Orang Indo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rufinsky (bicara | kontrib)
Mengganti foto
Tag: gambar rusak VisualEditor
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 2 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.2
Baris 74:
Di kalangan Indo telah umum diketahui, semakin tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar berusaha mengidentifikasi diri sebagai orang Eropa. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropa.<ref name="veur1">Veur, P. van der. 1969. [http://www.jstor.org/stable/3350669 Race and Color in Colonial Society: Biographical Sketches by a Eurasian Woman concerning Pre-World War II Indonesia]. ''Indonesia'' 8:69-79.</ref> Aspek budaya lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar".<ref name="veur1"/> Stratifikasi sosial bernuansa rasis ini sedikit banyak muncul dari asal usul orang Indo, yang kebanyakan adalah keturunan dari kebiasaan per[[gundik]]an meluas di kalangan pria Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 akibat kurangnya perempuan Eropa. Orang-orang Mestizo dianggap sebagai "keturunan hubungan gelap". Kebanyakan mereka dibesarkan oleh ibu mereka dalam tradisi lokal, sehingga pendidikannya dianggap kurang, juga dalam kemampuan berbahasa Belandanya. VOC, sebagai penguasa, tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan situasi ini. Namun justru masuknya unsur budaya lokal yang menjadi pembeda mereka dan orang Belanda pendatang, bahkan masih dipertahankan hingga akhir abad ke-20.
 
Kaum Indo digunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum [[Tionghoa-Indonesia]], yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga memandang rendah kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan bagi orang Indo: kata "Indo" dianggap sebagai singkatan dari ''indolent'' (pemalas).<ref name="veur1"/> Orang Eropa ''totok'' secara sosial dan legal berposisi lebih tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur karena orientasi budaya yang sama, dalam banyak hal lainnya (seperti makanan dan kecenderungan [[estetika|estetik]]) kedua kelompok ini cukup berbeda. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi [[diaspora]] orang Eropa-Indonesia ke Belanda seusai Perang Dunia Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima kehadiran orang-orang Indo sehingga sebagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti [[Amerika Serikat]], [[Kanada]], [[Australia]], atau [[Selandia Baru]].<ref name=krancher>Krancher J 2003. [http://krancher.org/indos.html "Indos: The Last Eurasian Community?"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20210610133426/http://www.krancher.org/indos.html |date=2021-06-10 }}. EurasianNation.</ref>
 
<!-- Peran kelompok Eropa-Indonesia sebagai satuan budaya lebih terlihat pada masa penguasaan Belanda di Indonesia serta beberapa tahun setelahnya. Masa paling nyata yang mencatat peran mereka barangkali adalah sejak paruh akhir abad ke-19 hingga berakhirnya [[Perang Pasifik]]. Pada periode awal Indonesia, sebagian besar orang Eropa (terutama [[Belanda]]) atau Indo terpaksa atau dipaksa meninggalkan Indonesia.
Baris 99:
Semenjak [[Orde Baru]], orang Eropa-Indonesia di Indonesia hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari penduduk Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat, praktis tidak memungkinkan masuknya orang Eropa ke Indonesia tanpa melalui naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam kultur kosmopolitan Jakarta, atau kultur lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikatakan bukan merupakan subkultur yang khas di Indonesia.
 
Keadaan yang agak berbeda terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472.600 orang penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di antaranya lahir di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458.000 orang yang merupakan generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka merupakan kelompok minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan budaya tersendiri. Secara statistik mereka masih dipisahkan dan dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar, sekaligus sebagai kelompok minoritas yang paling terintegrasi.<ref>[http://www.kiemnet.nl/nieuws/2006/04/Indische-Nederlander-voorbeeld-integratie_1013.html Indische Nederlander voorbeeld integratie]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}. NICIS Institute, edisi 20-04-2006.</ref> Festival tahunan Pasar Malam Besar merupakan kegiatan besar dari masyarakat Eropa-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang warga negara AS keturunan Eropa-Indonesia yang pernah menetap di Indonesia mencatat secara kritis adanya "kebangkitan kembali" pada generasi ketiga keturunan kaum Indo di Belanda.<ref>Boot, Brederode and Krancher, 2006. [http://www.coert.org/indonesia/TheRiseOfANewGeneration.htm ''The Rise of a New Generation: The Dutch-Indonesian Cultural Renaissance in the Netherlands''.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20081120213321/http://www.coert.org/indonesia/TheRiseOfANewGeneration.htm |date=2008-11-20 }} Laman [http://www.coert.org/index.html COERT] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070823114052/http://www.coert.org/index.html |date=2007-08-23 }}. Worldwide Family History.</ref>
 
Keturunan Eropa-Indonesia juga tersebar di seluruh dunia, baik langsung dari Indonesia ataupun dari Belanda. Banyak di antara mereka tinggal di [[Amerika Serikat]], [[Kanada]], atau [[Inggris]]. Beberapa di antaranya menjadi orang yang cukup terkemuka.