yang kepadanya wahyu tertentu diturunkan saat berkeliaran di hutan Jawa Timur: sebuah suara ilahi memperingatkannya agar tidak bermain di atas panggung, yang ia sendiri tafsirkan sebagai larangan terlibat dalam kegiatan politik publik.
Tugas utama asisten kepala presiden menurut tabib adalah untuk mengetahui suasana hati massa, dimana ia secara sistematis mengunjungi berbagai wilayah negara terutama di [[Pulau Jawa]], dimana ia berkomunikasi penyamaran dengan orang-orang biasa dan saat itulah kata mereka, dia menggunakan nama samaran Andaryok.
Pada pergantian tahun 1940-an dan 1950-an, Andaryoko alias Soeprijadi diduga mulai menyatakan ketidaksetujuannya dengan kebijakan Soekarno di banyak bidang. Hasil konferensi meja bundar di [[Den Haag]], serta transisi Indonesia pada tahun 1950 dari bentuk pemerintahan presidensial ke parlementer, diduga menyebabkan penolakan terbesar diantara "asisten kepala".
Setelah upaya yang gagal untuk mempengaruhi garis politik internal dan kebijakan luar negeri, ia pensiun dari kegiatan negara dan menetap di [[Kota Semarang|Semarang]], dimana untuk beberapa waktu ia memegang posisi di pemerintahan [[kabupaten]] dan kemudian sampai ia pensiun lalu mulai berlatih ilmu [[kedokteran]], ia bekerja sebagai manajer salah satu perusahaan [[Belanda]] yang dinasionalisasi.
Pada saat yang sama, ia sesekali terus berkomunikasi dengan beberapa negarawan dan posisi asisten kepala presiden secara resmi dipertahankan olehnya sampai pengunduran diri Soekarno pada tahun [[1967]]. [[Soeharto]], yang menggantikan Soekarno di kursi kepresidenan, tak tahu apa-apa tentang pekerjaan rahasia Soeprijadi alias Andaryoko dan seperti kebanyakan orang sangat yakin akan kematian pemimpin pemberontakan Blitar pada tahun 1945.
Terlepas dari kenyataan bahwa dibawah Soeharto Soeprijadi diproklamasikan sebagai pahlawan nasional, Andaryoko memilih untuk tak menyatakan dirinya karena takut bahwa di bawah presiden baru, kerjasamanya yang erat dengan Soekarno dapat mengorbankan kebebasannya dan memang banyak rekan pemimpin pertama Indonesia yang ditekan setelah Soeharto berkuasa.
Andaryoko memutuskan untuk mengungkapkan rahasianya hanya di usia tuanya, dia diduga termotivasi untuk melakukan ini oleh keinginan untuk mencerahkan para pemuda yang konon mulai melupakan era heroik perjuangan kemerdekaan. Menurut kesaksian anggota keluarga dukun Semarang, untuk pertama kalinya ia mulai berbicara tentang dirinya sebagai Soeprijadi pada tahun 2003.
Klaim Andaryoko ditanggapi dengan sangat serius oleh pemerintah [[Kota Blitar]] dan [[Kabupaten Blitar]]. Wali Kota Jarot, Saiful Hidayat yang kemudian menjadi negarawan besar: Gubernur [[Jakarta|Daerah Khusus Ibukota]] dan Wakil Dewan Perwakilan Rakyat membicarakannya secara pribadi dengan kerabat dan rekan prajurit Soeprijadi.
Pimpinan pemerintah kabupaten membentuk komisi untuk mempelajari keadaan yang berkaitan dengan nasib komandan pemberontak Blitar itu. Di Blitar dan di sejumlah kota lain, serangkaian pertemuan publik dengan Andaryoko berlangsung, yang melibatkan kerabat dan teman Soeprijadi, sejarawan dan jurnalis.
Akibatnya, tidak ada kerabat dan saudara prajurit yang mengenali dukun Semarang Soeprijadi. Selain itu, beberapa veteran dari batalyon [[PETA]] yang memberontak meminta dia untuk diadili karena pencemaran nama baik dan pemalsuan. Penilaian komisi yang dipimpin oleh kepala layanan pers administrasi Blitar, juga bersaksi tidak mendukung "Soeprijadi yang baru lahir", meskipun secara resmi perwakilan pemerintah daerah abstain dari kesimpulan akhir.
Anggota komisi dan banyak skeptis lainnya mencatat beberapa inkonsistensi dalam narasi Andaryoko, serta pengetahuannya yang buruk tentang [[bahasa Belanda]] dan ketidaktahuan sama sekali tentang [[bahasa Jepang]]. Ditegaskan pula bahwa tidak disebutkan kegiatan Asisten Kepala Presiden dalam memoar pejabat pemerintah Indonesia atau dalam arsip terkait.
Kesenjangan antara usia Andaryoko dan usia pemimpin pemberontakan Blitar yang terkenal itu juga ditegaskan: Soeprijadi, kalau masih hidup seharusnya 3 tahun lebih muda dari sesepuh Semarang. Selain itu, kerabat Soeprijadi berbicara tentang surat yang dikirim ke rumah mereka sesaat sebelum pemberontakan Blitar.
Di dalamnya, perwira muda itu memperingatkan kerabatnya tentang kemungkinan perubahan tajam dalam nasibnya dan berjanji untuk membuat dirinya merasa dalam waktu 5 tahun tak adanya berita yang lebih lama seperti yang ditekankan Soeprijadi berarti kematiannya.
