Kesultanan Sambas: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: kemungkinan IP LTA kemungkinan menambah konten tanpa referensi atau referensi keliru VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 40:
| footnotes =
}}
'''Kesultanan Sambas''' adalah
[[Berkas:Lambang Kesultanan Sambas.png|jmpl|Lambang Kesultanan]]
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang [[Suku Melayu|Melayu]] yang berasal dari [[Kerajaan Sriwijaya]] yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang [[Dayak]] pesisir di mana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan pelarian [[Majapahit]] ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan [[Majapahit]] ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah [[Sungai Sambas]] ini aman dan kondusif maka kemudian para pelarian [[Majapahit]] ini mendirikan sebuah Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki) di mana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan [[VOC]] yaitu pada tahun [[1609]].
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan [[Sarawak]] ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan [[Brunei]] ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara). Anak laki-laki sulung Sultan Tengah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun [[1671]].
Baris 60:
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam kitab [[Negarakertagama]] karya [[Mpu Prapanca]] pada masa [[Majapahit]]. Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa [[Hindu]]) yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah [[Sambas]] yang berhampiran dengan [[Selat Malaka]] yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya [[Kerajaan Tanjungpura]].
Kedatangan rombongan bangsawan [[Majapahit]] di Sambas dapat berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik bukanlah hanya karena wilayah Sambas pada waktu itu tidak be-raja (tidak mempunyai penguasa) setelah era Raja Tan Unggal, tapi lebih disebabkan karena penduduk Sambas pada waktu itu mempunyai kepercayaan yang sama dengan rombongan Majapahit tersebut, yakni [[Hindu]]. Hindu sudah berkembang di [[Nusantara]] sejak berdirinya [[Kerajaan Kutai Martadipura|Kerajaan Kutai]] (era pemerintahan [[Mulawarman]]) sampai kepada [[Kerajaan Kutai Kartanegara|Kesultanan Kutai Kartanegara]]. Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah Sambas. Jadi pada waktu itu belum ada istilah “[[Melayu]] atau [[Dayak]]”. Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya [[Islam]]. Penduduk yang kemudian masuk Islam dinamakan "[[Melayu]]" dan penduduk yang masih menganut
Rombongan dari [[Jawa]] ([[Majapahit]]) ini pertama kali mendarat disebuah tempat yang dinamakan Pangkalan Jambu, sebuah tempat yang berada di Kecamatan Jawai, [[Kabupaten Sambas]] sekarang. Itulah sebabnya daerah tempat mendaratnya rombongan bangsawan dari [[Jawa]] ini dinamakan Jawai sampai sekarang.
|