Emha Ainun Nadjib: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bot5958 (bicara | kontrib)
k Perbarui referensi situs berita Indonesia
k clean up
Baris 1:
 
{{Infobox person
| name = Emha Ainun Nadjib
Baris 19 ⟶ 18:
}}
 
'''Muhammad Ainun Nadjib''' atau biasa dikenal '''Emha Ainun Nadjib''' atau '''Cak Nun''' atau '''Mbah Nun'''<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/riwayat-panggilan-mbah-nun/|title=Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref> (lahir di [[Kabupaten Jombang|Jombang]], [[Jawa Timur]], [[27 Mei]] [[1953]]; umur 68 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim [[Indonesia]]. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: [[puisi]], [[esai]], [[Cerita pendek|cerpen]], [[film]], [[drama]], [[lagu]], [[musik]], [[Gelar wicara|''talkshow'' televisi]], [[Penyiaran|siaran]] [[radio]], [[seminar]], [[ceramah]], dan tayangan [[video]]. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.<ref name=":25">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/terus-berkarya/|title=Terus Berkarya|last=|first=|date=8 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref>
 
Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/kata-mereka-tentang-cak-nun-kiaikanjeng-dan-maiyah/|title=Kata Mereka Tentang Cak Nun, KiaiKanjeng, dan Maiyah|last=|first=|date=18 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref> Selain [[penulis]], ia juga dikenal sebagai [[seniman]], [[budayawan]], [[penyair]], [[cendekiawan]], [[ilmuwan]], [[sastrawan]], aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan [[kyai]]. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Rahardjo|first=Toto|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=xviii|chapter=Teman Siapa Saja|quote=Seorang host suatu talk show di sebuah stasiun televisi swasta, Jaya Suprana, bertanya kepada orang ini, "Orang selalu mengatakan bahwa Anda adalah manusia multi-dimensional. Sekurang-kurangnya kegiatan Anda di masyarakat memang sangat beragam. Apa pendapat Anda sendiri?"|url-status=live}}</ref>
Baris 30 ⟶ 29:
Paman Cak Nun, adik ayahnya, yaitu almarhum K.H. Hasyim Latief,<ref>{{Cite web|url=https://www.indonesiana.id/read/92581/kh-hasyim-latief-sang-komandan-tempur-hizbullah|title=KH Hasyim Latief, Sang Komandan Tempur Hizbullah|last=Masjkur|first=Ahmad Udi|date=27 April 2019|website=Indonesiana.id|access-date=4 Desember 2019}}</ref> seorang pendiri Pertanu (Persatuan Tani dan Nelayan NU), ketua PWNU Jawa Timur, wakil Ketua [[Nahdlatul 'Ulama|PBNU]], wakil Rais Syuriah PBNU, dan Mustasyar PBNU<ref>{{Cite web|url=https://www.nu.or.id/post/read/2969/tokoh-nu-kh-hasjim-latief-meninggal-dunia|title=Tokoh NU KH Hasjim Latief Meninggal Dunia|last=|first=|date=20 April 2005|website=NU Online|access-date=4 Desember 2019}}</ref> yang mendirikan Yayasan Pendidikan Maarif (YPM) di [[Sepanjang, Taman, Sidoarjo|Sepanjang]], [[Kabupaten Sidoarjo|Sidoarjo]].<ref name=":1">{{Cite web|url=https://fahmialinh.wordpress.com/2015/04/25/kh-hasyim-latief-sepanjang/|title=KH Hasyim Latief Sepanjang|last=Ali|first=Fahmi|date=25 April 2015|website=Catatan Fahmi Ali|access-date=4 Desember 2019}}</ref> Dari garis ayah, Cak Nun bersaudara dengan aktivis masyarakat miskin kota [[Wardah Hafidz]] dan [[Ali Fikri]] yang masih sepupu ayah Cak Nun.<ref name=":1" /> Dari garis ayahnya ini, kakek buyut Cak Nun, yaitu '''Imam Zahid''',<ref name=":37">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/kunci-kebahagiaan/|title=Kunci Kebahagiaan|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=28 Mei 2018|website=CakNun.com|access-date=19 Desember 2019}}</ref> adalah murid [[Kholil al-Bangkalani|Syaikhona Kholil Bangkalan]] bersama dengan K.H. [[Hasjim Asy'ari|Hasyim Asyari]], K.H. [[Ahmad Dahlan]], dan K.H. Romly Tamim.<ref>{{Cite news|url=https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/08/04/nsj25y334-kisah-kedekatan-kh-hasyim-asyari-dan-kh-ahmad-dahlan-part|title=Kisah Kedekatan KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan|last=Putra|first=Erik Purnama|date=4 Agustus 2015|work=Republika|access-date=4 Desember 2019}}</ref>
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Keluarga.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib (berdiri paling kanan mengenakan kopiah) di masa kecil bersama keluarganya.]] Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil ia sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=Nugraha|first=Latief S|publisher=Octopus|year=2018|isbn=978-602-727-437-2|location=Yogyakarta|pages=94|url-status=live}}</ref> Suatu ketika ada guru terlambat mengajar, dan Cak Nun memprotesnya. Karena sebelumnya Cak Nun pernah terlambat masuk sekolah dan dihukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai. Hukuman itu ia jalani sebagai konsekuensi kesalahannya dan itu merupakan aturan sekolah. Maka tatkala ada guru terlambat, menurut Cak Nun aturan yang sama harus diberlakukan. Dan ujungnya, ia keluar dari SD yang dianggapnya menerapkan aturan yang tidak adil itu.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=xxii|url-status=live}}</ref>
 
Kemudian oleh ayahnya, ia dikirim ke [[Pondok Modern Darussalam Gontor]]. Pada masa tahun ketiganya di [[Gontor, Mlarak, Ponorogo|Gontor]], Cak Nun sempat menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil. Ia pun memimpin “demonstrasi” bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung pada dikeluarkannya Cak Nun dari Pondok.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=vZNkAAAAMAAJ&q=inauthor:%22Jabrohim%22&dq=inauthor:%22Jabrohim%22&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi1-eWfubTmAhUEGs0KHdQbBGUQ6AEIPDAD|title=Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra|last=Jabrohim|first=|publisher=Pustaka Pelajar|year=2003|isbn=|location=Yogyakarta|pages=1|url-status=live}}</ref> Meskipun hanya 2,5 tahun di sana, Gontor memberikan kesan mendalam baginya. Budaya santri mengakar kuat dalam dirinya sehingga ia memiliki disiplin pesantren.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=8|url-status=live}}</ref> Kemudian ia pindah ke [[Yogyakarta]] melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah 4 dan selanjutnya tamat [[SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta|SMA Muhammadiyah 1]]<ref name=":2">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=53|url-status=live}}</ref> bersama dengan teman karibnya, [[M. Busyro Muqoddas|Busyro Muqoddas]]. Usai SMA, Cak Nun diterima di Fakultas Ekonomi [[Universitas Gadjah Mada|UGM]]. Di “[[Kampus Biru|kampus biru]]” ini, ia bertahan hanya satu semester, atau tepatnya empat bulan saja.<ref name=":2" /> Sebenarnya ia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM namun tidak mendaftar ulang.
Baris 46 ⟶ 45:
 
=== Wartawan ===
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dengan mesik ketiknya.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib produktif berkarya dengan menggunakan mesin ketik.]] Masih dalam masa berproses bersama PSK di bidang sastra, Cak Nun juga aktif dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan, tahun 1973 sampai 1976. Sebagai wartawan serta redaktur beberapa rubrik di ''Harian Masa Kini'' Yogyakarta, seperti: Seni-Budaya, Kriminalitas, dan Universitaria, pun redaktur tamu di ''Harian [[Bernas]]'' selama tiga bulan.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=vZNkAAAAMAAJ&q=inauthor:%22Jabrohim%22&dq=inauthor:%22Jabrohim%22&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi1-eWfubTmAhUEGs0KHdQbBGUQ6AEIPDAD|title=Tahajjud cinta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=28|url-status=live}}</ref> Pada usia 24-25, tahun 1977-1978, kualitas esai-esai Cak Nun sudah diakui publik dan diterima harian [[Kompas (surat kabar)|''Kompas'']]. Pada 1981 saat usia Cak Nun 28 tahun, majalah [[Tempo (majalah)|''Tempo'']] telah menerima tulisan kolom-kolomnya dan ia menjadi kolumnis termuda majalah itu.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=56|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=14|url-status=live}}</ref>
 
