Zubairi Djoerban: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ~ref
k Menambahkan tanda baca
Baris 9:
Hal lain yang diketahui dari AIDS waktu itu adalah sebagian besar pasien berasal dari kalangan homoseks. Berangkat dari pengetahuan inilah sepulangnya dari Prancis, pada 1983, Zubairi melakukan penelitian di kalangan waria di Pasar Rumput. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa di antara mereka ada yang kadar CD4 atau T helper-nya rendah sekali. Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam Kongres Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI) VI, 24-28 Juli 1984, di Jakarta. Disebutkan bahwa dari 15 orang yang diperiksa, tiga di antaranya memenuhi kriteria minimal untuk diagnosis AIDS: penurunan kadar limfosit T-helper, terbaliknya perbandingan antara limfosit T-helper dan suppresor, limfopenia, dan ditemukan gejala-gejala klinis.
 
Pada 1985, Zubairi mendapat undangan untuk mengikuti Kongres I AIDS di [[Atlanta]], [[Georgia]], [[Amerika Serikat]]. Tahun itu adalah tahun yang penting dalam perkembangan pengetahuan mengenai HIV/AIDS dengan ditemukannya teknologi untuk mendeteksi antibodi yakni tes Elisa (Enzym linked immunosorbent assay). Zubairi segera menemui perusahaan yang memproduksi reagensia untuk pemeriksaan Elisa tersebut, dan berhasil. Karenanya, pada akhir tahun yang sama dengan ditemukannya metode pemeriksaan tersebut, sub-bagian hematologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM juga sudah mampu untuk melakukan pemeriksaan HIV.
 
Pada 4 Desember 1989, Zubairi dan sahabatnya, Prof. [[Samsuridjal Djauzi]] dan istrinya, [[Sri Wahyuningsih]], mendirikan Yayasan Pelita Ilmu, sebuah organisasi nirlaba yang bertahan hingga saat ini dan memfokuskan pada pendampingan dan advokasi di bidang HIV dan AIDS. Organisasi ini berkembang besar, bahkan mungkin terbesar di antara lembaga serupa di Indonesia. Puluhan tenaga ahli dan relawan hadir untuk membantu ratusan, mungkin ratusan, orang dengan HIV AIDS (ODHA) dan keluarganya yang membutuhkan bantuan atau untuk sekadar diingatkan jadwal minum ARV, obat yang harus mereka konsumsi selama hidup.
 
Salah satu keberhasilan advokasi yang dilakukan oleh para pegiat HIV awal, termasuk YPI dan Kelompok Studi Khusus HIV di FKUI-RSCM, adalah mengupayakan obat antiretroviral gratis, hingga sekarang. Dengan semakin efektifnya obat antiretroviral (ARV), ancaman HIV menjadi semakin terkendali. HIV tak ubahnya penyakit kronis lain yang “hanya” memerlukan kepatuhan orang dengan HIV dan AIDS (odha) untuk minum obat secara teratur. Dengan kata lain, HIV tak lagi se-mematikan ketika kasusnya pertama kali ditengarai pada dekade 1980-an lalu.<ref>https://dokterimun.id/2015/07/21/inspirasi-saya-zubairi-djoerban/</ref>