Teuku Ben Mahmud: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
Baris 35:
Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu telah menewaskan 47 orang dari pasukan Teuku Ben Mahmud. Hal itu terjadi karena kurangnya persiapan dan taktik serta ketidakseimbangan kekuatan antara pasukan Teuku Ben Mahmud dengan pasukan Belanda.
Pada tahun 1908, Belanda berhasil menyandera beberapa anggota keluarga dan pasukan Teuku Ben Mahmud. Atas bujukan Kapitein W.B.J. Scheppens, Teuku Ben Mahmud dan 160 orang pasukannya akhirnya terpaksa turun gunung dan menghentikan gerilyanya dengan syarat Belanda harus melepaskan sandera dan mengembalikan pejuang Aceh yang mereka buang ke luar Aceh.
Meskipun perjuangan Teuku Ben Mahmud terhenti setelah ia dibuang ke Ambon. Namun semangat perjuangannya tetap diteruskan oleh anaknya Teuku Banta Sulaiman dan pasukan nya yang lain. Bahkan penyerangan tangsi Belanda oleh [[Teungku Peukan]] dan pasukannya dari Manggeng pada tahun 1927 juga disinyalir dipengaruhi oleh semangat perjuangan Teuku Ben Mahmud.
Penerus Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman selanjutnya juga
▲Setelah beberapa anggota keluarganya ditangkap oleh Belanda, Teuku Ben Mahmud dan 160 orang pasukannya terpaksa turun gunung pada 1908. Karena dianggap masih memiliki pengaruh terhadap perlawanan melawan Belanda, Teuku Ben Mahmud akhirnya dibuang ke [[Kota Ambon|Ambon]] pada 1911. Tidak diketahui secara pasti kondisi Teuku Ben Mahmud dalam pengasingannya di Ambon.
▲Penerus Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman selanjutnya juga dicurigai oleh Belanda dan diasingkan ke [[Peureulak, Aceh Timur|Peureulak]], [[Aceh Timur]] pada tahun 1919 kemudian dipindahkan ke [[Kutaraja]] hingga masuk [[Jepang]] ke Aceh baru ia dapat pulang kembali ke Blangpidie. Saudaranya, Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud turut melakukan perlawanan hingga tahun 1942
▲Uleebalang Blangpidie selanjutnya diambilalih oleh adiknya, Teuku Rayeuk bin Teuku Ben Mahmud, karena Teuku Sabi bin Teuku Banta Sulaiman masih kecil. Baru pada tahun 1936 ''Zelfbestuur Landschappen'' Blangpidie dijabat oleh Teuku Sabi hingga terjadinya [[revolusi sosial]] pasca [[kemerdekaan Indonesia]] yang menyebabkan Teukus Sabi hilang. Teuku Sabi menikah dengan putri Datuk Nyak Raja (''Zelfbestuur Landschappen'' Susoh). Teuku Sabi tidak memiliki anak laki-laki yang dapat meneruskan kepemimpinannya sebab anak laki-laki mereka satu-satunya bernama Teuku Raja Usman bin Teuku Sabi meninggal saat masih kecil akibat tenggelam di kolam sekitar kediaman Teuku Sabi.<ref>{{Cite web|date=2015-02-06|title=Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/peristiwa-11-september-1926-perlawanan-teungku-peukan-terhadap-belanda-di-aceh-bagian-i/|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh|language=en-US|access-date=2022-10-12}}</ref>
===Rujukan===
|