Lima tahun (1970-1975) Cak Nun menggeluti dunia kewartawanan. Berbeda dengan wartawan modern dalam mendefinisikan peran dan tugasnya sebagai penyiar berita, Cak Nun memiliki prinsip kewartawanan yang niscaya berhubungan dengan transendensi. Cak Nun menjelaskannya sebagai berikut:<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/45043824-yogya-bercerita|title=Yogya Bercerita: Catatan 40 Wartawan Ala Jurnalisme Malioboro|last=Wardhana|first=Sutirman Eka|publisher=Tonggak Pustaka|year=2017|isbn=978-602-745-877-2|location=Yogyakarta|pages=77|url-status=live}}</ref> <blockquote>''“Sekurang-kurangnya para wartawan adalah jari-jemari '''Al-Khabir''', yang maha mengabarkan. Para wartawan menyayangi dinamika komunikasi masyarakat, '''Ar-Rahman'''. Mereka memperdalam cinta kemasyarakatannya itu, '''Ar-Rahim'''. Mereka memelihara kejujuran, kesucian, dan objektivitas setiap huruf yang diketiknya, '''Al-Quddus'''. Mereka berkeliling ronda menyelamatkan transparansi silaturahmi, '''As-Salam'''. Mereka mengamankan informasi, '''Al-Mu`min'''. Mereka mengemban tugas untuk turut menjaga berlangsungnya keseimbangan nilai kebenaran, kebaikan dan keindalan, dalam kehidupan masyarakat: '''Al-Muhaimin'''. Mereka menggambar indahnya kehidupan dengan penanya, '''Al-Mushawwir'''. Serta berpuluh-puluh lagi peran Tuhan yang didelegasikan kepada kaum jurnalis atau para wartawan”''.</blockquote>
Baris 58 ⟶ 57:
 
=== Teater ===
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dalam Lokakarya Teater Rakyat.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib dalam Lokakarya Teater Rakyat tahun 1988.]] Di Teater Dinasti, Cak Nun berkolaborasi dengan Gajah Abiyoso, Fajar Suharno, Simon Hate, Joko Kamto, dan Agus Istiyanto, yang sangat produktif melahirkan ide-ide dan pemikirannya dalam puisi-puisi dan naskah-naskah drama, seperti ''Keajaiban Lik Par'' (1980), ''Mas Dukun'' (1982), ''Geger Wong Ngoyak Macan'' (1989), dan ''Patung Kekasih'' (1989).<ref name=":6" /> Kemenyatuan Cak Nun dan Teater Dinasti, selain pembacaan puisi, melalui pertunjukan drama teater menyuguhkan keunikan tersendiri di awal tahun 1980-an yang membuatnya semakin dikenal masyarakat sehingga banyak permintaan pementasan.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=60|url-status=live}}</ref>
 
Cak Nun juga diikutsertakan dalam lokakarya teater tahun 1980 pada [[Philippine_Educational_Theater_AssociationPhilippine Educational Theater Association|Phillippine Educational Theatre Association]] (PETA), sebuah OAO—konsep teater yang mengusung nilai-nilai organisatoris, artistikal, dan orientatif—di [[Manila]], [[Filipina]].<ref name=":8">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=61|url-status=live}}</ref> Cak Nun, antara lain bersama Fred Wibowo dan [[Ariel Heryanto]] adalah peserta dari Indonesia angkatan pertama.<ref name=":8" /> Persinggungan Cak Nun dan kawan-kawan Teater Dinasti dengan metode teater pembebasan PETA di Filipina ini tampaknya memicu mereka memberikan berbagai kegiatan pendidikan politik kepada rakyat melalui teater sebagai wahana ekspresi spirit pembebasan. Teater Dinasti pada era itu merupakan pelopor yang konsen dalam menggarap konsep teater pendidikan.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=62|url-status=live}}</ref>
 
=== Iowa, Rotterdam, Berlin ===
Baris 80 ⟶ 79:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Baharuddin Lopa.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib bersama Baharuddin Lopa dalam sebuah acara di Polewali Mandar.]] Tanggal 23-26 April 1989, Cak Nun datang kembali ke Tinambung bersama Nevi Budianto untuk kembali mengadakan workshop teater. Kegiatan ini juga diikuti pemuda-pemuda sekitar Tinambung: [[Polewali Mandar|Polewali]], Wonorejo, dan [[Campalagian, Polewali Mandar|Campalagian]].<ref name=":11" /> Cak Nun pun sering ke Mandar pada tahun-tahun berikutnya hingga terjalin hubungan persaudaran yang sangat kuat antara mereka.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/contoh-hubungan-erat-antar-dua-etnis/|title=Contoh Hubungan Erat Antar Dua Etnis|last=Mustofa|first=Helmi|date=24 Maret 2018|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> Cak Nun didaulat sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang oleh tokoh-tokoh masyarakat Mandar yang berhimpun di Yayasan Sipamandar.<ref name=":10" /> Cak Nun juga menjadi dekat dengan tokoh Mandar, yaitu [[Baharuddin Lopa]]<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/korek-jress-di-bandara/|title=Korek Jress di Bandara|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> dan Bunda Cammana.
 
Tahun 2011, bertempat di Gedung [[Cak Durasim]] [[Kota Surabaya|Surabaya]], Cak Nun bersama Masyarakat Maiyah memberikan '''Ijazah Maiyah''' dan '''Syahadah Maiyah''' kepada mereka yang meneguhkan 5 prinsip nilai-nilai kehidupan: '''Kebenaran, Kesungguhan, Otentisitas, Kesetiaan, Keikhlasan'''. Dua di antara 12 orang penerimanya adalah orang Mandar: Alisjahbana dan Bunda Cammana.
 
Kedekatannya dengan masyarakat Mandar, membuat Cak Nun diminta memediasi pertemuan pejuang pembentukan Sulawesi Barat dengan Gus Dur yang ketika itu menjadi Presiden. Dengan terlibatnya Cak Nun, masyarakat Mandar yakin perjuangan pembentukan Sulawesi Barat yang sudah lama diupayakan akan membuahkan hasil. Akhirnya September 2004, Provinsi Sulawesi Barat bisa terwujud.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2016/rihlah-cammanallah-perjalanan-ke-bunda-cammana/|title=Rihlah Cammanallah: Perjalanan ke Bunda Cammana|last=Rahardjo|first=Toto|date=29 April 2016|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref>
Baris 89 ⟶ 88:
Pada masa [[Orde Baru]] ketika itu, pemakaian jilbab di kalangan muslimah Indonesia, terutama di sekolah dan tempat kerja dilarang oleh pemerintah. Karena pemakaian jilbab dianggap sebagai fenomena politik Islam.<ref>{{Cite web|url=https://historia.id/kultur/articles/jilbab-terlarang-di-era-orde-baru-6k4Xn|title=Jilbab Terlarang di Era Orde Baru|last=Jo|first=Hendi|date=|website=Historia|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Atas bentuk represi Orde Baru itu, Cak Nun yang sejak kecil menentang ketidakadilan, memandang tindakan pemerintah ini melanggar hak asasi perempuan untuk berjilbab. Puisi ''Lautan Jilbab'' ini merupakan resistensi Cak Nun terhadap pembatasan hak asasi manusia oleh Orde Baru.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=109|url-status=live}}</ref>
 
