== Kepercayaan & Kebudayaan<ref><span class="reference-text"><span style="font-size:11.0pt;line-height: 115%;font-family:"Calibri","sans-serif";mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast;mso-ansi-language:#0021;mso-fareast-language: IN;mso-bidi-language:AR-SA" lang="id-ID">Nila Riwut. 2003 Tjilik Riwut. Manaser Panatau Tatu </span></span>Hiang.</ref> ==
'''[[Kaharingan]]''' adalah [[kepercayaanagama]] tradisionalleluhur [[suku Dayak]] di [[Kalimantan Tengah]], ketika[[Kalimantan Barat]], [[Kalimantan Selatan]], dan sebagian [[Malaysia Timur]] ([[Sabah]], [[Serawak]]). Agama Kaharingan sudah ada sebelum agama lainlainnya belummasuk memasukike Kalimantan. Agama [[Kaharingan]] mempunyai simbol tersendiri yakni [[Batang Garing]] yang berarti pohon kehidupan. Simbol Batang Garing ini sudah tidak asing bagi masyarakat Dayak karena sering dijumpai pada banyak bangunan di [[Kalimantan Tengah]].<ref name="Politik dan postkolonialitas di Indonesia">{{en}} {{cite book|last=Susanto|first=A. Budi|year=2003|title=''[http://books.google.co.id/books?id=hl-5ZE620VIC&lpg=PA264&dq=kayu%20tangi&pg=PA262#v=onepage&q=kayu%20tangi&f=false Politik dan postkolonialitas di Indonesia]''|publisher=Kanisius|isbn=9789792108507|coauthors=}}ISBN 979-21-0850-5</ref> <ref>[http://books.google.co.id/books?id=kFqf1tqosvAC&lpg=PR37&dq=kaharingan&pg=PR37#v=onepage&q=kaharingan&f=true {{id}} Fr. Wahono Nitiprawiro, Moh. Sholeh Isre, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Teologi pembebasan: sejarah, metode, praksis, dan isinya, PT LKiS Pelangi Aksara, 2000 ISBN 979-8966-85-6, 9789798966859]</ref> Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, sepertijuga dalamdikenal dengan istilah ''danum kaharingan'' (air kehidupan),<ref>[http://books.google.co.id/books?id=rTiifZ-SlaEC&lpg=PA139&dq=kaharingan&pg=PA139#v=onepage&q=kaharingan&f=true {{id}} Fridolin Ukur, Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835, BPK Gunung Mulia, 2000 ISBN 979-9290-58-9, 9789799290588]</ref> maksudnyayang artinya agama sukuKaharingan atauini kepercayaanakan terhadapterus [[Tuhanada Yangbagai Mahaair Esa]]yang (''Ranying'')mengalir, yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Pemerintah [[Indonesia]] mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu [[agama]] yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti [[Tollotang]] (Hindu Tollotang) pada [[suku Bugis]], dimasukkan dalam kategori [[agama]] [[Hindu]] sejak 20 April 1980,<ref>[{{Cite web|title={{id}} A. Budi Susanto, Masihkah Indonesia, Kanisius, 2007 ISBN 979-21-1657-5, 9789792116571|url=http://books.google.co.id/books?id=QyXg_GDYCdMC&lpg=PA244&dq=kaharingan&pg=PA244#v=onepage&q=kaharingan&f=true|archive-url=https://web.archive.org/web/20140219181626/http://books.google.co.id/books?id=QyXg_GDYCdMC&lpg=PA244&dq=kaharingan&pg=PA244#v=onepage&q=kaharingan&f=true|archive-date=2014-02-19|dead-url=yes|access-date=2014-02-01}} {{id}} A. Budi Susanto, Masihkah Indonesia, Kanisius, 2007 ISBN 979-21-1657-5, 9789792116571]</ref> mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut ''[[Yadnya]]''. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai [[Tuhan Yang Maha Esa]], hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut ''Ranying Hatalla''.
