Orang Tionghoa-Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 104:
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti [[Fa Hien]] pada [[abad ke-4]] dan [[I Ching]] pada [[abad ke-7]]. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke [[India]] untuk mempelajari [[agama Buddha]] dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar [[bahasa Sanskerta]]. Di [[Jawa]] ia berguru pada seseorang bernama [[Jnanabhadra|Jñânabhadra]].
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada [[prasasti]][[prasasti Nusantara|-prasasti]] dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan [[Asia Tenggara]] dan [[anakbenua India]]. Dalam suatu prasasti [[perunggu]] bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, ''Juru Cina'', yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di [[Candi Sewu]] diduga-duga juga mendapat pengaruh dari motif-motif
Catatan [[Ma Huan]], ketika turut serta dalam ekspedisi [[Cheng Ho]], menyebut secara jelas bahwa pedagang Tionghoa muslim menghuni ibu kota dan kota-kota bandar [[Majapahit]] (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.<ref>Arismunandar A 2007. ''Kerajaan Majapahit abad XIV dan XV''. Artikel pada laman [http://www.majapahit-kingdom.com/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=7 Majapahit Kingdom]</ref> Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, [[Wang Jinghong]], sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari [[Kota Semarang]]). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun [[kelenteng Sam Po Kong]] atau Gedung Batu.<ref>Ada yang berpendapat kelenteng ini dibangun oleh orang dari [[Tuban]], suatu pelabuhan penting di pantai utara Jawa Timur pada masa lalu.[http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg36771.html]</ref> Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".<ref>{{Cite web |url=http://permai1.tripod.com/chengho.html |title=Zulkifli AA. ''Laksamana Cheng Ho pernah singgah di Surabaya'' |access-date=2012-07-15 |archive-date=2012-07-15 |archive-url=https://archive.is/20120715043914/permai1.tripod.com/chengho.html |dead-url=no }}</ref>
|