[[Berkas:Lautan Jilbab Naskah Emha Ainun Nadjib.jpg|jmpl|Pementasan drama Lautan Jilbab, naskah Emha Ainun Nadjib, disutradarai Agung Waskito dengan supervisi Dr. Kuntowijoyo.]] Drama ''Lautan Jilbab'' pertama kali dipentaskan kelompok Sanggar Shalahuddin UGM, disutradarai oleh Agung Waskito dengan ''supervisor'' [[Kuntowijoyo|Dr. Kuntowijoyo]].<ref>{{Cite news|url=|title=Sebuah Potret Nasib Wanita Berjilbab|last=Kertarahardja|first=Kuswandi|date=4 Oktober 1988|work=Berita Buana|access-date=}}</ref> Pementasan ini dianggap memecahkan rekor jumlah penonton. Tidak kurang dari 3000 penonton pada malam pertama, dan sekitar 2000 penonton saat malam kedua.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/23715913-kitab-ketenteraman|title=Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=147|url-status=live}}</ref> Karena antusias yang tinggi itu, drama ini dipentaskan di banyak kota selain Yogyakarta, yaitu di Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, dan Makassar.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=107|url-status=live}}</ref>
 
Puisi dan pementasan teater ''Lautan Jilbab'' tak ubahnya sebuah ajakan perlawanan. Sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.<ref name=":13">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/lautan-jilbab/|title=Lautan Jilbab|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Cak Nun mengungkapkan alasan perlawanannya:<ref name=":13" /> <blockquote>“''Pakai jilbab atau tak berjilbab adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silahkan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih.''” </blockquote>Menurut [[Niels Mulder|Niels Murder]], seorang sosiolog Belanda yang perhatian kepada perkembangan sosiokultural Indonesia, sejak pentas ''Lautan Jilbab'' oleh Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin digelar, busana muslimah berjilbab menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.<ref>{{Cite book|title=Ruang Batin Masyarakat Indonesia|last=Mulder|first=Niels|publisher=LKiS|year=2001|isbn=978-979-896-634-7|location=Yogyakarta|pages=27|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/13097709-di-jawa?rating=2&utm_medium=api&utm_source=blog_book|title=Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog|last=Mulder|first=Niels|publisher=Kanisius|year=2007|isbn=978-979-211-467-6|location=Yogyakarta|pages=268|url-status=live}}</ref>
 
=== ICMI ===
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie.jpg|jmpl|kiri|Pertemuan Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie tahun 1991.]] Cak Nun tidak menamatkan kuliah, tetapi ia dipandang sebagai salah satu intelektual terkemuka di Indonesia. Dekan [[Fakultas Psikologi Universitas Indonesia|Fakultas Psikologi UI]] tahun 1991, Dr. Yaumil Agus Akhir, mengatakan bahwa Cak Nun layak diberi gelar Doktor ''Honouris Causa'', atau bahkan profesor karena pikiran dan wawasannya yang luas dan didukung analisis yang tajam.<ref>{{Cite news|url=|title=Emha Layak Dapat Gelar Doktor HC|last=|first=|date=12 Mei 1991|work=Kedaulatan Rakyat|access-date=}}</ref> Pada usianya yang belum genap 40 tahun, Cak Nun dimasukkan ke dalam jajaran kepengurusan [[Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia|ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)]] yang dibentuk pada Desember 1990, dipimpin oleh [[B. J. Habibie|B.J. Habibie]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=67|url-status=live}}</ref> Terkait hal ini, Cak Nun sejak awal mempertanyakan keterlibatannya di ICMI dengan bersurat langsung ke B.J. Habibie karena namanya dimasukkan dalam jajaran pengurus ICMI tanpa konfirmasi dan persetujuan resmi darinya.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=69|url-status=live}}</ref>
 
Cak Nun kemudian menerima dijadikan Ketua Bidang Dialog Kebudayaan, lantaran B.J. Habibie menjanjikan ICMI mampu menyelesaikan persoalan [[Waduk Kedungombo]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=70|url-status=live}}</ref> Namun, ICMI tidak berhasil membantu masyarakat Kabupaten [[Kabupaten Sragen|Sragen]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]], dan [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]], yang tertindas karena tidak mendapatkan ganti rugi tanah yang digunakan Orde Baru untuk pembangunan waduk.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Betts|first=Ian Leonard|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=28|url-status=live}}</ref> Karena itu, Cak Nun memutuskan keluar dari ICMI.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/wah-mbah-nun-mundur-dari-icmi/|title=Wah, Mbah Nun Mundur Dari ICMI|last=Mustofa|first=Helmi|date=12 Maret 2018|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Bulan Februari 1991, secara resmi Cak Nun mengirimkan surat pengundurannya langsung kepada B.J. Habibie.<ref>{{Cite news|url=|title=Setelah Pengurus Diumumkan|last=|first=|date=23 Februari 1991|work=Majalah TEMPO|access-date=}}</ref> Praktis hanya dua bulan ia menjadi pengurus ICMI.
 
=== Pak Kanjeng ===
''Pak Kanjeng'' merupakan naskah Cak Nun, yang dipentaskan untuk mengkritik dan merespons kesemena-menaan penguasa rezim Orde Baru ketika membangun Waduk Kedungombo.<ref name=":14">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/pak-kanjeng/|title=Pak Kanjeng|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Setelah sebelumnya sangat sulit sekali mendapat izin pentas, tanggal 16 dan 17 November 1993 di Purna Budaya Yogyakarta (sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM]), lakon ''Pak Kanjeng'' dipentaskan. Lakon ini memotret perlawanan seorang warga, yaitu Pak Jenggot, dalam menolak pembangunan Waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah. Pementasan ini ditampilkan dengan bahasa yang sangat deras, keras, tajam, pintar, dan sarkastis.<ref>{{Cite news|url=|title=Lakon Politik Pak Kanjeng|last=|first=|date=27 November 1993|work=Majalah TEMPO|access-date=}}</ref>
 
[[Berkas:Pak Kanjeng Naskah Emha Ainun Nadjib.jpg|jmpl|Pementasan lakon Pak Kanjeng, naskah Emha Ainun Nadjib tahun 1993.]] ''Pak Kanjeng'' diperankan oleh tiga aktor yaitu Joko Kamto, Nevi Budianto, dan [[Butet Kertaradjasa]]. Ketiganya, masing-masing menggambarkan sebuah pribadi yang terpecah menjadi tiga: yang keras melawan, yang lunak toleran, dan yang ragu-ragu. Itu merupakan tiga faset kejiwaan ''Pak Kanjeng'' dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru.<ref name=":14" /> Pementasan ini digarap oleh '''Komunitas Pak Kanjeng''' (yang memang diambil dari judul naskah ini) dengan forum penyutradaraan oleh sembilan sutradara.<ref name=":14" /> Selain ketiga pemainnya, dalam forum sutradara ini turut terlibat pula [[Agus Noor]], Indra Tranggono, [[Djaduk Ferianto|Djadug Ferianto]], dan Cak Nun sendiri.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=118|url-status=live}}</ref> Gagasan berani dan keras dalam pementasan lakon yang mengkritik Orde Baru ini menyebabkan pertunjukannya dilarang di berbagai kota.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=76|url-status=live}}</ref>
 
