Tujuan hukum: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Taufik Hadris (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
k ~ref
Baris 2:
 
== Kedamaian dan ketertiban ==
Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa tujuan hukum adalah kedamaian. <ref>Hobbes, 1950: bab 13, 17, dan 26.</ref>ia bertolah dari suatu antropologi. Menurutnya manusia dikuasai oleh dorongan-dorongan keinginan-keinginan rasioanal, bukan oleh kehendak bebas atau pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Perilaku manusia tidak diarahkan oleh nilai-nilai disadari atau oleh keputusan kehendak mengenai apa yang baik, melainkan oleh naluri untuk mempertahankan diri untuk memenuhi dorongan-dorongan alamiahnya. Hobbes menyampaikan fakta kebebasan, kehendak bebas, rasionalitas, dan nilai-nilai moral yang bersumber dari pertimbangan akal budi. Itulah "keadaan alamiah" dari manusia.
 
Namun lain halnya dengan Aristoteles yang menggambarkan manusia sebagai mahluk sosial (zoon politikon) karena berdasarkan rasionalitasnya.<ref>Aristotle, Politics, buku I.</ref>Namun Hobbes berpandangan lain bahwa sosialitas sebagai suatu karakteristik hakiki manusia. Secara primodial manusia tidak berhakikat sosial. Keadaan alamiah dicirikan dengan keadaan anarki tanpa suatu keadaan organisasi politik maupun sistem hukum. Konflik terbuka antar individu sering terjadi dikarenakan keingginan terhadap tiga hal, yang pertama keingginan mendapatkan dan memiliki sesuatu yang mana menyebabkan mereka saling bersaing atau berkompetisi antar sesamanya. Kedua, rasa takut terhadap serangan dari lawan, mendorong seseorang terlebih dahulu untuk memerangi sesamanya. Jadi, dari pada diserang lebih dahulu, lebih baik menyerang lebih dahulu. Ketiga, egoisme ( dalam arti sikap dasar ofensif untuk mengejar kepenuhan bagi kepentingan, keinginan dan kehormatan diri sendiri saja).
 
Hobbes menyimpulkan dalam state of nature, manusia dihihat oleh sesamanya adalah serigala buas yang selalu mangancam. dan kehidupan bersama ditandai oleh perang semua lawan semua. (''bellum omnium contra omnes''). Hidup manusia menjadi terasing, miskin, tidak menyenangkan, brutal, dan pendek. <ref name=":0">Hobbes, Leviathan, chapter XIII.</ref>Teori Hobbes boleh dikatakan bercorak realistis, karena ia mengakui fakta negatif kodrat manusia. Secara realistis, Hobbes melihat bahwa menurut kodratnya manusia memang cenderung egoistis. Selanjutnya, ia juga secara akurat menemukan bahwa kedamaian dan ketertiban merupakan tujuan penting yang dikehendaki oleh setiap negara dan masyarakat. Tidak ada satupun negara yang bisa bertahan tanpa kedamaian dan ketertiban. Keamanan dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi pengembangan kesejahteraan umum suatu masyarakat. Kehidupan setiap individu pun tergantung pada rasa aman dan damai. Untuk semua itu, hukum selalu perlu ditegakkan. Di sinilah letaknya kegamblangan dari teori Hobbes, yakni karena ia bertitik tolak dari asumsi negatif mengenai kodrat sosial manusia, maka kedamaian dan ketertiban dengan sendirinya jelas sebagai tujuan hukum.<ref name=":0" />
 
Akan tetapi, betapapun pentingnya, kedamaian harus dianggap sebagai tujuan minimal saja, dan bukan sebagai suatu tujuan yang mencukupi bagi masyarakat manusiawi. Artinya, tujuan yang sebenarnya dari suatu masyarakat atau negara bukanlah sekedar mempertahankan eksistensinya, melainkan menuju suatu eksistensi sosial di mana setiap anggota dapat mencapai kehidupan yang baik dan sejahtera. Apabila suatu negara gagal memberikan jaminan kedamaian dan kesejahteraan bagi para warganya, maka secara prinsipiil tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan eksistensinya. Konsekuensinya, negara dan sistem hukum harus mengarah kepada sesuatu yang lebih tinggi daripada sekedar kedamaian dan ketertiban. Kedamaian dan ketertiban hanyalah "tujuan negatif" dari hukum, dalam arti absensi perang dan konflik terbuka. Harus terdapat sesuatu yang lain sebagai tujuan hukum. <ref>Hobbes, Leviathan, chapters XIV-XV.</ref>
 
