Pengguna:Pradana26/Bak pasir: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Nama : Gemilang Surya Ken Edwin
NIM : 072011333036
Prodi : Ilmu Politik
Mata Kuliah : Ekonomi Politik (SOP 351)
Kelas : A
Judul Jurnal : A Comparative Study of State-Led Development in Myanmar (1988–2010) and Suharto’s Indonesia: An Approach from the Developmental State Theory
Penulis : Sai Khaing Myo Tun
Publikasi : Journal of Current Southeast Asian Affairs
REVIEW JURNAL
A Comparative Study of State-Led Development in Myanmar (1988–2010) and Suharto’s Indonesia: An Approach from the Developmental State Theory
Overview
Sai Khaing Myo Tun membahas perbandingan antara pembangunan dipimpin oleh negara di Myanmar dan Indonesia. Perbandingan ini dilakukan sebab ingin mencari adanya perbedaan di antara kedua negara tersebut. Tun tidak mencari kesamaan di kedua negara tersebut, alih-alih malah mencari perbedaannya. Ia beranggapan bahwa meskipun memiliki titik mula yang berbeda, keduanya berkembang dan mengadaptasi dirinya sendiri dengan pemerintahan militer yang mengatur pembangunan negara.
Tun menggunakan ''Developmental State Theory'' untuk menganalisis Myanmar dan Indonesia. Unsur paling pertama dalam perkembangan suatu negara adalah peran teknokrat ekonomi dan birokrat yang handal untuk memenuhi tujuan dan fungsi pembangunan. Perbedaan antara teknokrat dan birorat ada pada keahlian, teknokrat menguasai satu bidang tertentu namun mendalam (ahli/''expert''), sedangkan birokrat secara tidak langsung dituntut untuk menguasai banyak bidang meskipun tidak mendalam (''generalist''). Terdapat semacam pembagian tugas di sini, teknokrat berperan untuk melaksanakan pembangunan seiring dengan keinginan pemerintah yang berkuasa, sedangkan birokrat dituntuk untuk menjaga stabilitas politik dalam waktu yang lama.
Fokus Permasalahan
Tun melihat faktor utama dari
Point of View Penulis Dalam Jurnal
Adadad
Metode Penelitian
Adaad
Hasil Temuan Tentang Developmental State di Myanmar dan Indonesia
Myanmar mendapatkan status kemerdekaan pada tahun 1948. Pasca kemerdekaan Myanmar menganut sistem demokrasi parlementer. Sejak kekuasaan administratif terletak di posisi yang cukup tinggi, membuat birokrat punya sedikit otonomi dan dianggap tidak mampu mewakili rakyatnya. Hal tersebut berpengaruh kepada tidak mampunya birokrat dengan posisi lebih rendah untuk mengambil tindakan yang diperlukan saat keadaan mendesak bahkan genting, karena tidak yakin atau memiliki otoritas yang cukup kuat dalam pengambilan keputusan tersebut. Pemusatan prosedur birokrasi terdapat pada proses administrasi.
Pemerintah Myanmar tidak mampu menjaga hukum dan ketertiban, mengendalikan ekonomi negara pun kocar-kacir, sehingga dalam kondisi kacau seperti demikian membuat kekuatan militer mempunyai celah untuk mengambil alih kekuasaan pada tahun 1962. Dewan Revolusioner di bawah kepemimpinan Jenderal Ne Win lalu menyiapkan langkah strategis. Pembentukan negara sosialis adalah jawaban atas kegagalan negara parlementer menurut Jenderal Win. Kita bisa melihat di mana posisi dari Myanmar sosialis bentukan Jenderal Win.
Hal tersebut berdampak pada digunakannya sistem sosialis di Myanmar pada tahun 1974. Sistem administrasi yang jauh lebih terpusat dikenalkan oleh sistem pemerintahan ini, pemerintahan militer secara langsung kemudian berubah menjadi pemerintahan militer secara tak langsung. Sebelumnya di bawah Dewan Revolusioner kemudian berpindah di bawah Partai Program Sosialis Burma (''Burmese Socialist Programme Party''/BSPP) yang jadi partai tunggal dalam urusan negara. Sistem partai tunggal semacam ini lazim di negara dengan ideologi sosialis atau komunis.
Militer di dalam lingkaran kekuasaan di Myanmar disokong oleh BSPP dan birokrat di sana bertransformasi menjadi gabungan antara sipil dan militer. Teknokrat saat itu hanyalah pengikut BSPP semata, banyak yang meragukan kompetensinya karena tanpa otoritas kuat dan kekuasaan yang relatif kecil. Kebijakan ekonomi dapat dikatakan gagal setelah “pengarahan Burma” menuju sosialisme dan salah pengelolaan oleh militer dalam kurun waktu 26 tahun membuat gagalnya pembentukan struktur negara yang kuat untuk menuju pembangunan ekonomi.
Tidak ada tenaga ahli ekonomi yang mampu membuat kebijakan bagus membuat ekonomi secara perlahan memburuk karena kebijakan sosialis tanpa ahli ekonomi itu. Karena kondisi ekonomi sangat buruk membuat pemerintah (dalam hal ini BSPP) meminta PBB untuk menetapkan status negara terbelakang pada tahun 1987.
Indonesia jelas berbeda dengan Myanmar,
Apakah Sudah Menjawab Perihal Kasus Yang Diteliti
Tulisan Tun menjawab
Kesimpulan
Adadad
Tanggapan Penulis
|