Bagi Cak Nun sendiri, ''Pak Kanjeng'' bukan terutama sebuah pertunjukan. Melainkan sebuah laboratorium budaya, '''Laboratorium Pak Kanjeng''' yang kemudian dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK). Komunitas ini pada akhirnya mengalami perubahan format, bermetamorfosa menjadi '''Gamelan KiaiKanjeng''' yang diinisiasi oleh [[Toto Rahardjo]]. Personel awal adalah Nevi Budianto, Joko Kamto, Bayu Kuncoro, Narto Piul. Selanjutnya beberapa personel baru pun direkrut ketika itu seperti Bobiet, Joko SP, Azied Dewa, Yoyok Prasetyo, Imoeng, Ismarwanto, Ardhani, dan Giyanto. Kemudian KiaiKanjeng pada tahun-tahun selanjutnya selalu bersama Cak Nun dalam melayani masyarakat.<ref name=":15">{{Cite web|url=http://kenduricinta.com/v5/penabuh-gong/|title=Penabuh Gong|last=Majid|first=Munzir|date=10 Oktober 2016|website=KenduriCinta.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref>
Baris 110 ⟶ 109:
Masih pada tahun 1996, stasiun televisi [[Indosiar]] setiap hari menyiarkan program acara ''Cermin'', yang digagas Cak Nun dan Uki Bayu Sejati.<ref name=":16">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=78|url-status=live}}</ref> Dengan pembawaannya, Cak Nun mengajak para penonton untuk tenang dan rileks ketika menikmati tontonan berdurasi sangat singkat, sekitar satu atau dua menit.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/masih-di-depan-cermin/|title=Masih di Depan 'Cermin'|last=Kurniawan|first=Didik W|date=10 April 2017|website=CakNun.com|access-date=6 Desember 2019}}</ref> Cak Nun muncul di antara tayangan iklan atau acara-acara lainnya, sebanyak 70 episode. Pesan yang disampaikannya cukup variatif. Tak lepas dari sentuhan moral agama dan masalah sosial.<ref>{{Cite news|url=|title=Emha Ainun Nadjib Tampil di Indosiar|last=|first=Akhmadi|date=20 Januari 1996|work=Majalah GATRA|access-date=}}</ref> Program ini dimaksudkan Cak Nun untuk menyajikan kepada pemirsa, sebuah tayangan yang lebih kontemplatif dan berprioritas moral, di tengah kondisi siaran televisi yang dipenuhi hiburan-hiburan ringan dan hanya mimpi-mimpi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=36|url-status=live}}</ref> Selain ''Cermin'', di Indosiar Cak Nun juga pernah memproduksi dan menayangkan sebuah ''talk show'' yang bernuansa santai tapi berisi tema-tema serius dan kritis. Acara yang tayang setiap Kamis malam ini bernama ''Gardu''.<ref name=":16" />
 
Cak Nun dilibatkan dalam sebuah perhelatan besar di masa Orde Baru yang mendapat porsi tayangan media sangat penting. Yaitu siaran malam takbiran tahun 1997. Bertempat di kawasan [[Monumen Nasional|Monumen Nasional (Monas)]], acara yang bertajuk ''Gema Zikir dan Takbir'' digelar.<ref name=":17">{{Cite news|url=|title=Silatnas Politik Cak Nun|last=|first=|date=1 Maret 1997|work=Majalah SINAR|access-date=}}</ref> Penting karena Presiden Soeharto memimpin langsung takbiran itu. Sebuah momen langka Soeharto takbiran nasional. Bersama Soeharto dalam takbiran itu adalah Wakil Presiden [[Try Sutrisno]], [[Rhoma Irama]], [[Zainuddin M.Z.|K.H. Zainuddin MZ]], Cak Nun, [[Muhammad Quraish Shihab|Prof. Dr. Quraisy Shihab]], [[Hasan Basri (ulama)|K.H. Hasan Basri]], [[Muammar Z.A.]], dan [[Ilyas Ruhiat|K.H. Ilyas Ruchiyat]].<ref name=":18">{{Cite news|url=https://republika.co.id/berita/kolom/fokus/paekuu318/soeharto-tabir-dan-takbir-1997|title=Soeharto, Tabir dan Takbir 1997|last=Ginting|first=Selamat|date=16 Juni 2018|work=Republika|access-date=6 Desember 2019}}</ref>
 
Takbiran yang memang bernuansa politis, namun juga kental dengan unsur budaya. Hadirnya 'raja dangdut' Rhoma Irama dan Cak Nun menjadi magnet tersendiri. Takbir dan zikir penuh warna kesenian nuansa Islami yang tidak monoton.<ref name=":18" /> Sebuah penggalan zikir pencerahan di masa menjelang krisis moneter itu disampaikan Cak Nun:<ref name=":17" /> <blockquote>“''Wahai Engkau pembuka segala pintu. Mohon. Jangan lagi bukakan pintu kelaliman di hati kami. Jangan bukakan lagi pintu kekerasan dan kebrutalan. Jangan bukakan pintu benci dan dengki di dalam jiwa kami. Mohon. Mohon. Jangan bukakan api dari lubuk nafsu kami. Ya Allah. Jangan bukakan pintu kerusuhan-kerusuhan lagi.''”</blockquote>Selain televisi, Cak Nun berkomunikasi kepada masyarakat lewat frekuesi radio. Rekaman suara pemikirannya pernah disiarkan Radio Delta FM dalam tajuk ''Catatan Kehidupan''.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=80|url-status=live}}</ref> Bulan Ramadlan tahun 2018 dan 2019, Cak Nun juga menyampaikan pesan-pesannya dalam program Radio [[Suara Surabaya]] bertajuk ''Tasbih''.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/ramadlan-di-suara-surabaya/|title=Ramadlan di Suara Surabaya|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=6 Desember 2019}}</ref>
Baris 124 ⟶ 123:
Setelah pertemuan di Hotel Regent tanggal 16 Mei, malamnya, Cak Nur, Cak Nun, bersama Oetomo Dananjaya, [[Abdul Malik Fadjar|Malik Fadjar]], dan S. Drajat merumuskan empat prosedur lengsernya Soeharto dengan meminimalisir korban dan memaksimalkan efektivitas kenegaraan.<ref name=":21">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/reformasi-nkri-7/|title=Reformasi NKRI, 7|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=14 Mei 2018|website=CakNun.com|access-date=6 Desember 2019}}</ref> Empat prosedur ini termaktub dalam surat '''''Husnul Khatimah''''' yang rencananya akan diserahkan kepada Soeharto.<ref name=":30">{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=FBBpDAAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=32|url-status=live}}</ref> Para perumus surat itu sebenarnya berasal dari sebuah kelompok diskusi rutin yaitu Majelis Reboan yang salah satunya diselenggarakan di Jl. Indramayu 14 Menteng.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=jirEoRUZpMoC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Sidang Terakhir Kabinet Orde Baru: 12 Jam Sebelum Presiden Soeharto Mundur|last=Makka|first=A. Makmur|publisher=Republika|year=2008|isbn=978-979-110-240-7|location=Jakarta|pages=47|url-status=live}}</ref>
 