== Moralitas ==
Marcus Tullius Cicero (106-43 BC), seorang Romawi pengikut Stoisisme, berpendapat bahwa tujuan kodrati dari hukum adalah moralitas. Hukum positif suatu negara (human law) dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan tindakan-tindakan moral dengan memerintahkan perilaku yang secara moral baik, dan melarang perbuatan-perbuatan yang secara moral jahat. <ref name=":1">{{Cite book|last=DR. H. R. ABDUSSALAM, SIK,. SH,. MH.|first=ADRI DESAS FURYANTO, SH. MH.|date=2020|title=TEORI HUKUM|location=JAKARTA|publisher=PTIK|url-status=live}}</ref> Perbedaan antara yang benar dan yang salah tidak bersifat konvensional, dalam arti tidak merupakan produk dari mores suatu masyarakat, tidak pula berupa keyakinan-keyakinan tertentu dari suatu bangsa atau sebuah komunitas. Diinspirasi oleh Stoisisme, Cicero berpendapat bahwa hukum moral terpatri dalam hakikat alam semesta.
 
Hukum moral tidak lain dari hukum kodrat (natural law) yang di dalamnya Rasio ilahi memerintahkan perbuatan yang harus dilakukan dan melarang perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Dalam batasan itu, manusia bijaksana adalah manusia yang hidup sesuai dengan penentuan Rasio ilahi yang mengejawantah dalam Alam. Setiap orang mendapatkan sepercik Rasio ilahi yang mendorongnya kepada kebijaksanaan dan perbuatan yang benar. Namun manusia mewarisi juga kecenderungan-kecenderungan dan gairah-gairah yang dapat menjauhkannya dari perbuatan baik. Oleh karena itu, setiap masyarakat mempunyai sistem hukum yang mengarahkan dan mewajibkan para warganya untuk melakukan apa yang baik secara moral dan untuk menjauhi apapun yang jahat secara moral. Misalnya, hukum positif harus mewajibkan setiap warga negara untuk membayar utangnya dan untuk mengatakan kebenaran (tidak berdusta), karena perbuatan- perbuatan ini diperintahkan oleh hukum kodrat. Sebaliknya, hukum positif harus melarang pembunuhan dan pemerkosaan, karena perbuatan-perbuatan tersebut dilarang oleh hukum kodrat.<ref name=":1" />
Baris 32:
 
== Kemanusiaan ==
Hukum suatu negara semestinya bertujuan memajukan kemanusiaan, tanpa membedakan warga negara dan orang asing. Artinya, jiwa suatu sistem hukum adalah memperjuangkan kesejahteraan siapapun sebagai manusia. Pandangan ini antara lain dianut oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Dalam bukunya Principles of Morals and Legislation, Bentham tanpa ragu-ragu mempertahankan pendapat bahwa setiap hukum dan undang-undang harus dinilai menurut prinsip kemanfaatan.<ref>Bentham, 1970: bab 1 dan 4.</ref> Sesuatu dianggap bermanfaat jika memiliki kecenderungan untuk menghasilkan efek-efek yang baik dan menghindari efek-efek yang buruk. Karena Bentham percaya bahwa kebaikan dan kejahatan intrinsik dapat diukur menurut rasa senang dan rasa sakit, maka ia menyamakan kemanfaatan dengan kecenderungan untuk memperbesar kesenangan atau kebahagiaan dan mengurangi penderitaan atau kemalangan. <ref name=":5">Bentham, 1970: bab 1 dan 4.</ref>
 
Apakah sistem hukum dari suatu negara harus ditakar menurut manfaatnya bagi warganya saja atau bagi segenap umat manusia? Bentham tidak memberikan jawaban yang eksplisit. Ia sering menekankan pentingnya kesejahteraan umum suatu masyarakat atau komunitas. Dalam arti ini pandangan Bentham sejalan dengan teori Aquinas bahwa hukum harus bertujuan mencapai kesejahteraan umum. Akan tetapi, Bentham tidak berhenti di situ. Sebagai seorang utilitarian ia berpendapat bahwa setiap pelaku moral (moral agent) harus mengutamakan tindakan yang menghasilkan kebaikan dan yang menghindari kejahatan bagi setiap orang sejauh terjangkau oleh efek tindakannya. Dengan kata lain, nilai moral suatu perbuatan diukur berdasarkan kecenderungan efeknya yang baik dan menyenangkan bagi siapapun. Semakin banyak orang mengalami manfaat dari suatu perbuatan, semakin tinggi nilai moralnya. Prinsip "the greatest happiness for the greatest number" tidak dibatasi bagi warga negara atau anggota komunitas saja. Bagi Bentham, hak mendapatkan kebahagiaan dari suatu perbuatan moral bersumber dari status kemanusiaan, bukan status politik kewarganegaraan.<ref name=":5" />