Pemberontakan Trunajaya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
menambahkan sumber langsung dari perwakilan Keraton Yogyakarta |
|||
Baris 76:
'''Pemberontakan Trunajaya''' (atau '''Perang Trunajaya''', juga dieja '''Pemberontakan Trunojoyo''') adalah pemberontakan yang dilakukan oleh bangsawan [[Suku Madura|Madura]], Raden [[Trunajaya]], dan sekutunya, pasukan dari [[Makassar]], terhadap [[Kesultanan Mataram]] yang dibantu oleh [[Perusahaan Hindia Timur Belanda]] (VOC) di [[Jawa]] pada dekade 1670-an, dan berakhir dengan kemenangan Mataram dan VOC.
Perang ini berawal dengan kemenangan pihak pemberontak: pasukan Trunajaya mengalahkan pasukan kerajaan di Gegodog (1676), lalu berhasil menduduki hampir seluruh pantai utara Jawa dan merebut keraton Mataram di [[Keraton Plered]] (1677). Raja [[Amangkurat I]] meninggal ketika melarikan diri dari keraton. Ia digantikan oleh anaknya, [[Amangkurat II]] yang meminta bantuan kepada VOC dan Bupati Ponorogo serta menjanjikan pembayaran dalam bentuk uang dan wilayah. Keterlibatan VOC berhasil membalikkan situasi. Pasukan VOC dan Mataram merebut kembali daerah Mataram yang diduduki, dan merebut ibu kota Trunajaya di Kediri (1678). Pemberontakan terus berlangsung hingga dekat keraton yang dijaga pasukan Ponorogo hingga Trunajaya ditangkap VOC pada akhir 1679, dan juga kekalahan, kematian atau menyerahnya pemimpin pemberontakan lain (1679–1680). Trunajaya menjadi tawanan VOC, tetapi dibunuh oleh Amangkurat II saat kunjungan raja pada 1680.<ref name=":0">{{Cite web|last=Mahany|first=Andry Trisandy|date=2019-08-25|title=Muhibah Budaya di Ponorogo, Ngumpulke Balung Pisah|url=https://jogjaprov.go.id/berita/8047-muhibah-budaya-di-ponorogo-ngumpulke-balung-pisah|website=Portaljogja|language=en|access-date=2022-11-29}}</ref>
Selain Trunajaya dan sekutunya, Amangkurat II juga menghadapi upaya-upaya lain untuk merebut takhta Mataram pasca kematian ayahnya. Rival paling serius adalah adiknya, [[Pangeran Puger]] (kelak [[Pakubuwana I]]) yang merebut Keraton Plered setelah ditinggalkan pasukan Trunajaya pada 1677 dan baru menyerah pada 1681.
Baris 92:
== Pasukan-pasukan terlibat ==
[[Berkas:Arung Palakka - The conquest of Macassar.png|jmpl|Pasukan [[Suku Bugis|Bugis]] di bawah Pangeran [[Arung Palakka]] (foto) termasuk di antara mereka yang bersekutu dengan VOC untuk memadamkan pemberontakan tersebut.]]
Karena tidak memiliki tentara tetap, sebagian besar pasukan Mataram ditarik dari tentara yang dibangun oleh para vasal raja, yang juga menyediakan senjata dan perbekalan.{{sfn|Houben|Kolff|1988|p=183}}{{sfn|Taylor|2012|p=49}} Mayoritas prajurit tersebut adalah para petani yang diwajibkan oleh penguasa setempat ([[Bahasa Jawa|Jawa]]: ''sikep dalem'').{{sfn|Taylor|2012|p=49}} Selain itu, tentara tersebut termasuk sejumlah kecil prajurit profesional yang ditarik dari para penjaga istana oleh [[Warok]] yang didatangkan dari [[Kabupaten Ponorogo|Ponorogo]].{{sfn|Houben|Kolff|1988|p=183}}<ref name=":0" /> Tentara ini menggunakan [[meriam]], senjata api kecil termasuk [[kancing batu-api|senapan sundut]] ([[Bahasa Jawa|Jawa]]: ''senapan'', dari [[bahasa Belanda|Belanda]] ''snaphaens'') dan [[karabin]], [[kavaleri]], dan [[benteng]].