Keesokan harinya, 17 Mei, surat yang lengkapnya berjudul ''Semuanya Harus Berakhir Dengan Baik (Husnul Khatimah)'' itu dikabarkan kepada para wartawan di Hotel Wisata oleh Cak Nur, Cak Nun, dan kawan-kawan.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=9kP8DQAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Krisis Masa Kini dan Orde Baru|last=Hisyam|first=Muhammad|publisher=Pustaka Obor|year=2003|isbn=978-602-433-161-0|location=Jakarta|pages=79|chapter=Hari-Hari Terakhir Orde Baru|url-status=live}}</ref> Konferensi pers itu menjadi pembicaraan di banyak media esoknya, 18 Mei.<ref name=":20" /> Pada 18 Mei itu juga, surat tersebut disampaikan ke Soeharto melalui [[Mensesneg]] ketika itu, [[Saadillah Mursjid|Saadilah Mursyid]].<ref name=":22">{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=L_d5QeWgyi4C&pg=PA54&lpg=PA54&dq=demokrasi+la+roiba+fih&source=bl&ots=1fylHMUpvx&sig=ACfU3U0kGjn02AnHHzkFVGtsAJseKrSwzg&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjZ7Nyv4rXmAhWHUs0KHaHXCB0Q6AEwCHoECAoQAQ#v=onepage&q&f=false|title=Demokrasi La Roiba Fih|last=Nadjib|first=Emha Ainun|publisher=Kompas|year=2009|isbn=978-979-709-427-0|location=Jakarta|pages=115|url-status=live}}</ref> Sore harinya, tak diduga, [[Harmoko]] sebagai Ketua [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia|DPR]]/[[Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia|MPR]] yang dikenal setia kepada Soeharto, membacakan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri dengan arif dan bijaksana. Malam harinya, ternyata Soeharto menyambut baik usulan untuk ''Husnul Khatimah''. Melalui Saadilah Mursyid, Presiden Soeharto menghubungi Cak Nur dan menyatakan bersedia mundur kapan saja. Kabar itupun diteruskannya kepada Cak Nun.<ref name=":20" /><ref name=":21" /><ref name=":22" /><ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=BRcEbmAgTjwC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|title=The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi|last=Tandjung|first=Akbar|publisher=Gramedia|year=2007|isbn=979-223-363-6|location=Jakarta|pages=69|url-status=live}}</ref><ref name=":22" /><ref name=":21" /><ref name=":20" />
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Tim Sembilan.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib dan tokoh-tokoh nasional lain menyimak konferensi pers Soeharto setelah pertemuan 19 Mei 1998.]] Setelah usulan dalam surat ''Husnul Khatimah'' diterima dan menyatakan akan mundur, Soeharto ingin merundingkan cara lengser terbaik, tercepat, tetapi berisiko minimal bagi bangsa Indonesia. Ia ingin membahasnya bersama perumus surat itu dan tokoh-tokoh muslim segera. Soeharto secara khusus meminta agar [[Abdurrahman Wahid|Gus Dur]] diikutsertakan. Cak Nur mengusulkan agar [[Amien Rais]] juga diundang, tapi ditolak Soeharto.<ref name=":19" /> Tanggal 19 Mei pagi, pukul 09.00, sembilan tokoh masyarakat diterima [[Soeharto]] di [[Istana Merdeka]]. Yaitu [[Nurcholish Madjid|Cak Nur]], Cak Nun, [[Abdurrahman Wahid|Gus Dur]], Ahmad Bagja, KH. Cholil Baidowi, [[Ali Yafie|K.H. Ali Yafie]], [[Ma'ruf Amin|K.H. Ma’ruf Amin]], [[Abdul Malik Fadjar|Malik Fadjar]], dan Sumargono. Selain mereka bersembilan, Cak Nur juga mengajak [[Yusril Ihza Mahendra]]. Yusril ketika itu bekerja sebagai penyusun naskah pidato kepresidenan yang sebenarnya tidak masuk dalam undangan, tapi Cak Nur memaksa karena Yusril paham hukum ketatanegaraan.<ref name=":20" />
Baris 134 ⟶ 133:
Merespons pertemuan itu, Amien Rais mengadakan konferensi pers di kantor [[Muhammadiyah|PP Muhammadiyah]]. Ia mengatakan bahwa dengan tak memberi gambaran program dan tempo yang jelas, Soeharto sama sekali tak memberi titik cerah kepada masyarakat. Itu juga menandakan dengan gamblang Soeharto gagal membaca aspirasi rakyatnya.<ref name=":19" />
 
Pada hari yang sama dengan pertemuan di Istana Merdeka itu, 14 menteri [[Kabinet Pembangunan VII]] menandatangani surat pengunduran diri dari kabinet, di [[Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional|Gedung Bappenas]] dan menolak dimasukkan ke dalam Kabinet Reformasi atau Komite Reformasi yang akan dibentuk. Mereka adalah [[Akbar Tanjung]], [[A.M. Hendropriyono]], [[Ginandjar Kartasasmita]], [[Giri Suseno Hadihardjono]], [[Haryanto Dhanutirto]], [[Justika Baharsjah|Justika S. Baharsjah]], [[Kuntoro Mangkusubroto]], [[Rachmadi Bambang Sumadhijo]], [[Rahardi Ramelan]], [[Sanyoto Sastrowardoyo]], [[Subiakto Tjakrawerdaya]], [[Sumahadi]], [[Tanri Abeng]], dan [[Theo L. Sambuaga]].<ref name=":23">{{Cite news|url=https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180520212528-20-299827/hari-ini-20-tahun-silam-saat-soeharto-bertekuk-lutut|title=Hari Ini 20 Tahun Silam: Saat Soeharto Bertekuk Lutut|date=21 Mei 2015|work=[[CNN Indonesia]]|access-date=8 Desember 2019}}</ref>
 
Keesokannya, 20 Mei, Soeharto menganggap pengunduran para menterinya yang ramai-ramai mundur, hanya rumor. Sampai Yusril yang berada di kediaman Soeharto di jalan Cendana, [[Menteng, Jakarta Pusat|Menteng]], [[Kota Administrasi Jakarta Pusat|Jakarta Pusat]], mendapat kabar kepastian mundur itu langsung dari Akbar Tanjung, yang menunjukkan kopian surat pengunduran. Surat disampaikan ke Saadilah Mursyid, dan akhirnya Soeharto pun mendapat kepastian kabar itu. Merasa kehilangan dukungan politik, tidak didukung tokoh-tokoh yang menemuinya, dan masyarakat sudah ngamuk, “resepsi” lengser itu pun akhirnya terjadi. Pagi hari pukul 09.00, tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia di Istana Negara, dan kemudian Wakil Presiden [[B. J. Habibie|B.J. Habibie]] dilantik menjadi Presiden.<ref name=":20" />
 
=== ''Husnul Khatimah'' ===
Surat atau konsep ''Husnul Khatimah'' merupakan gagasan luhur yang lahir dari pemahaman atas Islam. Cak Nun mengungkapkan, jika ada seorang maling berhenti dari kemalingannya tidak harus melalui peristiwa dikepung lalu dipukuli beramai-ramai dulu. Tuhan masih memberi peluang ''Taubat'' dan ''Husnul Khatimah''. Maka Soeharto perlu diambil perasaan dan psikologinya sehingga ia menyadari memang perlu mundur.<ref name=":26">{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=FBBpDAAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=94|url-status=live}}</ref>
 
Kerusuhan yang menewaskan banyak orang termasuk mahasiswa, penculikan-penculikan, situasi ekonomi yang sulit, korupsi-kolusi-kronisme-nepotisme yang akut, represi militer bertahun-tahun, ketidakbebasan berpendapat yang lama, dan berbagai kesalahan Soeharto lainnya, maka bisa dipahami segala situasi itu menyebabkan kebencian dan dendam yang mendalam masyarakat kepadanya. Mereka menghendaki pengalihan kekuasaan total dan tidak menoleransi keterlibatan Soeharto dalam reformasi. Sementara menurut pertimbangan dengan logika berpikir ''Husnul Khatimah'', yang paling bertanggung jawab atas semua kesalahannya adalah Soeharto sendiri.<ref name=":24">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=95|url-status=live}}</ref>
Baris 147 ⟶ 146:
Sebelum menawarkan ''Husnul Khatimah'', terlebih dahulu dijelaskan tiga bentuk aspirasi reformasi yang muncul. ''Pertama'', reformasi masih dalam kerangka sistem pemerintahan Orde Baru, yang berarti dilakukan bertahap hingga selesainya masa jabatan tahun 2003. ''Kedua'', reformasi dalam sistem yang sangat berbeda dari Orde Baru. Yaitu Soeharto harus mundur. ''Ketiga'', reformasi dengan proses kudeta. Dijelaskan dalam surat tersebut bahwa bentuk pertama tidak banyak menjanjikan dan terlalu lama. Sedangkan bentuk kedua dan ketiga akan memunculkan gerakan penentangan yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Maka Cak Nur, Cak Nun, dan kawan-kawan menawarkan bentuk keempat yang tetap mengandung kesulitan, tetapi relatif aman dan dapat memberi landasan legitimasi baru yang kuat untuk pemerintahan yang akan datang.<ref name=":30" />
 
Bentuk keempat inilah sebuah ''Husnul Khatimah'' yang intinya bahwa Soeharto bertekad memimpin sendiri reformasi secara menyeluruh. Dengan menyesali terjadinya krisis moneter, mengakui semua kesalahan dan segala kekeliruannya. Menyerahkan kekayaan pribadi dan keluarga untuk kepentingan bangsa dan negara. Kemudian Soeharto memimpin perbaikan-perbaikan yang ketentuan-ketentuannya dituangkan dalam legal-formal-konstitusional. Menyatakan bersedia mundur dari jabatan kepresidenan secepat mungkin melalui cara-cara damai dan konstitusional. Lalu membimbing bangsa Indonesia memasuki Millenium Ketiga. Juga disampaikan teknis waktu yang matang yaitu selama 20 bulan berikutnya, sampai tidak lebih dari tanggal 10 Januari 2000, pemilihan umum sudah harus terlaksana. Maksimal tanggal 11 Maret 2000 sudah terpilih presiden baru.<ref name=":30" />
 