Kaharingan inidiperkenalkan pertamakepada kali diperkenalkanpublik oleh [[Tjilik Riwut]] pada tahun 1944, saat ia menjabat Residen [[Sampit]] yang berkedudukan di [[Banjarmasin]]. Tahun 1945, pendudukan [[Jepang]] mengajukan [[Kaharingan]] sebagai penyebutan agama suku Dayak, namun ditolak oleh pemerintah [[Indonesia]] dengan alasan umat [[Kaharingan]] belum tersebar di setiap pulau/daerah berdasarkan sensus penduduk di Indonesia. SementaraPemerintah [[Indonesia]] menganggap Kaharingan hanya bersumber dari tradisi [[Suku Dayak]] saja, sehingga Kaharingan tidak dianggap sebagai agama pada masasaat Ordeitu. BaruSeiring bergantinya jaman, penganut Kaharingan mengalami banyak hambatan saat ingin menempuh pendidikan yang layak, susah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun sulit terlibat dalam Politik akibat terkendala oleh syarat yang mengharuskan masyarakat untuk menganut Agama yang resmi diakui oleh Negara [[Indonesia]]. Oleh sebab itu para penganutnyapenganut Kaharingan berintegrasi dengan Hindu, menjadi [[Hindu]] [[Kaharingan]] pada masa orde baru, tepatnya pada 30 April 1980. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan hanya karena kesamaan ritualnya., Tapinamun dikarenakanjuga karena Hindu adalahdianggap sebagai salah satu agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, umat Kaharingan di [[Kalimantan Tengah]] mempunyai tempat ibadah yang dinamakan ''[[Balai Basarah]]'' atau ''Balai Kaharingan''. Kitab suci agama mereka adalah ''[[Panaturan]]'' dan buku-buku agama lain, seperti ''[[Kandayu]]'', ''Talatah Basarah'' (Kumpulan Doa), ''Tawar'' (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Tetapi di [[Malaysia Timur]] ([[Sarawak]] dan [[Sabah]]), tampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama [[Hindu]], jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun. Padasaat tanggalitu. 20Kini Aprilseluruh 1980penganut [[Kaharingan]] dimasukandi ke[[Sabah]] dalamdan [[Sarawak]] sudah berpindah agama Hinduke Kaharingan[[Kristen]] dan [[Katolik]].<ref name="MasihkahAgama Indonesia">{{id}}{{citeKaharingan book|last=Susanto|first=A.di Budi|year=2007|url=http://books[[Kalimantan Barat]] turut punah seiring dengan katolikisasi yang ditandai dengan kedatangan 3.google.com/books?id=QyXg_GDYCdMC&lpg=PA224&dq=kahayan&hl=id&pg=PA244#v=onepage&q=kahayan&f=false|title=Masihkah000 Indonesia|publisher=Kanisius|isbn=9792116575}}ISBNguru 978-979-21-1657-1</ref>sekolah Organisasidasar alim(SD) ulamayang Hindujuga Kaharinganmerupakan Pegawai Negeri Sipil adalahdari [[MajelisNusa BesarTenggara AgamaTimur]]. HinduKedatangan KaharinganPNS ini difasilitasi oleh Gubernur [[Kalimantan Barat]] (MBAHK)yakni Brigjen TNI [[Kadarusno]] dan Kodam XII/Tanjungpura yang pusatnyatujuannya dimewajibkan kalangan [[KotaSuku PalangkaOt RayaDanum]] untuk mengikuti agama resmi yang mereka anut yakni Katolik, dengan alasan Pemerintah [[Indonesia]] tidak mengakui Kaharingan sebagai agama resmi dan juga masyarakat Ot Danum sulit mendapat pekerjaan jika masih menganut Kaharingan. Kegiatan ini terealisasi pada periode 1978 – 1982. Inilah penyebab mayoritas Suku Dayak Uud Danum di [[Kalimantan TengahBarat]] beragama [[Katolik]].
Orang Dayak Ngaju terkenal dengan kemampuan spiritualnya yang luar biasa. Salah satu kemampuan spiritual itu adalah apa yang mereka sebut Manajah Antang (burung Elang), yaitu memanggil burung Elang agar dapat memberi petunjuk untuk berperang atau ingin mengetahui keadaan seseorang. Mereka meyakini burung yang datang adalah suruhan leluhur mereka, dan mereka meyakini petunjuk apapun yang diberikan oleh burung Elang adalah benar.
Upacara tiwah, yaitu proses mengantarkan arwah (liau) sanak kerabat atau leluhur yang sudah meninggal ke surga atau Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang, yaitu sebuah tempat yang kekal atau abadi. OrangPenganut Dayakagama NgajuKaharingan meyakini leluhur akan senang dan bahagia jika arwah mereka sudah diantarkan. Mereka juga meyakini bahwa sebelum dilaksanakan upacara tiwah, roh leluhur dianggap belum masuk surga.
Tradisi bertato/tutang/cacah, orang Dayak terkenal dengan seni tatonya. Baik kaum laki-laki maupun perempuan, menato bagian-bagian tertentu dari tubuhnya, seperti pergelangan tangan, punggung, perut atau leher. Bahkan terdapat orang yang menato seluruh tubuhnya (biasanya seorang pemimpin). Tato selain sebagai simbol status juga merupakan identitas. Mentato didasari oleh kayakinan bahwa kelak setelah meninggal dan sampai ke surga, tato itu akan bersinar kemilau dan berubah menjadi emas, sehingga dapat dikenali oleh leluhur mereka nanti di surga.
Sejak dahulu hingga sekarang orang Dayak terkenal dengan hukum adat mereka, khususnya berkaitan dengan bagaimana cara mereka hidup berdampingan dengan alam (hutan). Hukum adat merupakan aturan yang telah digariskan oleh Ranying Hatalla Langit dan diwariskan oleh leluhur mereka untuk ditaati. Orang Dayak Ngaju meyakini jika tidak melaksanakan hukum adat, maka leluhur mereka akan marah dengan mengirimkan berbagai bencana alam, seperti banjir dan kesulitan mencari makan.
Burung [[Enggang Gading]] adalah burung yang sangat disakralkan dalam kepercayaan orang Dayak Ngaju. Burung ini dianggap sebagai burung indah dan dari gerak geriknya tercipta sebuah tarian, yang diyakini sebagai tarian leluhur mereka pada saat awal penciptaan. Maka dari itu hingga sekarang tarian burung Enggang masih ditampilkan dalam upacara adat Dayak Ngaju, sebagai penghormatan terhadap leluhur mereka.
|