{{sfn|Houben|Kolff|1988|p=184}} Sejarawan [[M. C. Ricklefs]] mengatakan pengalihan teknologi militer Eropa kepada orang Jawa "cukup mendesak", dengan bubuk mesiu dan senjata buatan Jawa setidaknya pada 1620.{{sfn|Taylor|2012|p=49}} Orang-orang Eropa dipekerjakan untuk melatih pasukan tentara Jawa dalam penanganan senjata, keterampilan kepemimpinan militer, dan teknik konstruksi.{{sfn|Taylor|2012|p=49}} Namun, terlepas dari pelatihan ini, para petani wajib militer dari tentara Jawa sering kali kurang disiplin dan melarikan diri selama pertempuran.{{sfn|Houben|Kolff|1988|pp=183–184}}{{sfn|Taylor|2012|pp=49–50}} Pasukan Mataram berjumlah "jauh lebih besar" daripada pemberontak berjumlah 9.000 di Gegodog pada September 1676,{{sfn|Andaya|1981|pp=214–215}} jatuh menjadi hanya "rombongan kecil" setelah [[Jatuhnya Plered|jatuhnya ibu kota]] pada Juni 1677,{{sfn|Pigeaud|1976|p=74}} dan meningkat menjadi lebih dari 13.000 saat bergerak menuju ibu kota Trunajaya di Kediri pada akhir 1678.{{sfn|Ricklefs|1993|p=50}}
VOC memiliki tentara profesionalnya sendiri.{{sfn|Taylor|2012|p=49}} Setiap prajurit VOC memiliki pedang, senjata ringan, peluru, membawa kantong dan sabuk, bom asap, dan granat.{{sfn|Taylor|2012|p=49}} Mayoritas prajurit tetap VOC adalah orang Indonesia, dengan sejumlah kecil prajurit dan marinir orang Eropa, semuanya berada di bawah komando perwira Eropa.{{sfn|Pigeaud|1976|p=79}} Sementara dalam pengertian teknologi, pasukan VOC tidak lebih unggul dari rekan-rekan pribumi mereka,{{sfn|Houben|Kolff|1988|p=184}} mereka umumnya memiliki pelatihan, disiplin, dan peralatan yang lebih baik daripada tentara pribumi Indonesia.{{sfn|Taylor|2012|p=49}} Pasukan VOC juga berbeda dalam hal logistik: pasukannya bergerak selangkah demi selangkah diikuti oleh karavan panjang gerobak yang membawa perbekalan.{{sfn|Houben|Kolff|1988|p=184}} Ini memberi mereka keuntungan atas pasukan Jawa, yang sering bertahan hidup dengan mengumpulkan atau mencuri makanan saat bepergian melalui pedesaan dan sering menghadapi kekurangan pasokan.{{sfn|Houben|Kolff|1988|p=184}} Pasukan VOC berjumlah 1.500 pada 1676,{{sfn|Ricklefs|2008|p=92}} tetapi kemudian ditambah oleh sekutu Bugis di bawah kepimpinan [[Arung Palakka]]. Rombongan pertama dari 1.500 orang Bugis tiba di Jawa pada akhir 1678,{{sfn|Andaya|1981|p=218}} dan per tahun 1679 terdapat 6.000 prajurit Bugis di Jawa.{{sfn|Andaya|1981|p=221}}
Baris 114:
==== Jatuhnya Plered ====
{{main|Jatuhnya Plered}}
Meskipun para pemberontak dikalahkan di Surabaya, pasukan pemberontak yang berkampanye di pedalaman Jawa Tengah dan Timur lebih berhasil. Kampanye militer pemberontak mencapai puncaknya dalam [[Jatuhnya Plered|jatuhnya ibu kota]] [[Plered]] pada Juni 1677.{{sfn|Pigeaud|1976|p=73}} Raja dalam kondisi sakit, dan ketidakpercayaan di antara para pangeran kerajaan menghalangi perlawanan yang terencana dengan baik.{{sfn|Pigeaud|1976|p=73}} Raja melarikan diri ke barat dengan pangeran mahkota dan pengiringnya, membiarkan pemberontak memasuki dan menjarah ibu kota dengan sedikit perlawanan, hal ini dibiarkan saja karena dalam budaya kerajaan Jawa bilamana istana pernah diserang harus pindah untuk membangun istana baru.{{sfn|Pigeaud|1976|p=73}} Para pemberontak kemudian mundur ke Kediri, membawa harta kekayaan kerajaan bersama mereka.{{sfn|Ricklefs|2008|p=93}}
=== Bertakhtanya Amangkurat II dan aliansi dengan VOC ===
|