=== Komite Reformasi ===
Baris 158 ⟶ 157:
Sebagai pemberi ide dibentuknya Komite Reformasi, sejak awal Cak Nur dan Cak Nun berjanji untuk tidak terlibat dalam komite maupun pemerintahan pasca lengsernya Soeharto.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/ora-dadi-presiden-ora-patheken-akad-nikah-lengser-keprabon-soeharto/|title=Ora Dadi Presiden, Ora Pathèken (Akad Nikah Lengser Keprabon Soeharto)|last=Agustian|first=Fahmi|date=21 Mei 2018|website=CakNun.com|access-date=8 Desember 2019}}</ref> Ini dilakukan untuk memberi contoh kepada masyarakat bahwa yang mereka lakukan bukanlah bertujuan kekuasaan. Karena kehadiran sembilan tokoh Islam ke Istana berada dalam posisi dicurigai masyarakat. Para tokoh ini sebelumnya dikenal kritis terhadap Soeharto selama krisis mulai melanda.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=TYKgIo2Ll5IC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|title=Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner|last=Gaus AF|first=Ahmad|publisher=Kompas|year=2010|isbn=978-979-709-514-7|location=Jakarta|pages=227|url-status=live}}</ref> Cak Nur konsisten tidak mau memimpin komite ini, meskipun Soeharto mendesak.<ref>{{Cite news|url=http://arsip.gatra.com/2003-05-12/majalah/artikel.php?pil=23&id=28451|title=Capres Kita 'Si Kung'|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=17 Mei 2003|work=Majalah GATRA|access-date=8 Desember 2019|archive-date=2020-12-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20201205174233/http://arsip.gatra.com/2003-05-12/majalah/artikel.php?pil=23&id=28451|dead-url=yes}}</ref>
 
Yusril dan Saadilah pasca pertemuan itu tetap menjalankan perintah Soeharto untuk memformulasikan 45 nama-nama anggota Komite Reformasi. Namun orang-orang yang dihubungi, mayoritas menolak. Fahmi Idris yang awalnya mau, lantas mulai ragu-ragu. Ismail Sunny juga mengiyakan, tapi kemudian tidak mengontak lagi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=0YXf3zA8gsUC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|title=Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru|last=Soempeno|first=Femi Adi|publisher=Galang Press|year=2008|isbn=978-979-249-954-4|location=Yogyakarta|pages=172|url-status=live}}</ref>
 
Berbeda dengan Cak Nur, Cak Nun, dan Gus Dur yang mendukung adanya Komite Reformasi,<ref name=":27">{{Cite news|url=|title=Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden|last=|first=|date=20 Mei 1998|work=Kompas|access-date=}}</ref> Amien Rais menolak gagasan itu karena menurutnya jika ketuanya adalah Soeharto sendiri, komite itu akan kehilangan kredibilitas dan akan sulit mencari tokoh yang kompeten untuk duduk di dalamnya.<ref name=":19" /> Bahkan ia memandang, Komite Reformasi ini hanya cara Soeharto untuk mengulur waktu dan tetap berkuasa.<ref>{{Cite web|url=https://nationalgeographic.grid.id/read/131733315/hari-ini-dalam-sejarah-21-mei-1998-jadi-saksi-keruntuhan-hegemoni-soeharto-oleh-gerakan-reformasi?page=all|title=Hari Ini dalam Sejarah: 21 Mei 1998 Jadi Saksi Keruntuhan Hegemoni Soeharto oleh Gerakan Reformasi|last=|first=|date=21 Mei 2019|website=National Geographic Indonesia|access-date=9 Desember 2019}}</ref> Sebenarnya Amien Rais akan ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia oleh Komite Reformasi untuk memimpin masa transisi, namun Cak Nur tidak berhasil menjelaskan gagasan itu kepadanya.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=L_d5QeWgyi4C&pg=PA54&lpg=PA54&dq=demokrasi+la+roiba+fih&source=bl&ots=1fylHMUpvx&sig=ACfU3U0kGjn02AnHHzkFVGtsAJseKrSwzg&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjZ7Nyv4rXmAhWHUs0KHaHXCB0Q6AEwCHoECAoQAQ#v=onepage&q&f=false|title=Demokrasi La Roiba Fih|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=117|url-status=live}}</ref> Pada akhirnya Komite Reformasi pun kandas di tengah jalan, gagal terwujud.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=94|url-status=live}}</ref>
Baris 178 ⟶ 177:
Dalam pertemuan pertama selama tiga jam di kediamannya, Soeharto menyanggupi untuk hadir pada acara tanggal 14 Februari. Tidak hanya akan hadir, ia setuju untuk membayar semua dosanya dan mengakhiri sisa kehidupan dengan kebaikan-kebaikan dengan menandatangani rumusan '''''Empat Sumpah Soeharto''''', di hadapan Cak Nun.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=96|url-status=live}}</ref> Sumpah yang rencananya dinyatakan di hadapan seluruh masyarakat, tokoh, dan semua wartawan media cetak dan televisi yang akan hadir itu berisi:<ref>{{Cite news|url=|title=4 Sumpah Pak Harto|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=22 Mei 2002|work=Jawa Pos|access-date=}}</ref><ref name=":29">{{Cite news|url=|title=Mengatur Tobat Dari Desa Menturo|last=|first=|date=13 Februari 1999|work=Majalah GATRA|access-date=}}</ref>
'''(1)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi. '''(2)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia. '''(3)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia. '''(4)''' Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.
Ide Cak Nun agar Soharto melakukan pertobatan ini lantas menjadi pemberitaan. Termasuk, menurut Cak Nun, ada pemberitaan miring dengan tuduhan yang penuh curiga dan tafsir aneh-aneh tanpa mengerti inti acara sebenarnya. Berita yang dimaksud dimuat antara lain di ''Pos Kota'' dan ''Terbit'' pada 3 Februari 1999. Berita-berita itu menggiring opini bahwa acara ini digagas Soeharto sebagai langkahnya menghindari upaya hukum yang sedang diproses untuk menghukumnya.<ref name=":28" /> Cak Nun juga mendapat tanggapan bernada negatif dari para tokoh politik yang menganggap Cak Nun telah menjadi “mesin politik” Soeharto.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=97|url-status=live}}</ref> Gus Dur juga tampaknya kurang antusias dengan ide acara tersebut.<ref name=":29" />
 
Soeharto mengundang Cak Nun kembali ke Cendana tanggal 4 Februari 1999, dan skenario berubah. Karena Soeharto khawatir acara yang rencananya dihadiri 10.000 undangan itu bisa menimbulkan masalah yang memancing demo dan menambah huru-hara. Soeharto tetap berniat melakukan ''taubat nasuha'' meskipun tidak dilakukan di tempat acara Cak Nun digelar. Ia akan melakukannya di masjid dekat rumahnya, Masjid Bimantara, [[Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat|Kebon Sirih]], dan berjanji akan menjelaskan soal pertobatannya pada 28 Februari 1999 di masjid dekat kediaman Gus Dur di [[Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan|Ciganjur]].<ref name=":29" /> Setelah pertemuan kedua itu, kepada wartawan Cak Nun menegaskan, “Ini ide saya dan bukan maunya Pak Harto. Mau datang atau tidak bukan urusan saya.”<ref name=":28" />
 
