Dalam ''[[Pararaton]]'' Maharaja Kertajaya disebut dengan nama '''Prabu Dandhang Gendis'''. Dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kestabilan [[Kerajaankerajaan Panjalu]] mulai menurun. Kondisi ini karena sang raja bermaksud untuk mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Sang prabu menyatakan ingin disembah sebagaiselayaknya dewa. Permintaan Prabu Dandhang Gendis ini tentunya mendapatkan perlawanan dari para pendeta danmaupun kaum Brahmana [[Hindu]] maupundan [[Buddha]]. Meskipun Prabu Dandhang Gendis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya terpaksa harus disiksa dengan kejam hingga akhirnya mati. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih melarikan diri dari ibu kota [[Daha]], dan oleh sebabkarena etikakelaliman danserta keserakahannyaperilakunya itutersebut membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. Para kaum Brahmana memilih meninggalkan ibu Kota [[Kerajaankerajaan Panjalu]]. Mereka menyingkir sambil terus menceritakan akan kesesatan maharaja Kertajaya, kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel ([[Malang]]) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada [[Ken Arok]], bawahan Dandhang Gendis yang menjadi ''akuwu'' (saat ini jabatan setingkat ''camat'') di wilayah [[Tumapel]]. Atas dukungan para [[Brahmana]], [[Ken Arok]] lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah [[Tumapel]] sebagai kerajaan merdeka, lepas dari [[Panjalu]].
Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh [[Siwa]]. Mendengar hal itu, [[Ken Arok]] pun memakai gelar [[Batara Guru|Bhatara Guru]] (nama lain [[Siwa]]) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang Panjalu.