Kartini: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
GoglepinkNew (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Hermankaloko (bicara | kontrib)
k Memperbaiki ejaan dan tanda baca.
Baris 26:
== Biografi ==
[[Berkas:Sosroningrat, regent van Djapara.jpg|al=|kiri|jmpl|214x214px|Ayah Kartini, R.M.A.A. Sosroningrat.]]
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan ''[[priyayi|priayi]]'' atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati [[Jepara]] segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari [[Nyai]] Haji Siti Aminah dan [[Kyai]] Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga [[Hamengkubuwana VI]]. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana [[Kerajaan Majapahit]]. Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati [[Surabaya]] pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.<ref name="jote p2">{{cite book|title= On feminism and nationalism: Kartini's letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903|year=2005|page=2|publisher=Monash University Press|isbn=1876924357}}</ref>
 
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang [[wedana]] di [[Mayong, Jepara|Mayong]]. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang [[bupati]] beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi,<ref>''[http://www.asiaquarterly.com/content/view/170/43/ Interview with Kathryn Robinson: Secularization of Family Law in Indonesia]'', Harvard Asia Quarterly, diakses 21 April 2010</ref> maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.<ref name="jote p2"/> Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Baris 33:
 
[[Berkas:Kartini1900s.jpg|jmpl|Surat Kartini - Rosa Abendanon (fragmen)]]
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman [[korespondensi]] yang berasal dari [[Belanda]]. Salah satunya adalah [[Rosa Abendanon]] yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
 
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang ''[[De Locomotief]]'' yang diasuh [[Pieter Brooshooft]]. Ia juga menerima ''leestrommel'' (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda ''De Hollandsche Lelie''. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di ''De Hollandsche Lelie''. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal [[emansipasi]] wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul ''[[Max Havelaar]]'' dan ''Surat-Surat Cinta'' karya [[Multatuli]], yang pada November [[1901]] sudah dibacanya dua kali. Selain itu, Kartini juga membaca ''De Stille Kraacht'' (''Kekuatan Gaib'') karya Louis Coperus dan karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, ''Die Waffen Nieder'' (''Letakkan Senjata''). Semuanya berbahasa Belanda.
 
Oleh orang tuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati [[Rembang]], K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat,<ref>{{Cite book|last=Safwan|first=Mardanas|date=2001|url=https://books.google.com/books?id=ewtxAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=%22Kartini%22&q=%22Kartini%22&hl=id|title=R.A. Kartini: riwayat hidup dan perjuangannya|publisher=Mutiara Sumber Widya|isbn=978-979-9331-17-5|language=id}}</ref> yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai [[Gedung Pramuka]]. [[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het gebouw van de Kartinischool geopend op 22 juli 1918 aan de Feitweg in Buitenzorg TMnr 60002657.jpg|jmpl|250px|kiri|Sekolah Kartini (''Kartinischool''), 1918.]] Anak satu-satunya, [[Soesalit Djojoadhiningrat]], lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, [[Kecamatan Bulu]], [[Rembang]].
 
Berkat kegigihan Kartini, belakangan didirikan Sekolah Wanita oleh [[Van Deventer#Yayasan Kartini|Yayasan Kartini]] di [[Semarang]] pada [[1912]], dan kemudian di [[Surabaya]], [[Yogyakarta]], [[Malang]], [[Madiun]], [[Cirebon]], dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "[[Sekolah Kartini]]". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga [[Van Deventer]], seorang tokoh [[Politik Etis]].
 
Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan tanah air, Kartini mengemukakan ide-ide pembaruan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah.
 
Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda di luar negeri, seperti Tuan EC Abendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK Anton dan Ny Tuan HH von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain. Surat-surat Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada 1911 oleh Mr JH Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru Armijn Pane pada 1922 dengan judul ''Habis Gelap Terbitlah Terang''.<ref>{{cite web|url=https://www.medcom.id/pilar/kolom/zNPMQPVb-arti-kartini-di-masa-kini#|title=Arti Kartini di Masa Kini |last=Nasar|first=Fuad|date=2015-04-21|website=Medcom.id|accessdate=2020-05-10}}</ref>
 
== Surat-surat ==
Setelah Kartini wafat, [[J.H. Abendanon|Jacques Abendanon]] mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul ''Door Duisternis tot Licht'' yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
 
Pada tahun 1922, [[Balai Pustaka]] menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi ''Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran'', yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah ''[[Habis Gelap Terbitlah Terang]]'' versi [[Armijn Pane]] seorang sastrawan [[Pujangga Baru]]. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Baris 102:
:Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada ''Door Duisternis Tot Licht''. Selain diterbitkan dalam ''Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya'', terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku ''Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya''.
 
* '''''Letters from Kartini, An Indonesian Feminist'' 1900–1904'''
:Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah ''Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904''. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam ''Door Duisternis Tot Licht'' versi Abendanon. [[Joost Coté]] juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam ''Door Duisternis Tot Licht'' versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
 
:Buku ''Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904'' memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
 
* '''''Panggil Aku Kartini Saja'''''
[[Berkas:Samak Pangil Aku Kartini Saja.jpg|jmpl|180px|Sampul ''Panggil Aku Kartini Saja'', dikompilasi oleh [[Pramoedya Ananta Toer]].]]
:Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah ''[[Panggil Aku Kartini Saja]]'' karya [[Pramoedya Ananta Toer]]. Buku ''Panggil Aku Kartini Saja'' terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
Baris 125:
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan [[politik etis]] di [[Hindia Belanda]], dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
 
