Rahtawu, Gebog, Kudus: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
rintisan |
mitos rahtawu |
||
Baris 14:
{{kelurahan-stub}}
Wukir Rahtawu
oleh: Ki Sondong Mandali
--------------------------------------------------
Wukir Rahtawu merupakan gugus perbukitan Muria yang
berada di Kabupaten kudus. Jawa Tengah. Menurut
mitos, Wukir Rahtawu merupakan tempat pertapaan Resi
Manumayasa sampai kepada Begawan Abiyasa yang
merupakan leluhur Pandawa dan Korawa. Menurut cerita
babad dan parwa, konon leluhur raja-raja Jawa
merupakan keturunan dinasti Bharata juga. Sebuah
misteri yang membingungkan, memang.
Di Rahtawu terdapat banyak "petilasan pertapaan" yang
diyakini dahulu kala memang benar-benar merupakan
tempat bertapanya "para suci" yang oleh penduduk
setempat disebut "Eyang". Diantaranya :
Eyang Sakri (Bathara Sakri), di Desa Rahtawu.
Eyang Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring
Salaka, dukuh Semliro, desa Rahtawu.
Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung
"Abiyasa", ada yang menyebut "Sapta Arga".
Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula
Sadewa di lereng gunung "Sangalikur", di puncaknya
tempat pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang (Wening) dan
sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya.
Eyang Sakutrem (Satrukem) di sendang di kaki gunung
"Sangalikur" sebelah timur.
Eyang Lokajaya (Guru Spirituil Kejawen Sunan Kalijaga,
menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga
sebelum bertaubat), di Rahtawu.
Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang (Romo) Suprapto,
berupa makam di dusun Semliro.
Semua "petilasan" (kecuali makam Eyang Mada) merupakan
"batu datar" yang diperkirakan sebagai tempat duduk
ketika bertapa (meditasi, semadi). Sayangnya, semua
petilasan tersebut telah dibuatkan bangunan dan dibuat
sedemikian rupa "sakral" dengan diberi bilik yang
tertutup dan dikunci. Pembukaan tutup dilakukan setiap
bulan Suro (Muharam) tanggal 1 s/d 10.
Di setiap petilasan dibuatkan suatu bilik khusus untuk
melakukan "ritual sesaji" dengan bunga dan pembakaran
dupa. Juga disediakan suatu ruangan cukup luas untuk
para pengunjung beristirahat dan menunggu giliran
untuk melakukan "ritual sesaji" maupun "ngalap berkah"
sambil tiduran dan ? kerokan.
Di Rahtawu pengaruh peradaban Hindu, Buddha dan Islam
tidak nampak jelas. Tidak ada jejak berupa bangunan
peribadatan (candi) Hindu dan Buddha. Bahkan tidak ada
arca maupun ornamen bangunan yang terbuat dari batu
berukir sebagaimana ditemukan di Dieng, Trowulan,
Lawu, dan tempat-tempat lainnya di Jawa. Bangunan
peribadatan berupa masjid ataupun langgar (mushalla)
merupakan bangunan baru buatan jaman ini. Maka
sesungguhnya mengundang suatu pemikiran, situs
peradaban apakah di Rahtawu tersebut ?
Meskipun semua "petilasan pertapaan" berkaitan dengan
nama-nama tokoh pewayangan (Mahabharata-Hindu), namun
di Rahtawu ditabukan untuk mengadakan pagelaran
wayang. Konon cerita para penduduk setempat, pernah
ada yang melanggar larangan tersebut, maka datang
bencana angin ribut yang menghancurkan rumah dan dukuh
yang mengadakan pagelaran wayang tersebut. Namun untuk
mendengarkan siaran wayang kulit dari pemancar radio,
kok tidak apa-apa.
Samar-samar terbersit pemahaman di benak penulis akan
kecerdikan dan ketegaran Jawa dalam berinteraksi
dengan berbagai peradaban pendatang di Rahtawu,
sebagai berikut :
Di puncak tertinggi (gunung "Sangalikur") adalah
"petilasan pertapaan Sang Hyang Wenang". Tempatnya
sepi kering tidak ada apa-apa alias suwung (tan kena
kinayangapa). Dibawahnya ada "petilasan pertapaan"
Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma), Nakula
Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar). Tokoh-tokoh
tersebut merupakan simbul personifikasi manusia
titisan dewa yang berwatak selalu menjalankan "laku
darma" pengabdian kepada Hyang Maha Agung. Atau
mengajarkan "laku-urip" yang religius. Bahkan Sang
Hyang Wenang merupakan salah satu nama dari sesembahan
(realitas tertinggi) Jawa. Bathara Ismaya merupakan
derivate (tajalli, emanasi) awal dari Sang Hyang
Wenang, menggambarkan cangkok atau emban (plasma kalau
diibaratkan pada sel hidup). Sedang Eyang Manik
Manuyasa kiranya merupakan nama lain dari Bathara
Manikmaya, yang juga merupakan derivate (tajalli,
emanasi) awal Sang Hyang Wenang, menggambarkan
kembang, permata atau wiji/benih (inti kalau
diibaratkan sel hidup). Sel hidup selalu terdiri dari
Inti dan Plasma yang tidak bisa dipisahkan. Demikian
pula kiranya konsep Jawa tentang "Urip" selalu terdiri
dari "Manikmaya" dan "Ismaya" yang juga tidak bisa
dipisahkan.
Puntadewa dan Nakula-Sadewa adalah tiga satria Pandawa
yang tidak pernah berperang. Puntadewa simbul
kesabaran, Nakula kecerdasan, dan Sadewa
kebijaksanaan. Bahkan kemudian dalam mitologi Jawa,
Sadewa adalah satria yang mampu meruwat Bethari Durga
yang serba jahat menjadi Bethari Uma yang welas-asih.