Meskipun Soeharto bersumpah untuk bersedia mempertanggungjawabkan kesalahannya dan mengembalikan harta yang dituduhkan telah dicurinya dengan dibuktikan pengadilan, namun hingga wafatnya tahun 2008, Soeharto tidak pernah sekalipun diadili oleh penegak hukum Republik Indonesia.<ref>{{Cite news|url=https://news.detik.com/berita/883729/korupsi-soeharto-sulit-diadili-karena-dilegalkan-peraturan|title=Korupsi Soeharto Sulit Diadili Karena Dilegalkan Peraturan|date=24 Januari 2008|work=[[Detik.com|detikcom]]|access-date=8 Desember 2019}}</ref>
Baris 193 ⟶ 192:
Maiyah bisa dikatakan seperti sekolah gratis terbuka atau universitas jalanan untuk berbagai lapisan masyarakat, atau juga mirip pesantren virtual. Maiyah seperti menjadi laboratorium sosial yang melatih logika berpikir dan seni manajemen kehidupan. Pun formatnya lain dari berbagai bentuk institusi pembelajaran yang pernah ada.<ref name=":32">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2019/mewedar-jalan-kesehatan-emha/|title=Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=171|url-status=live}}</ref> Maiyah sangat terbuka bagi siapapun. Semuanya boleh datang ke Majelis Masyarakat Maiyah. Mereka yang merasa bertuhan, yang ateis, yang apolitis, juga yang politis, yang berpendidikan tinggi maupun tidak sekolah, semuanya boleh. Tanpa ada sekat yang dibangun untuk tujuan pemisahan. Tidak ada sekat berdasarkan agama, kelas sosial-ekonomi, dan atas dasar stratifikasi sosial yang selama ini telah terbentuk kehidupan sehari-hari.<ref>{{Cite web|url=https://www.watyutink.com/topik/pikiran-bebas/Alternatif-Gerakan-Indonesia-Baru-Bagian-3|title=Alternatif Gerakan Indonesia Baru (Bagian-3)|last=Supraja, SH., M.Si.|first=Dr.Muhammad|date=25 November 2018|website=Watyutink.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
 
Maiyah begitu cair, luwes, rileks, nyaris tanpa struktur baku. Bukan sebuah organisasi. Maiyah lebih cenderung disebut “organisme” yang memiliki karakter seperti ruang yang menampung apapun dan siapapun di dalamnya.<ref name=":32" /> Cak Nun mengatakan bahwa sejatinya Maiyah itu merupakan dinamika tafsir terus-menerus, tidak terlalu penting didefinisikan secara baku. Yang penting keberadaannya bermanfaat bagi masyarakat luas.<ref name=":33">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2019/mewedar-jalan-kesehatan-emha/|title=Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=166|url-status=live}}</ref> [[Toto Rahardjo]], pimpinan KiaiKanjeng dan sahabat Cak Nun yang merupakan salah satu sesepuh Maiyah mengatakan bahwa, meskipun Maiyah dipandang sebagai sebuah gerakan sosial budaya, agama, bahkan gerakan sufi, menurutnya Maiyah mengambil posisi cukup sebagai majelis ilmu. Menurut Cak Nun, dengan berposisi sebagai majelis ilmu, Maiyah dapat menjadi penyokong segala organisasi, pergerakan, ataupun institusi yang ada di masyarakat.<ref name=":33" /> Bagi nahdliyyin yang ber-Maiyah akan semakin kuat ke-NU-annya, dan warga Muhammadiyah tambah kuat ke-Muhammadiyah-annya. Maiyah berupaya untuk selalu berada pada titik seimbang, sebagai penengah, berada pada posisi washatiyah tidak memihak kepada siapapun, baik kekuasaan, ormas, mazhab agama, dan kelompok-kelompok atau aliran-aliran apapun.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/jalan-tengah-maiyah/|title=Jalan Tengah Maiyah|last=Soduwuh|first=Ihda Ahmad|date=5 September 2017|website=CakNun.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
 
=== Padhangmbulan ===
Baris 204 ⟶ 203:
 
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Konsultasi Usai Padhangmbulan.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib menampung keluh kesah masyarakat usai Padhangmbulan, sebagai upaya mereka mencari solusi.]] [[Berkas:Padhangmbulan Maret 2018.jpg|jmpl|Suasana Desa Menturo saat Padhangmbulan pada Maret 2018.]]
[[Berkas:Padhangmbulan di tahun ke-26.jpg|pra=link=Special:FilePath/Padhangmbulan_pada_tahun_kePadhangmbulan pada tahun ke-26.jpg|jmpl|Masyarakat Maiyah mensyukuri berjalannya Padhangmbulan hingga tahun ke-26.]]
Merespons fenomena Padhangmbulan yang menjadi magnet berkumpulnya ribuan orang di tengah pengawasan rezim Orde Baru saat itu, Cak Nun mengatakan bahwa yang penting fungsinya harus jelas. Fungsi pertama adalah melalui tafsir Al-Qur`an, Padhangmbulan mencoba merefleksikan penyikapan-penyikapan terhadap masalah-masalah sosial yang akhirnya diharapkan terjadi pembenahan cara berpikir bersama melalui pembelajaran Al-Qur`an. Fungsi kedua adalah pemberdayaan. Ada konsep-konsep yang dicari bersama sebagai alternatif terbaru dalam memberdayakan umat. Karena mereka yang datang ke Padhangmbulan dari berbagai daerah dan latar belakang. Padhangmbulan tidak hanya pengajian, tetapi ada silaturahmi ekonomi di situ.<ref name=":34" /> Di antara mereka ketika itu, yang datang ada tokoh politik, seniman, budayawan, dan selebriti. Seperti [[Rhoma Irama]], [[Trie Utami]], [[Arie Koesmiran]], [[Imam Utomo]] (Gubernur Jatim), Tadjus Sobirin, Permadi, [[Kemal Idris]], [[W.S. Rendra]], hingga [[Prabowo Subianto]]. Tujuannya juga beragam. Memang ada yang betul-betul ikut pengajian untuk menimba ilmu.<ref name=":38" /> Ada pula yang ingin berkonsultasi menyampaikan keluh kesah sebagai upaya mencari solusi atas masalah mereka.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/konsultasi-usai-padhangmbulan/|title=Konsultasi Usai Padhangmbulan|last=|first=|date=28 Maret 2017|website=CakNun.com|access-date=19 Desember 2019}}</ref> Biasanya mereka diterima Cak Nun usai Padhangmbulan. Di antara masyarakat yang datang, ada yang sekadar jajan aneka makanan yang dijual para penjual dadakan.<ref name=":38" />
 
Luasnya sambutan masyarakat ketika itu dengan diadakannya Padhangmbulan, bagi Cak Nun sekeluarga, yang juga penting adalah pengaruh pengajian itu kepada sang ibunda, Chalimah (wafat 2012). Meski sudah lanjut usia ketika itu, ibu Chalimah sangat bersemangat untuk mempersiapkan acara sebulan sekali itu. Cak Nun mengatakan bahwa ibunya akan sangat sehat kalau bisa ''ngerumat'' banyak orang karena merasa senang. Karena kalau tidak ada kegiatan, mungkin bisa sakit-sakitan.<ref name=":38" />
 
Sejak awal, upaya tafsir dilakukan di Padhangmbulan melalui duet Cak Nun dan kakak pertamanya, Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy). Cak Fuad menyampaikan tafsir tekstual, sementara Cak Nun menyampaikan tafsir kontekstualnya. '''Tafsir tekstual''' dilakukan seperti lazimnya yang dilakukan para kyai. Beberapa ayat Al-Qur`an dibacakan Cak Fuad, lalu diterangkan arti atau terjemahnya. Cak Fuad juga sering menguraikan makna kata-kata kunci di dalam ayat-ayat tersebut. Kemudian disampaikan tafsirnya dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir Al-Qur`an. Cak Fuad juga mencoba menyampaikan pemahamannya sendiri menyangkut ayat-ayat yang tengah dikaji tersebut. Sementara, '''tafsir kontekstual''' disampaikan Cak Nun yang berupaya memahami kejadian di masyarakat, baik itu peristiwa politik, sosial, budaya, dan keagaaman. Cak Nun meletakkan ayat-ayat yang dikaji sebagai sudut pandang, atau ditemukan kaitan-kaitan antara ayat-ayat tersebut dengan realitas sosial. Al-Qur`an tidak diposisikan sebagai objek kajian, melainkan sebagai metodologi membaca realitas.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/al-quran-pengajian-maiyah-dan-masyarakat-1/|title=Al-Qur`an, Pengajian Maiyah, dan Masyarakat (1)|last=Mustofa|first=Helmi|date=10 April 2017|website=CakNun.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref> Meskipun begitu, Cak Nun tidak mengklaim bahwa mereka mufasir.<ref name=":34" />
 
