Politik Etis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jonoo27 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Jonoo27 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 7:
Pemikiran politik etis menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan [[bumiputera]]. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik [[tanam paksa]]. Munculnya kaum etis yang dipelopori oleh [[Pieter Brooshooft]] (wartawan Koran ''[[De Locomotief]]'') dan [[van Deventer|C.Th. van Deventer]] (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
 
Pada 17 September 1901, Ratu [[Wilhelmina]] menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda yang ditulis oleh [[Abraham Kuyper]], perdana menteri yang baru menjabat<ref name=":0">{{Cite journal|last=Heslam|first=Peter S.|date=2020|title=An Ethical Policy for an Islamic People: The Colonial Policy of the Kuyper Cabinet (1901–1905) and the Challenge of Human Development|url=https://www.marketsandmorality.com/index.php/mandm/article/viewFile/1518/1228|journal=Journal of Markets & Morality|volume=23|issue=2|pages=297-317}}</ref>, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (''een eerschuld'') terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program ''Trias Van Deventer'' yang meliputi:
# Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
# Imigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.