Petilasan ketiga satria Pandawa tersebut ditempatkan
di gunung "Sangalikur" dibawah Sang Hyang Wenang,
Bethara Manikmaya dan Bethara Ismaya, melambangkan
bahwa kesempurnaan manusia di hadapan Tuhan
(sesembahan) adalah kesadaran akan "sejatining urip",
yaitu yang merupakan gabungan Puntadewa (sabar),
Nakula (cerdik-pandai) dan Sadewa (arif bijaksana).
Puncak kedua di "gunung Abiyasa" merupakan "petilasan
pertapaan" Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara. Keduanya
merupakan maharesi yang tertinggi "kawruhnya".
Tempatnya juga sepi kering tidak ada apa-apa. Bahkan
jalan menuju tempat itu hanya ada satu. Untuk naik dan
turun melalui jalan yang sama. Sepertinya menyiratkan
bahwa jalan menuju puncak ketinggian "harkat spirituil
manusia" yang bisa dicapai adalah sebagai Resi Abiyasa
dan Resi Palasara yang hidup sunyi sepi namun tidak
meninggalkan keramaian dunia. Palasara dan Abiyasa
konon merupakan leluhur Pandawa. Meskipun hidup
sebagai resi (pendeta), namun keduanya terlibat
langsung dengan realitas hiup manusia di dunia.
Diantaranya terlibat perkara seks dalam arti untuk
regenerasi (berketurunan) manusia. Menurut ceritanya
pula, keduanya tidak menempati "etika agama" dalam hal
bercinta-asmara. Dan lebih kepada naluri alamiah yang
terekayasa oleh kebutuhan. Palasara bercinta-asmara
dengan Dewi Lara Amis (Durgandini) di dalam perahu
oleh akibat dorongan nafsu birahi keduanya, hingga
lahir Abiyasa (baik) dan saudara-saudaranya (jahat).
Abiyasa pun melakukan cinta-asmara dengan janda
adiknya oleh kebutuhan Hastinapura akan generasi
penerus. Maka petilasan Palasara dan Abiyasa tidak
dalam satu gunung dengan Sang Hyang Wenang mengandung
maksud, bahwa sesungguhnya untuk mencapai
"kesempurnaan harkat kemanusiaan" bisa dicapai juga
dengan memenuhi darma sebagai manusia secara alamiah,
meskipun darma tersebut mungkin kurang sejalan dengan
"norma kesusilaan" dan "etika keagamaan".
Petilasan Eyang Sakri, Eyang Sakutrem berada di kaki
gunung yang rendah. Keduanya juga maharesi leluhur
Pandawa. Petilasan pertapaannya berada dekat dengan
mata air (sendang), artinya lebih dekat berderajat
manusia katimbang dewa.
Petilasan Bathara Narada dan Bathara Guru di Joggring
Salaka (kahyangan para dewa) yang juga berada di kaki
gunung seolah menyiratkan pandangan Jawa, bahwa
sesungguhnya dewa-dewa juga titah dari Yang Maha Kuasa
sama dengan manusia. Dewa juga mempunyai kewajiban
ikut terlibat dalam mengatur keharmonisan semesta
(memayu hayuning bawana). Artinya, di Jawa, Bathara
Guru dan Bathara Narada bukan wajib disembah tetapi
disetarakan dengan manusia.
Begitulah penangkapan samar-samar penulis tentang
adanya petilasan pertapaan para Eyang (Hyang) di
Rahtawu. Untuk petilasan Eyang Lokajaya dan Makam
Eyang Mada, adalah suatu "punden" baru yang tidak ada
hubungannya dengan "petilasan pertapaan" paya Hyang
dan Resi.
Adapun bagaimana sejarah Rahtawu masih merupakan
misteri. Siapa pula yang menetapkan daerah itu menjadi
petilasan pertapaan, juga masih sulit untuk didapatkan
keterangan. Yang jelas sudah sejak jaman kuno Rahtawu
dianggap sebagai tempat petilasan pertapaan "para
suci". Mungkin dulunya mirip "Sungai Gangga" di India.
Atau semua itu adalah rekayasa para leluhur Jawa untuk
lebih meyakinkan bahwa yang menciptakan Mahabharata,
Resi Wiyasa, adalah Abiyasa yang tinggalnya di
Rahtawu, Jepara. Entahlah !
Kenyataan yang ada sekarang ini, Rahtawu menjadi
tempat untuk kepentingan "ngalap berkah" yang
bermacam-macam. Caranya juga bermacam-macam pula.
Nuansa spirituil religius Jawa sudah berbaur dengan
laku-budaya adat yang oleh berbagai pihak dianggap
klenik, tahayul dan syirik.
Perbukitan Muria memerlukan kajian mendalam. Ilmiah
maupun spirituil untuk menguak misterinya. Di tempat
itu juga ada makam Sunan Muria (salah satu Wali Sanga)
yang dikeramatkan pula oleh banyak orang Jawa yang
muslim. Maka dengan demikian di Muria ada dua tempat
wisata spirituil, Makam Sunan Muria (Islam) dan
Petilasan Pertapaan Rahtawu (Kejawen). Menurut yang
"muslim saleh", menyatakan bahwa Rahtawu tempat
berkumpulnya jin dan syaiton. Sebaliknya, kalangan
"kejawen" menyatakan kalau makam Eyang Mada dan makam
keramat lainnya (sesakti apapun yang dimakamkan) cuma
kuburan manusia biasa. Lhoh kok !
Begitulah kenyataan pergulatan antar peradaban di Jawa
baru mencapai tahap saling menganggap klenik, tahayul
dan syirik bagi pihak yang tidak sealiran. Memelas !
Demikian, semoga bermanfaat.
Ki Sondong Mandali
|