Krisis finansial Asia 1997: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 9:
Rasio utang luar negeri terhadap [[Produk domestik bruto|PDB]] naik dari 100% menjadi 167% di empat negara besar [[ASEAN]] pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. [[Negara industri baru]] lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan.<ref>{{Cite journal|url = http://www.adb.org/publications/key-indicators-developing-asian-and-pacific-countries-2003|title = Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries 2003|date = August 2003|journal = Asian Development Bank|doi = |pmid = |access-date = 16 November 2015}}</ref>
Meski sebagian besar negara di Asia memiliki [[kebijakan fiskal]] yang bagus, [[Dana Moneter Internasional]] (IMF) turun tangan melalui program senilai US$40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah
Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus [[modal]] ke [[negara berkembang]]. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari [[tingkat pengembalian saham]] tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan [[Bank Dunia]] dan dijuluki sebagai "[[Empat Macan Asia|keajaiban ekonomi Asia]]".
|