Ada dugaan bahwa dukun Semarang itu adalah salah satu rekan Soeprijadi ini, menurut para skeptis dapat menjelaskan pengetahuannya yang baik tentang jalannya pemberontakan Blitar dan beberapa detail kehidupan pribadi Soeprijadi. Versi ini menjadi sangat populer setelah penyelidikan mengungkapkan bahwa dua orang bernama Soeprijadi bertugas di batalyon PETA Blitar. Adik-adik pemimpin pemberontakan Blitar mendesak Andaryoko untuk menjalani pemeriksaan genetik untuk memastikan hubungan mereka dengan mereka.
Patut dicatat bahwa setelah reaksi negatif dari kerabat Soeprijadi, tabib tua itu secara signifikan mengoreksi kesaksiannya. Secara khusus, Andaryoko menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak berhubungan dengan orang yang dianggap saudara kandungnya, karena ia bukan anak kandung Raden Darmadi dan Rahayu.
Menurut versi baru, ia dilahirkan bukan di [[Kabupaten Trenggalek|Trengalek]], tetapi di [[Kota Salatiga|Salatiga]] tempat tinggalnya hingga awal pendudukan [[Jepang]]. Pada tahun 1943, ia memutuskan untuk bergabung dengan PETA, tetapi ini ditentang oleh orang tuanya. Akibatnya ia melarikan diri dari kota asalnya ke Bitar, dimana ia memasuki batalyon Petovski, menyamar sebagai penduduk asli setempat: ini kata mereka, harus dilakukan karena fakta bahwa ketika merekrut unit PETA, Jepang lebih menyukai penduduk lokal.
Selain itu, untuk meningkatkan peluangnya untuk mendaftar di milisi, ia mengurangi usianya, yang menunjukkan bukan tahun 1920, tetapi 1923 sebagai tahun kelahirannya ini, secara ''de facto'', menentukan perbedaan antara usia sebenarnya. Selama bertugas di Blitar, ia diduga bertemu dengan Raden Darmadi (ayah Soeprijadi) yang saat itu menjabat sebagai penanggung jawab di pemerintahan kabupaten dan sering mengunjungi lokasi batalyon PETA yang bertugas.
Raden Darmadi menjadi sangat dekat dengan perwira muda itu, memperlakukannya seperti anaknya sendiri dan bahkan menyatakan kesiapannya untuk mengadopsi. Dengan demikian, Andaryoko justru mengalihkan tuduhan pemalsuan itu kepada lawan-lawannya dan kerabat Soeprijadi.
Namun, versi baru biografinya hanya memperkuat kecurigaan skeptis: banyak yang menganggapnya sebagai tipuan untuk membenarkan ketidaktahuan Andaryoko tentang banyak detail kehidupan keluarga Soeprijadi dan untuk menghilangkan masalah pemeriksaan genetik.
Selanjutnya, kredibilitas narasi Andaryoko semakin menurun setelah ia mulai berbicara tentang partisipasinya dalam peristiwa yang paling penting, dipelajari dengan baik dalam sejarah [[Indonesia]], termasuk [[proklamasi kemerdekaan Indonesia]] dan turunnya Presiden Soekarno dari jabatan. Namun demikian, cerita Andaryoko yang cukup masuk akal dan detail dianalisis dengan cermat oleh banyak jurnalis dan sejarawan Indonesia, beberapa di antaranya akhirnya mengakui kemungkinan korespondensi mereka dengan kenyataan.
Penelitian paling mendalam tentang hal ini dilakukan oleh Baskara Tulus Vardaya, Profesor Asosiasi di Fakultas Sejarah Universitas Yogyakarta yang pada tahun 2008 menerbitkan monografi besar ''Mencari Soeprijadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno''.
Di dalamnya, ia menahan diri dari kesimpulan tegas yang mendukung klaim Andaryoko, tetapi menekankan logika argumennya dan pengetahuan yang baik tentang realitas sejarah yang relevan, dan juga secara kritis memeriksa argumen para penentang dukun Semarang[62].
Andaryoko meninggal mendadak pada Juni 2009, tetapi kepribadiannya terus membangkitkan minat beberapa media Indonesia bahkan setelah itu. Sejak anumerta, sejumlah program televisi pusat, serta publikasi di media cetak nasional dan daerah, dikhususkan untuk klaimnya tentang kepribadian Soeprijadi.
Pada Agustus 2018 muncul penantang lain untuk identitas Soeprijadi, seorang lansia warga desa Tamansari di [[Kabupaten Jember]], [[Jawa Timur]] bernama Waris Yono. Dia mengklaim bahwa pada hari pertama pemberontakan Blitar dia terluka parah, setelah itu dia dirawat selama 3 bulan di rumah salah satu mantan gurunya.
Waris Yono tak menjelaskan versi rinci tentang nasib masa depannya, membatasi dirinya pada pesan bahwa sejak itu ia telah hidup dengan berbagai nama palsu, berpindah dari satu tempat ke tempat lain setiap beberapa tahun. Dia juga tidak menjelaskan alasan yang membuatnya bersembunyi begitu hati-hati selama lebih dari 7 dekade. Kerabat Soeprijadi bereaksi sangat cepat terhadap laporan media terkait, tanpa ragu-ragu menyatakan Waris Yono penipu.
== Catatan kaki ==
|