Teuku Ben Mahmud: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Al Asyi (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi ''''Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja''' atau '''Teuku Ben Mahmud''' adalah uleebalang Blangpidie yang memimpin perang gerilya melawan Belanda di pesisir barat selatan Aceh hingga tanah Batak pada awal abad ke-20.<ref>{{Cite web|title=Teuku Ben Mahmud dan Perjuangan Melawan Belanda Salah satu tokoh perlawanan terhadap kolonial Belanda,|url=https://123dok.com/article/mahmud-perjuangan-melawan-belanda-perlawanan-terhadap-ko...'
Tag: tanpa kategori [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan pranala ke halaman disambiguasi
 
Al Asyi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 15:
Pada awal pendudukan di Aceh Barat Daya, Belanda melakukan politik ''korte verklaring'' (perjanjian singkat) kepada setiap kepala negeri yang ada di sana. Pada sisi lain, rakyat serta merta tidak mau tunduk begitu saja terhadap kekuasaan kolonial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian pemimpin yang tidak mau dijajah kemudian bangkit menggerakkan pengikutnya melakukan resistensi untuk mengusir kolonial dari “Bumo Breuh Sigeupai”.
 
               Tahun 1900, pasukan marsose Belanda memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi bagi marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Sejak adanya tangsi Belanda di Blangpidie, kota ini semakin berkembang pesat sebagai pusat perdagangan antar kenegerian di Aceh Barat Daya saat itu.
 
               Perkembangan perdagangan di Kota Blangpidie sangat signifikan karena merupakan basis agraris terbesar di wilayah bagian Barat Selatan Aceh terutama sebagai penghasil padi serta didukung situasi keamanan dan kedudukan pusat militer Belanda. Daya tarik ini mendatangkan minat dari pedagang Tiongkok dari Sibolga (Sumatera Utara) dan Padang (Sumatera Barat) untukmembangun pertokoan di Blangpidie. Perkembangan Kota Blangpidie sebagai pusat perdagangan semakin bertambah ramai semenjak dibukanya akses jalan raya mulai dari Kutaraja sampai ke Tapaktuan Aceh Selatan oleh Belanda.
 
               Pada tahun 1901, Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang memporak-porandakan pasukan marsose Belanda di bawah pimpinan Letnan Helb. Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu telah  menewaskan 47 orang pejuang dari Aceh Barat Daya. Hal itu terjadi kaarena kurangn persiapan dan taktis serta ketidakseimbangan kekuatan antara pejuang dengan pasukan Belanda yang ada di dalam tangsi Marsose.
 
sempat membantu perlawanan
 
Putera Teuku Ben Mahmud yaitu Teuku Karim meneruskan kepahlawanannya hingga tahun 1942. Ketika penyerangan yang dilakukan oleh kolonial Belanda pada tahun 1900 dapat merebut wilayah Blangpidie, Teuku Ben Mahmud melakukan gerilya. Setelah penyerangan tersebut, Teuku Ben Mahmud masih saja berpengaruh besar di kenegerian Manggeng, selama bulan Januari 1927.
 
Setelah diasingksndiasingkan ke [[Kota Ambon|Ambon]], perlawanan terhadap Belanda di negeri Blangpidie dipegang oleh anaknya Teuku Banta Sulaiman. Dia pun dicurigai oleh pihak Belanda dan akhirnya diasingkan ke [[Aceh Timur]] pada tahun 1919 dan terakhir dipindahkan ke [[Kutaraja]] hingga masuk [[Jepang]] ke Aceh..<ref>{{Cite web|date=2015-02-06|title=Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/peristiwa-11-september-1926-perlawanan-teungku-peukan-terhadap-belanda-di-aceh-bagian-i/|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh|language=en-US|access-date=2022-10-12}}</ref>
Sisingamangaraja di daerah Dairi.
 
 
===Rujukan===
Setelah diasingksn ke Ambon, perlawanan terhadap Belanda di negeri Blangpidie dipegang oleh anaknya Teuku Banta Sulaiman. Dia pun dicurigai oleh pihak Belanda dan akhirnya diasingkan ke Aceh Timur pada tahun 1919 dan terakhir dipindahkan ke Kutaraja hingga masuk Jepang ke Aceh..<ref>{{Cite web|date=2015-02-06|title=Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/peristiwa-11-september-1926-perlawanan-teungku-peukan-terhadap-belanda-di-aceh-bagian-i/|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh|language=en-US|access-date=2022-10-12}}</ref>
<references />