Kerajaan Bedahulu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Angayubagia (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Angayubagia (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 29:
Setelah itu [[Gajah Mada]] menempatkan seorang keturunan [[brahmana]] dari [[Jawa]] bernama [[Sri Kresna Kepakisan]] sebagai raja (''Dalem'') di pulau Bali. Keturunan [[dinasti Kepakisan]] inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.
 
== Sejarah Kerajaan ==
Nama Pejeng mulai dikenal sejak tahun 1705, melalui laporan naturalis Belanda [[Georg Everhard Rumphius]], berjudul ''Amboinsche Reteitkamer''. Dalam laporan tersebut, Rumphius menyebut keberadaan genderang (nekara) berbahan perunggu yang kemudian hari disebut ''Bulan Pejeng''. Rumphius sendiri belum pernah melihat benda tersebut. Dia mendapat informasi dari orang lain yang menyatakan bahwa di Pejeng ada benda misterius dari perunggu. Benda ini dianggap meteorit dan bidang pukulnya yang bulat dianggap sebagai bulatan roda. Rumphius menulis, benda ini semula tergeletak di tanah, tidak seorang pun yang berani memindahkan karena takut mendapat celaka. Inventarisasi kepurbakalaan yang dilakukan ''Oudheidkundige Dienst'' (OD) atau Jawatan Purbakala Pemerintah [[Hindia Belanda]], yang kemudian diteruskan oleh Balai Kepurbakalaan Indonesia, menemukan kenyataan Desa Pejeng memiliki peninggalan arkeologis yang amat beragam dan tersebar hampir di seluruh pelosok desa. Peninggalan-peninggalan purba dan tulisan-tulisan yang ada membuat para ahli memperkirakan Pejeng adalah pusat Kerajaan Bali Kuno yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Bedahulu (883-1343 M). Kata ''"pejeng"'' sendiri diduga berasal dari kata ''"pajeng"'' (payung), karena dari desa inilah raja-raja Bali Kuno memayungi rakyatnya. Ada juga yang menduga berasal dari kata ''pajang'', bahasa Jawa Kuno yang berarti sinar. Bagi tetua di Pejeng, sebelum Pejeng desa itu disebut Soma Negara, ibu kota '''Kerajaan Singamandawa'''.
 
Baris 45:
Keberadaan Kerajaan Bali Kuno ini juga dikuatkan dengan peninggalan arca-arca kuno yang diletakkan dalam lingkungan pura di Pejeng yang dilindungi oleh masyarakat sampai sekarang, Misalnya saja, ''Arca Bhairawa'' di Pura Kebo Edan, ''Arca Ratu Mecaling'' di Pura Pusering Jagat (Pura Tasik), Pura Manik Galag (Pura Manik Corong) sebagai Pura Sad Kahyangan atau ''setananya'' Bhatara Manik Galang dan Pura Penataran Sasih.
 
Penemuan fragmen-fragmen pada prasasti di Pejeng juga mengungkap sejarah dan perkembangan aliran agama di Bali sejak sebelum abad ke-8 M. Penelitian ahli purbakala, [[Roelof Goris|Dr. R. Goris]], yang diterbitkan pada 1926 menyebutkan, di masa [[Udayana|Raja Dharma Udayana]] terapatterdapat sembilan sektealiran agamakeagamaan dengan penganut yang hidup berbaur dan berdampingan, yakni: ''Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya)'' dan ''Ganapatya''. Ke-sembilan sektealiran itu kemudian dikristalisasi oleh Senapati Mpu Rajakerta yang lebih dikenal sebagai [[Mpu Kuturan]], dalam bentuk pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Pakraman (Desa Adat Bali) hingga kini. Penyatuan sektealiran-sektealiran itu dipercaya terjadi di [[Pura Samuan Tiga]], Pejeng.
 
Pejeng sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bali Kuno yang menurunkan raja-raja besar dari Dinasti Warmadewa, berakhir setelah penyerbuan [[Gajah Mada|Patih Gajah Mada]] dari [[Majapahit]] ke Bali pada 1343 M. Oleh Gajah Mada, pusat Kerajaan dipindahkan ke [[Gelgel, Klungkung, Klungkung|Gelgel]]. Pada 1686, pasca raja terakhir Dinasti Gelgel, [[Dalem Di Made]] wafat, pusat kerajaan dipindahkan [[Klungkung, Klungkung|Klungkung]]. Pada periode Klungkung inilah, kekuasaan di Bali terpecah menjadi sembilan swapraja atau kerajaan kecil.<ref name="Pejeng">{{Cite web|url= http://www.pejeng.desa.id/reload.php?ref=post-content&post=sejarah-desa&refp=page&kat= |website= www.pejeng.desa.id |title= Sejarah Kerajaan Pejeng |access-date= 2019-02-14}}</ref>