Tanggal 13 Oktober 2019, keluarga besar Cak Nun dan Masyarakat Maiyah mensyukuri perjalanan masih diselenggarakannya Padhangmbulan selama 26 tahun.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/belajar-menjadi-manusia-sorogan-dari-gamelan-kiaikanjeng/|title=Belajar Menjadi Manusia Sorogan dari Gamelan KiaiKanjeng|last=Agustian|first=Fahmi|date=14 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
Baris 217 ⟶ 216:
Meskipun keberangkatannya dari pengajian, dalam perjalanannya Cak Nun bersama Masyarakat Maiyah melakukan dekonstruksi atas model pengajian baku yang sudah ada.<ref name=":32" /> Kebersamaan di dalam Maiyah menawarkan suatu wacana baru berupa gerakan kultural dengan metode yang alami. Forum-forum Maiyah adalah peristiwa pertemuan antar manusia yang alami, secara langsung, dan tanpa tendensi materialisme.<ref name=":35" /> Kebersamaan yang dibangun di Maiyah merupakan upaya meniru Nabi Muhammad dengan Islam di Madinah, yaitu mengupayakan kecerdasan kolektif (''swarm intelligent''). Kecerdasan komunal ini tidak dibentuk oleh satu atau dua orang pandai, tapi dibuat oleh interaksi antar manusia.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/kecerdasan-kolektif/|title=Kecerdasan Kolektif|last=Panuluh|first=Sabrang Mowo Damar|date=17 September 2018|website=CakNun.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref> Untuk melangkah menuju terwujudnya kecerdasan kolektif itu, Cak Nun dan Masyarakat Maiyah melakukan '''Sinau Bareng''' (belajar bersama) di mana-mana.
 
[[Berkas:Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Lamongan.jpg|jmpl|Sinau Bareng Cak Nun-KiaiKanjeng di Lamongan pada 2018. Tanpa jarak, tanpa sekat, semua berpartisipasi.]] [[Berkas:Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng pada Dieng Culture Festival 2016.jpg|jmpl|Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam Pembukaan Dieng Culture Festival 2016.]] Ada dua bentuk umum Sinau Bareng, yaitu majelis ilmu yang diadakan sendiri oleh Masyarakat Maiyah rutin bulanan, dan yang diselenggarakan masyarakat umum pada waktu tertentu dengan mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng. Undangan dari masyarakat ke berbagai wilayah [[nusantara]] ini bisa 10 sampai 15 kali per bulan. Untuk Sinau Bareng secara massal, umumnya dilakukan di area terbuka. Durasi Sinau Bareng sendiri sangat beragam. Umumnya antara empat hingga delapan jam.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=106|url-status=live}}</ref> Sinau Bareng dirasakan sebagai wahana pendidikan alternatif yang semakin hari, masyarakat yang hadir berusia sangat muda. Dari [[Milenial|generasi Milenial]] dan [[generasi Z]].
 
Setidaknya ada 10 hal yang bisa diperhatikan dalam melihat perbedaan '''Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng''' dengan pengajian-pengajian pada umumnya:<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/pengajian-kok-begitu-10-hal-untuk-millenial-ketahui-tentang-sinau-bareng-cak-nun-dan-kiaikanjeng/|title=Pengajian Kok Begitu: 10 Hal untuk Millenial Ketahui Tentang Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng|last=Agustian|first=Fahmi|date=1 Januari 2019|website=CakNun.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
Baris 224 ⟶ 223:
# Gamelan KiaiKanjeng adalah elemen primer dalam Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng.
# Siapa saja boleh naik ke panggung, untuk mencari apa yang benar bukan siapa yang benar.
# Panggung rendah hanya 40 &nbsp;cm tingginya dan jarak dengan jamaah sangat dekat tanpa pagar pembatas.
# Komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi dua arah dengan mengutamakan dialog, bukan ceramah monolog satu arah.
# Belajar bersama dengan diskusi multi dimensi ilmu, ilmu Maiyah yang universal.
Baris 233 ⟶ 232:
 
=== Opinium ===
[[Berkas:Tampilan fitur Sinau Bareng pada aplikasi Opinium.jpg|jmpl|Tampilan fitur Sinau Bareng pada aplikasi Opinium]] Konsep '''Sinau Bareng''' yang lahir dari rahim Maiyah yang berangkat dari kultur berdaya bersama ini, selanjutnya bisa diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Tidak harus berupa pengajian dalam skala besar, yang terpenting inti konsepnya membangun kecerdasan bersama, bisa diaplikasikan. Seperti yang digunakan dalam aplikasi bersistem operasi [[Android (sistem operasi)|Android]] bernama '''Opinium'''.<ref name=":36">{{Cite web|url=https://play.google.com/store/apps/details?id=com.extrainteger.opinium|title=Opinium|last=|first=|date=|website=Google Play Store|access-date=19 Desember 2019}}</ref> Sebuah aplikasi berbasis komunitas yang menyediakan alternatif kurasi informasi. Kurasi ini dibangun dari diskusi untuk menguji bersama keabsahan sebuah informasi, demi menghindari hoaks.<ref>{{Cite news|url=https://tekno.tempo.co/read/1085887/opinium-aplikasi-penguji-hoaks-karya-pemuda-jatim/full&view=ok|title=Opinium, Aplikasi Penguji Hoaks Karya Pemuda Jatim|date=5 Mei 2018|work=[[Tempo.co]]|access-date=19 Desember 2019}}</ref>
 
Salah satu fitur utama dalam aplikasi Opinium adalah '''Sinau Bareng'''. Melalui fitur ini, setiap pengguna dapat membangun reputasi dan kredibilitas mereka melalui interaksi silang berbagai bidang studi. Semua pendapat dan diskusi di forum '''Sinau Bareng''' dapat diuji dan dikuratori oleh pengguna lain. Dengan parameter manfaat visual terbuka, Sinau Bareng menjadi laboratorium interaksi informasi yang penggunanya dapat menilai seberapa besar pengaruh dampak positif setiap pengguna.<ref name=":36" />
 
=== Majelis Masyarakat Maiyah ===
[[Berkas:Mocopat Syafaat di tahun ke-20.jpg|pra=link=Special:FilePath/Mocopat_Syafaat_pada_tahun_keMocopat Syafaat pada tahun ke-20.jpg|jmpl|Majelis Masyarakat Maiyah "Mocopat Syafaat" pada tahun ke-20, pada Oktober 2019.]]
[[Berkas:Gambang Syafaat di tahun ke-19, Desember 2018.jpg|pra=link=Special:FilePath/Gambang_Syafaat_pada_tahun_keGambang Syafaat pada tahun ke-19,_Desember_2018 Desember 2018.jpg|jmpl|Majelis Masyarakat Maiyah "Gambang Syafaat" pada tahun ke-19 pada Desember 2018.]]
[[Berkas:Kenduri Cinta Tahun ke-19.jpg|jmpl|Masyarakat Maiyah mensyukuri perjalanan Kenduri Cinta pada tahun ke-19, Juni 2019]] [[Berkas:Bangbang Wetan tahub ke-13.jpg|jmpl|Majelis Masyarakat Maiyah "Bangbang Wetan" pada tahun ke-13, November 2019.]] Berawal dari Padhangmbulan tahun 1994, Maiyah sebagai majelis ilmu kemudian berkembang. Masyarakat Maiyah di berbagai daerah berupaya melingkar setiap bulan, untuk istiqomah Sinau Bareng. Setidaknya lebih dari 60 Majelis Masyarakat Maiyah digelar setiap bulannya:
{{col|2}}
Baris 466 ⟶ 465:
 
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Penulis Indonesia]]