Hukum perdata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Deanfebacid (bicara | kontrib)
→‎Ketentuan Kekuatan Alat Bukti Dalam Perkara Perceraian: Meneruskan suntingan sebelumnya agar mudah dipahami pembaca.
Deanfebacid (bicara | kontrib)
k →‎Ketentuan Kekuatan Alat Bukti Dalam Perkara Perceraian: menambahkan landasan dari perdata ke pidana
Baris 65:
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU ITE. Penggunaan dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang dianggap sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU ITE Nomor 11 tahun 2008, yang menentukan bahwa dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung jawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan<ref>https://jurnal.uns.ac.id/verstek/article/view/38773/25654</ref>.
 
Prinsip Praduga Otentisitas (Presumption of Authenticity) bahwa hukum pembuktian beranggapan bahwa suatu dokumen/data, rekaman, video digital atau tanda tangan digital dianggap asli, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh tergugat. Yang dilakukan dalam hal ini suatu pembalikan beban bukti (omkering van bewijslast), artinya barang siapa yang menyatakan bahwa alat bukti tersebut palsu dan tidak benar, dialah yang harus membuktikannya dan apabila terbukti maka kasus perdata tersebut ditingkatkan menjadi hukum pidana dengan salah satu landasan merujuk yang disebutkan dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 ("Perma 1/1956") dalam pasal 1 Perma 1/1956 ''Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu keputusan perdata dari pengadilan agama dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu'', bila mana kasus perceraian perdata telah diputuskan oleh hakim pengadilan agama maka tergugat wajib diberikan 1 bundel dokumen putusan tersebut dan juga harus dipastikan bahwa tergugat telah benar-benar menerima dokumen hasil putusan itu, dengan tujuan agar supaya tergugat tidak merasa di zalimi, tertindas, dipermainkan dan lain sebagainya<ref name="kekuatan">https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/menakar-kekuatan-alat-bukti-elektronik-dalam-perkara-perceraian-oleh-dr-hj-lailatul-arofah-m-h-22-11</ref>.
 
Dengan Prinsip Praduga Otentisitas sebagaimana tersebut diatas, maka untuk menilai secara materiil suatu bukti elektronik, hakim cukup menyatakan kepada pihak lawan dalam hal ini adalah Tergugat apakan bukti tersebut benar ataukah tidak? jika pihak lawan menyangkal, maka pihak lawan yang dibebani bukti untuk menguatkan dalil sanggahannya, namun apabila didalam bukti tersebut pihak lawan menyangkal secara tertulis untuk menghindari pungguh keributan maka tergugat harus memaparkan kejadian yang sebenarnya secara tertulis serta melampirkan beberapa bukti elektronik berupa gambar atau foto screenshot<ref name="kekuatan"/>.