Amir Hamzah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menghapus Kategori:Tokoh yang dibunuh; Menambah Kategori:Tokoh yang dibunuh di Indonesia menggunakan HotCat |
AriefSigli (bicara | kontrib) k Hanya memperbaiki sebagian kecil sumber/link. |
||
Baris 65:
Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya,{{sfn|Husny|1978|pp=42–43}} mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru.{{sfn|Dini|1981|p=83}} Pada awalnya, hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di [[Lembang]], sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam{{sfn|Dini|1981|p=82}} – ketika orang tua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk bertemu.{{sfn|Dini|1981|p=85}}
Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" (EYD":"Sunyi") dan "Maboek ..." (EYD:"Mabuk"), diterbitkan dalam edisi Maret majalah ''[[Timboel]]''. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah [[syair]] berdasarkan ''[[Hikayat Hang Tuah]]'',<ref>{{harvnb|Teeuw|1980|pp=126–27}}; {{harvnb|Balfas|1976|p=61}}</ref> tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam ''Timboel'', sementara prosa tersebut terbit dalam majalah ''[[Panji Pustaka|Pandji Poestaka]]''.{{sfn|Jassin|1962|pp=211–19}} Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari [[Sutan Takdir Alisjahbana]], editor rubrik "Memadjoekan Sastera " (EYD:"Memajukan Sastra ", rubrik sastra ''Pandji Poestaka''), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen.{{sfn|Foulcher|1991|pp=14–17}} Amir menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan.{{sfn|Foulcher|1991|pp=14–17}} Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera".<ref>{{harvnb|Siregar|1964|p=77}}; {{harvnb|Foulcher|1991|p=20}}</ref> Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933,{{sfn|Teeuw|1980|p=50}} dengan judul ''[[Poedjangga Baroe]]''. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana,{{sfn|Siregar|1964|p=75}} sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.{{sfn|Jassin|1962|pp=211–19}}
Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.{{sfn|Husny|1978|pp=47–49}} Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat.{{sfn|Husny|1978|p=63}} Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam ''Poedjangga Baroe'', termasuk serangkaian lima artikel tentang [[Sastra Timur]] dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari ''[[Bhagawad Gita]]'' dari 1933 sampai 1935.{{sfn|Jassin|1962|pp=211–19}} Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.{{sfn|Husny|1978|pp=74–75}}
Baris 101:
Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu bercakap dalam [[bahasa Melayu]], sehingga bahasa tersebut telah "''... mendjadi darah daging baginja.''" (EYD:"menjadi darah dan daging baginya").{{sfn|Musa|1955|p=10}} Sejak usia muda ia telah diperkenalkan pada [[sastra lisan]], [[pantun]] tertulis dan [[syair]], baik mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi.{{sfn|Musa|1955|p=11}} Seperti ayahnya sebelum dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti ''[[Hikayat Hang Tuah]]'', ''[[Syair Siti Zubaidah Perang Cina]]'', dan ''[[Hikayat Panca Tanderan]]''. Dia akan mendengarkan tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan dalam upacara umum, {{sfn|Musa|1955|p=10}} dan setelah dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan tersebut, meskipun koleksinya tersebut hancur saat revolusi komunis Sumatra Timur yang merenggut nyawanya.{{sfn|Musa|1955|p=11}}
Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca karya [[sastra Arab]], [[sastra Persia|Persia]], dan [[sastra Hindu]].{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Amir Hamzah}} Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-negara Timur lainnya:{{sfn|Teeuw|1980|p=124}} puisi-puisi terjemahan dalam ''Setanggi Timoer'' misalnya, memasukkan karya-karya [[Umar Khayyām]] (Persia), [[Du Fu]] (China), [[Fukuda Chiyo-ni]] (Jepang), dan [[Rabindranath Tagore]] (India).{{sfn|Jassin|1962|pp=211–19}} Karya-karya ini tidak dibacanya dalam bahasa aslinya, tetapi dalam terjemahan berbahasa Belanda.{{Sfn|Johns|1979a|p=30}} Kritikus sastra [[Muhammad Balfas]] menulis bahwa, tidak seperti rekan sezamannya, Amir menunjukkan hanya sedikit pengaruh dari [[soneta]] dan penyair [[neo-
<!-- [[Berkas:Ilik Sundari oleh Amir Hamzah.jpg|jmpl|Ilik Soendari, dalam foto yang diambil sendiri oleh Amir; dia telah banyak disebut sebagai sumber inspirasi Amir.]] -->
Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir dari doktrin Islam. Pencatat sastra Indonesia [[H.B. Jassin]]{{sfn|Jassin|1962|p=33}} dan penyair [[
Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya Amir dengan perspektif Kekristenan. Dalam menganalisis "[[Padamu Jua]]", kritikus Indonesia [[Bakri Siregar]] menunjukkan bahwa beberapa pengaruh dari [[Alkitab]] Kristen dapat ditemukan, menunjuk ke beberapa aspek dari puisi yang tampaknya mendukung pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan yang [[antropomorfik]] (tidak diperbolehkan dalam Islam ortodoks) dan pandangan tentang Tuhan yang cemburu. Dia menulis bahwa konsep tentang Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam Islam, tetapi dalam Alkitab, mengutip Keluaran 20:5 dan Keluaran 34:14.{{sfn|Jassin|1962|pp=33–34}} Dalam puisi lain, "Permainanmu", Hamzah menggunakan kalimat "Kau keraskan kalbunya", Jassin menarik kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun dalam [[Kitab Keluaran]].{{efn|Dalam Islam, Firaun mengeraskan sendiri hatinya {{harv|Jassin|1962|p=36}}.}}{{sfn|Jassin|1962|p=36}}
Baris 144:
== Penghargaan dan pengakuan umum ==
Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan pengakuan dari pemerintah Sumatra Utara segera setelah kematiannya.{{sfn|Dini|1981|p=179}} Pada tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi [[
Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era sebelum [[Revolusi Nasional Indonesia]].{{sfn|Teeuw|1980|p=123}} Anwar menulis bahwa penyair ini adalah "puncak gerakan ''
Jassin telah menyebut Amir "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe", nama yang dia digunakan sebagai judul bukunya tentang penyair tersebut.{{sfn|Teeuw|1980|p=123}} Sebagai penutup bukunya tersebut, Jassin menulis:
Baris 507:
{{Wikisource|1=Pengarang:Amir_Hamzah|2=Amir Hamzah}}
* {{id}} [https://www.sepenuhnya.com/p/puisi-karya-amir-hamzah.html Kumpulan Puisi Karya Amir Hamzah]
* {{id}} [http://buahrindu.tripod.com/ Beberapa sajak dari ''Buah Rindu'']
* {{id}} [http://www.tengkuamirhamzah.com/id/biography/ Portal web Tengku Amir Hamzah]
|