Teuku Ben Mahmud: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Al Asyi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Al Asyi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 11:
===Perjuangan===
 
PadqPada tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang bivak Belanda di Tapaktuan serta Teuku Larat ''uleebalan''g Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda di bawah kepemimpinan Teuku Larat.
 
Dalam penyerangan itu, putra Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman ditawan Belanda beserta dengan puteri Teuku Larat, Cut Intan SuadatSaudat. Setelah peristiwa itu, mereka kemudian dinikahkan. Penyerangan itu terkenal dengan nama Perang Jambo Awe, di mana panglima penyerangnya dipimpin oleh Teungku Jambo Awe yang berasal dari [[Seunagan, Nagan Raya|Seunagan]], [[Nagan Raya]].
 
Tahun 1900, pasukan [[marsose]] Belanda memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari [[Susoh, Aceh Barat Daya|Susoh]]. Belanda membangun tangsi bagi marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Sejak adanya tangsi Belanda di Blangpidie, kota ini semakin berkembang pesat sebagai pusat perdagangan antar kenegerian di Aceh Barat Daya saat itu.
Pada awal pendudukan di Aceh Barat Daya, Belanda melakukan politik ''korte verklaring'' (perjanjian singkat) kepada setiap kepala negeri yang ada di sana. Pada sisi lain, rakyat serta merta tidak mau tunduk begitu saja terhadap kekuasaan kolonial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian pemimpin yang tidak mau dijajah kemudian bangkit menggerakkan pengikutnya melakukan resistensi untuk mengusir kolonial dari “Bumo Breuh Sigeupai”.
 
Setelah Belanda merebut wilayah Blangpidie pada tahun 1900, Teuku Ben Mahmud melakukan gerilya.
Tahun 1900, pasukan marsose Belanda memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi bagi marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Sejak adanya tangsi Belanda di Blangpidie, kota ini semakin berkembang pesat sebagai pusat perdagangan antar kenegerian di Aceh Barat Daya saat itu.
 
Pada tahun 1901, Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang memporak-porandakan pasukan marsose Belanda di bawah pimpinan Letnan Helb.
Perkembangan perdagangan di Kota Blangpidie sangat signifikan karena merupakan basis agraris terbesar di wilayah bagian Barat Selatan Aceh terutama sebagai penghasil padi serta didukung situasi keamanan dan kedudukan pusat militer Belanda. Daya tarik ini mendatangkan minat dari pedagang Tiongkok dari Sibolga (Sumatera Utara) dan Padang (Sumatera Barat) untukmembangun pertokoan di Blangpidie. Perkembangan Kota Blangpidie sebagai pusat perdagangan semakin bertambah ramai semenjak dibukanya akses jalan raya mulai dari Kutaraja sampai ke Tapaktuan Aceh Selatan oleh Belanda.
 
Pada tahun 1901, Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang memporak-porandakan pasukan marsose Belanda di bawah pimpinan Letnan Helb. Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu telah  menewaskan 47 orang pejuang dari Acehpasukan BaratTeuku DayaBen Mahmud. Hal itu terjadi kaarenakarena kurangnkurangnya persiapan dan taktistaktik serta ketidakseimbangan kekuatan antara pejuang dengan pasukan BelandaTeuku yangBen adaMahmud didengan dalampasukan tangsi MarsoseBelanda.
 
Setelah diasingkan ke [[Kota Ambon|Ambon]], perlawanan terhadap Belanda di negeri Blangpidie dipegang oleh anaknya Teuku Banta Sulaiman. Dia pun dicurigai oleh pihak Belanda dan akhirnya diasingkan ke [[Aceh Timur]] pada tahun 1919 dan terakhir dipindahkan ke [[Kutaraja]] hingga masuk [[Jepang]] ke Aceh. Putera Teuku Ben Mahmud lainnya yaitu Teuku Karim meneruskan kepahlawanannya hingga tahun 1942.<ref>{{Cite web|date=2015-02-06|title=Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/peristiwa-11-september-1926-perlawanan-teungku-peukan-terhadap-belanda-di-aceh-bagian-i/|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh|language=en-US|access-date=2022-10-12}}</ref>
Putera Teuku Ben Mahmud yaitu Teuku Karim meneruskan kepahlawanannya hingga tahun 1942. Ketika penyerangan yang dilakukan oleh kolonial Belanda pada tahun 1900 dapat merebut wilayah Blangpidie, Teuku Ben Mahmud melakukan gerilya. Setelah penyerangan tersebut, Teuku Ben Mahmud masih saja berpengaruh besar di kenegerian Manggeng, selama bulan Januari 1927.
 
Setelah diasingkan ke [[Kota Ambon|Ambon]], perlawanan terhadap Belanda di negeri Blangpidie dipegang oleh anaknya Teuku Banta Sulaiman. Dia pun dicurigai oleh pihak Belanda dan akhirnya diasingkan ke [[Aceh Timur]] pada tahun 1919 dan terakhir dipindahkan ke [[Kutaraja]] hingga masuk [[Jepang]] ke Aceh.<ref>{{Cite web|date=2015-02-06|title=Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/peristiwa-11-september-1926-perlawanan-teungku-peukan-terhadap-belanda-di-aceh-bagian-i/|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh|language=en-US|access-date=2022-10-12}}</ref>
 
===Rujukan===