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan '''Hari Ibu''' pada tanggal [[22 Desember]]. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti [[Cut Nyak Dhien]], [[Martha Christina Tiahahu]], [[Dewi Sartika]], dan lain-lain. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
 
Kematian Kartini yang mendadak juga menimbulkan spekulasi negatif bagi sebagian kalangan. Seperti diketahui dalam sejarah, Kartini meninggal pascamelahirkan, tepatnya empat hari setelah melahirkan. Ketika Kartini, mengandung bahkan sampai melahirkan, dia tampak sehat walafiat. Hal inilah yang mengandung kecurigaan. Efatino Febriana, dalam bukunya “Kartini''Kartini Mati Dibunuh”Dibunuh'', mencoba menggali fakta-fakta yang ada sekitar kematian Kartini. Bahkan, dalam akhir bukunya, Efatino Febriana berkesimpulan, kalau kartini mamang mati karena sudah direncanakan. Demikian pula Sitisoemandari dalam buku "''Kartini, Sebuah Biografi",'' menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat dari Belanda. Permainan jahat dari Belanda ingin agar Kartini bungkam dari pemikiran-pemikiran majunya yang ternyata berwawasan kebangsaan.
 
Ketika Kartini melahirkan, dokter yang menolongnya adalah Dr van Ravesten, dan berhasil dengan selamat. Selama 4 hari pascamelahirkan, kesehatan Kartini baik-baik saja. Empat hari kemudian, dr van Ravesten menengok keadaan Kartini, dan ia tidak khawatir akan kesehatan Kartini. Ketika Ravesten akan pulang, Kartini dan Ravesten menyempatkan minum anggur sebagai tanda perpisahan. Setelah minum anggur itulah, Kartini langsung sakit dan hilang kesadaran, hingga akhirnya meninggal dunia. SayangSayangnya, pada saat itu tak ada autopsi. Meski demikian, pihak keluarga tidak mempedulikan desas-desus yang muncul terkait kematian Kartini, melainkan menerima peristiwa itu sebagai takdir Yang Mahakuasa. Sementara pendapat yang berbeda yang dinyatakan oleh para dokter modern pada era sekarang. Para dokter berpendapat Kartini meninggal karena mengalami [[preeklampsia]] atau tekanan darah tinggi pada ibu hamil. Namun, hal ini juga tidak bisa dibuktikan karena dokumen dan catatan tentang kematian Kartini tidak ditemukan.<ref>[http://www.tribunnews.com/nasional/2016/04/21/misteri-kematian-kartini-benarkan-dia-dibunuh TribunNews: Misteri Kematian Kartini, Benarkah Dia Dibunuh?]</ref><ref>{{Cite web |url=http://www.tabloidposmo.co.id/?p=896 |title=Tabloid Posmo: Misteri Kematian Kartini, Benarkah Dia Dibunuh? |access-date=2016-05-02 |archive-date=2016-06-02 |archive-url=https://web.archive.org/web/20160602122739/http://www.tabloidposmo.co.id/?p=896 |dead-url=yes }}</ref>
 
== Peringatan ==
Baris 136:
Presiden [[Soekarno]] mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai '''Hari Kartini'''.
 
Pemerintahan Orde Lama [[Soekarno]] mendeklarasikan 21 April sebagai Hari Kartini untuk mengingatkan perempuan bahwa mereka harus berpartisipasi dalam "wacana negara hegemonik pembangunan".<ref name="bulbeck">{{cite book | last = Bulbeck | first = Chilla | author-link = Chilla Bulbeck | title = Sex, love and feminism in the Asia Pacific: a cross-cultural study of young people's attitudes | publisher = Routledge | location = London New York | series = ASAA women in Asia | year = 2009 | isbn = 9780415470063 }} [https://books.google.com/books?id=chqofjVED54C&pg=PA94 Preview.]</ref> Namun, setelah tahun 1965, pemerintahan [[Orde Baru]] [[Soeharto]] mengubah citra Kartini dari emansipator wanita radikal menjadi citra yang menggambarkannya sebagai istri yang patuh dan putri yang patuh, "sebagai hanya seorang wanita berpakaian kebaya yang bisa memasak."<ref name=Yulianto>{{cite news |last=Yulianto |first=Vissia Ita |title=Is celebrating Kartini's Day still relevant today? |url=http://www.thejakartapost.com/news/2010/04/21/is-celebrating-kartini%E2%80%99s-day-still-relevant-today.html |access-date=15 March 2013 |newspaper=The Jakarta Post |date=21 April 2010 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20130807162432/http://www.thejakartapost.com/news/2010/04/21/is-celebrating-kartini%E2%80%99s-day-still-relevant-today.html |archive-date=7 August 2013 }}</ref> Pada kesempatan itu, yang dikenal sebagai Hari Ibu Kartini, "gadis-gadis muda harus mengenakan jaket ketat yang pas, kemeja batik, gaya rambut yang rumit, dan perhiasan berornamen ke sekolah, yang seharusnya meniru pakaian Kartini tetapi dalam kenyataannya, mengenakan pakaian ciptaan, dan ansambel yang lebih ketat daripada yang pernah dia lakukan."<ref name=Ramusack>{{cite book|last=Ramusack|first=Barbara N.|title=Women's History in Global Perspective|year=2005|publisher=University of Illinois Press|isbn=978-0-252-02997-4|pages=101–138 [129]|chapter-url=https://books.google.com/books?id=cQz2o883S38C&pg=PA129 |editor=Bonnie G. Smith|access-date=15 March 2013|chapter=Women and Gender in South and Southeast Asia}}</ref>
 
Melodi "Ibu Kita Kartini" oleh [[Wage Rudolf Supratman|W. R. Supratman]]: