Ratu Zaleha: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.8.6
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
Gusti Muhammad Arsyad dan isterinya Ratu Zaleha, puteri dari Sultan Muhammad Seman berjuang bersama [[ayah]]nya dengan penuh keberanian. Setelah benteng Manawing jatuh ia bersembunyi ke [[Lahei, Barito Utara|Lahei]] dan selanjutnya ke [[Mia]] di tepi [[Sungai Teweh]] yang dianggap mereka aman dari pengejaran Belanda. Suaminya Gusti Muhammad Arsyad setahun sebelum benteng Manawing jatuh telah menyerah kepada Belanda karena pengepungan yang menyebabkan ia tidak dapat melarikan diri lagi. Karena selalu dikejar-kejar oleh serdadu Belanda.
 
Gusti Zaleha atau Ratu Zaleha merasa sangat letih disamping fisiknya juga tidak mengizinkannya lagi, akhirnya dia pada awal tahun [[1906]] menyerahkan diri kepada Belanda. Atas permintaannya Ratu Zaleha mengikuti suaminya dalam pengasingan di Bogor (di kawasan Keramat [[Empang, Bogor Selatan, Bogor |Empang]] Bogor) untuk berkumpul dengan suaminya Gusti Muhammad Arsyad untuk menghabiskan sisa-sisa usianya. Ratu Zaleha diikuti oleh ibunya Nyai Salamah.
 
Keluarga Ratu Zaleha sebagai kelompok [[Pagustian]] dianggap berbahaya untuk wilayah [[Kalimantan Selatan]] dan [[Kalimantan Tengah|Tengah]]. Sebagai orang tawanan Gusti Muhammad Arsyad mendapat tunjangan sebesar [[florin|f]]300, perbulan terhitung sejak [[1 Mei]] [[1906]] sedangkan isterinya Ratu Zaleha mendapat f125, sebagai tambahan untuk memelihara 7 orang anggota keluarganya. Tunjangan ini berdasarkan surat Sekretaris Goebernemen [[25 Juli]] [[1906]] no. 1198 yang ditujukan kepada Ekslensi [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]], dan [[asisten residen|Asisten Residen]] Bogor.<ref name="gazali">{{id}} M. Gazali Usman, [[Kerajaan Banjar]]: [[Sejarah]] Perkembangan [[Politik]], [[Ekonomi]], [[Perdagangan]] dan Agama Islam, [[Banjarmasin]]: Lambung Mangkurat Press, [[1994]].</ref>