Peristiwa Tiga Daerah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tautan unduh buku |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 27:
| followed_by =
}}
'''[[iarchive:peristiwa-tiga-daerah|Peristiwa Tiga Daerah]]''' adalah judul buku karya '''[[Anton Lucas|Anton E Lucas]]''', seorang [[indonesianis]] berkebangsaan [[Australia]]. Buku ini diterbitkan pada tahun [[1989]] dalam bahasa [[Indonesia]] dengan nomor ISBN 9794440674. ''[[iarchive:peristiwa-tiga-daerah|Peristiwa Tiga Daerah]]'' menceritakan sejarah revolusi [[Indonesia]] yang terjadi antara bulan [[Oktober]] sampai [[Desember]], [[1945]] di wilayah [[Kabupaten Brebes]], [[Kabupaten Tegal|Kabupaten/Kota Tegal]], dan [[Kabupaten Pemalang]]. Subjudul dari buku ini adalah ''[[iarchive:peristiwa-tiga-daerah|Revolusi dalam revolusi]]''.<ref>[http://www.irhash.com/2014/04/sejarah-itu-benar-benar-ilmu.html Irhas: Peristiwa Tiga Daerah], diakses 25 Februari 2015</ref>
== Latar belakang ==
[[iarchive:peristiwa-tiga-daerah|Peristiwa Tiga Daerah]] berlatar belakang sosio-ekonomis. Akar-akar sejarahnya sudah ditanamkan sejak lama oleh penguasa-penguasa kolonial. Pengalaman sejarah yang diwarnai dengan tekanan, penindasan, kesengsaraan dan kemelaratan telah membangkitkan rasa benci dan dendam terhadap sistem dan struktur yang telah menyebabkan kesengsaraan itu. Perasaan itu tidak hanya ditujukan terhadap pemerintahan jajahan, akan tetapi juga terhadap penguasa-penguasa tradisional, terutama penguasa-penguasa yang memperlihatkan tanda-tanda kerjasama dengan pemerintahan jajahan itu. Penindasan dan tekanan yang dijalankan oleh kedua elit kekuasaan ini telah menyebabkan terjadinya eksploitasi ganda terhadap rakyat (cf. Onghokham,1985;19), terutama dalam lapangan perekonomian. Keadaan yang demikianlah yang dianggap cukup untuk meledakkan sebuah pergolakan sosial. Peristiwa ini terjadi dalam sebuah keresidenan yaitu Pekalongan. Tiga daerah yang menjadi objek penelitian Lucas di keresidenan ini adalah [[Brebes]], [[Tegal]] dan [[Pemalang]] dalam kurun waktu yang sangat pendek, antara bulan [[Oktober]] sampai [[Desember]] 1945. Kondisi perekonomian rakyat di tiga daerah itu sangat buruk pada masa kolonial, terutama pada saat dijalankannya Tanam Paksa. Eksploitasi dalam lapangan ekonomi dijalankan tidak saja oleh pemerintahan jajahan akan tetapi juga oleh penguasa-penguasa tradisional dan pedagang-pedagang kaya, sehingga rakyat jelata, petani kecil serta pekerja dan buruh menjadi sangat menderita. Pengalaman ini kemudian berlanjut pula pada masa pendudukan [[Jepang]].
Rakyat menemui kenyataan ekonomi lebih buruk pada masa ini; adanya wajib setor padi, penjatahan bahan pangan, di samping banyak terdapat korupsi dan penindasan oleh pihak penguasa tradisional dari pemungutan setoran oleh masyarakat. Berita kekalahan [[Jepang]] telah diketahui oleh rakyat di tiga daerah, terutama oleh golongan bawah tanah yang pernah melakukan perlawanan aktif selama pendudukan [[Jepang]], seperti golongan komunis terselubung, Negen Broeder, KRI dan Barisan Pelopor yang berideologi [[Marxis]]. Setelah kemerdekaan di proklamirkan disambut dengan sangat antusias oleh rakyat. Namun tidak demikian halnya dengan kalangan elit birokratis. Berita ini bagi mereka pada umumnya disambut dengan sikap ragu-ragu. Sikap ini diiringi dengan kekhawatiran akan reaksi Jepang terhadap perjuangan rakyat. Bahkan di antara elit birokratis ini ada yang melarang untuk menaikkan bendera merah putih, karena menganggap bahwa meskipun Jepang sudah kalah, maka penguasa lama ([[Belanda]]) akan segera datang kembali. Sikap yang ditunjukkan oleh elit birokratis ini telah melebarkan jurang antara mereka dengan rakyat pejuang. Kenyataan inilah yang telah memancing munculnya gejolak sosial di tiga daerah. Dimulai dengan aksi protes yang dilakukan oleh rakyat terhadap seorang Lurah di wilayah Tegal selatan, kemudian meluas ke daerah-daerah lainnya seperti desa Pekalongan, rakyat menuntut penggantian penguasa. Aksi-aksi daulat serupa berlangsung mendobrak sistem birokrasi serta aksi kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan para pejabat desa dan pihak-pihak elit ekonomi lainnya yang dianggap menyengsarakan rakyat. Aksi ini tidak saja meluas akan tetapi juga lebih buas dan liar seperti yang terjadi di [[Pemalang]] dan [[Tegal]]. Lebih dari itu, peristiwa-peristiwa ini makin meluas menjadi makar politik, ditandai dengan berdirinya Front Rakyat (November [[1945]]) yang berideologi [[komunis]]. Kenyataan ini akhirnya mengharuskan pemerintahan pusat turun tangan, sehingga gerakan ini dapat dipadamkan.<ref>[http://www.amazon.com/Anton-E.-Lucas/e/B001JOFHS6 Amazon.com], diakses 25 Februari 2015</ref>
Baris 40:
== Kesimpulan ==
Revolusi sosial yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pasca kemerdekaan pada umumnya dapat diakarkan kepada penderitaan panjang yang dialami oleh rakyat semenjak masa kolonial yang berlanjut hingga masa kemerdekaan. Pada bahagian lain sikap dan prilaku ekonomis dari elit birokrasi dan tuan-tuan tanah tidak kurang pula telah ikut mematangkan situasi bagi munculnya sebuah revolusi. [[iarchive:peristiwa-tiga-daerah|Peristiwa Tiga Daerah]] yang terjadi di Keresidenan Pekalongan selama bulan Oktober sampai Desember 1945, benar-benar luar biasa, bila dilihat dari bentuk dan karakteristik aksi yang dilakukan. Apa yang disebut dengan “kegaduhan sibernetik” (cybernetic noise)[1] juga terlihat dari aksi rakyat di tiga daerah ini. Dibanding dengan revolusi-revolusi sosial yang terjadi di Indonesia dalam waktu yang bersamaan, maka peristiwa tiga daerah ini terdapat perbedaan mendasar. Revolusi sosial yang terjadi di tiga daerah ini lebih bernuansa kiri (didalangi [[komunisme]]). Hal ini dapat dilihat dari pola kepemimpinan serta ideologi yang dianut serta peranan penting yang dimainkan oleh Front Rakyat (komunis) dalam memobilisasi rakyat dalam revolusi sosial ini.<ref>[http://deviciptyasari.blogspot.com/2014/03/peristiwa-tiga-daerah.html Devi Ciptyasari: Tentang peristwia tiga daerah], diakses 25 Februari 2015</ref>
== Lihat pula ==
|