Kadipaten Surabaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Angayubagia (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Angayubagia (bicara | kontrib)
Baris 34:
 
== Sejarah ==
Seorang penulis Portugis [[Tomé Pires]] menyebutkan bahwa seorang penguasa muslim berkuasa di Surabaya pada tahun 1513, meskipun menjadi bawahan [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] yang Hindu-Buddha.{{Sfn}} Pada waktu itu, Surabaya sudah menjadi pelabuhan dagang utama,{{Sfn}} karena lokasinya di delta [[Sungai Brantas]] dan pada rute perdagangan antara [[Melaka, Malaysia|Malaka]] dan [[Kepulauan Maluku]] melalui [[Laut Jawa]].{{Sfn}} Selama kejatuhan Majapahit, penguasa dari Surabaya menolak penguasa dari [[Kesultanan Demak]], dan akhirnya takluk pada kekuasaannya pada tahun 1530.{{Sfn}}{{Sfn}} Surabaya menjadi merdeka setelah kematian Sultan Trenggana dari Demak pada tahun 1546.{{Sfn}}{{Sfn}} Ada kelangkaan catatan sejarah tentang kadipaten di paruh kedua abad ke-16.{{Sfn}} Pada tahun 1589 Surabaya memimpin kerajan kecil lain dalam menentang [[Kesultanan Pajang]], penerus negara Demak, di [[Kadipaten Japan|Japan]] /Japanan (hari ini [[Kota Mojokerto|Mojokerto]]), yang akhirnya mengakhiri ekspansi Pajang ke timur.{{Sfn}} Sejarawan Jawa mengatakan bahwa orang suci, keturunan [[Sunan Giri]], meyakinkan sisi yang berlawanan untuk kembali tanpa bertempur.{{Sfn}} Sejarawan Belanda H. J. de Graaf menulis bahwa di paruh kedua abad ke-16, keraton Surabaya menjadi pusat budaya Islam dan Jawa kuno sastra, sebagai lawan dari "sesepuh" keraton Jawa Tengah seperti [[Kesultanan Pajang|Pajang]] dan [[Kesultanan Mataram]].{{Sfn}}
 
Pada tahun-tahun awal abad ke-17, Surabaya, bersekutu dengan [[Kota Pasuruan|Pasuruan]], memperluas pengaruhnya ke seluruh Jawa Timur.{{Sfn}} Ia kemudian menjadi negara yang paling kuat di Jawa Timur, menyaingi Kesultanan Mataram di Jawa Tengah.{{Sfn}} Saat tahun 1622, mulai mengontrol [[Kabupaten Gresik|Gresik]] dan Sedayu di Jawa Timur.{{Sfn}} Keraton ini juga membawahi [[Sukadana, Kayong Utara|Sukadana]]{{Sfn}} dan [[Kota Banjarmasin|Banjarmasin]]{{Sfn}} di selatan [[Kalimantan]]. Laporan yang diragukan mengatakan Surabaya mungkin telah memperluas pengaruhnya ke [[Kota Pasuruan|Pasuruan]] dan [[Kerajaan Blambangan|Blambangan]] (baik di [[Tapal Kuda, Jawa Timur|Tapal Kuda Jawa]]), [[Sungai Brantas|Brantas]], dan Wirasaba.{{Sfn}} Surabaya yang dibentuk dan dipimpin persekutuan dari Jawa Timur, terutama dalam menanggapi pertumbuhan kekuatan Mataram.{{Sfn}}{{Sfn}}Selain Surabaya dan jajarannya, daerah, aliansi juga termasuk Tuban, [[Kota Malang|Malang]], [[Kota Kediri|Kediri]], Lasem, semua di Jawa Timur, serta [[Pulau Madura|Madura]] di lepas pantai utara.{{Sfn}}
 
[[VOC]] mendirikan sebuah pos perdagangan di Gresik, di bawah kontrol Surabaya, pada tahun 1602.{{Sfn}} Penulis Belanda menulis tentang pengaruh Surabaya yang meluas .{{Sfn}} Pada tahun 1620 penulis Belanda menjelaskan Surabaya sebagai negara yang kaya dan kuat dengan 30.000 tentara.{{Sfn}} Kota berukuran {{Convert|37|km|mi}}, dikelilingi oleh kanal dan dilindungi dengan meriam.{{Sfn}}
 
=== Konflik dengan Mataram dan kejatuhan ===
Ketiika Mataram dan Surabaya memperluas wilayah mereka dan pengaruhnya, mereka mulai bersaing untuk hegemoni di jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada tahun 1590, Mataram, di bawah pemerintahan [[Sutawijaya|Panembahan Senopati]], menyerang dan mengambil alih [[Madiun]], yang didukung oleh bawahan Surabaya.{{Sfn}} Mataram dan Surabaya yang didukung saingan pewaris takhta di Kediri. Pihak Surabaya menang pada tahun 1591, dan pihak yang kalah melarikan diri ke Mataram.{{Sfn}} Pada tahun 1598 dan 1599 Mataram gagal menyerang [[Tuban]], anggota sekutu Surabaya.{{Sfn}}{{Sfn}} Pada tahun 1610 Mataram mulai melakukan penggerebekan di Surabaya sendiri, {{Sfn}} menghancurkan tanaman padi dan menjarah [[Kabupaten Gresik|Gresik]] pada tahun 1613.{{Sfn}}{{Sfn}} Belanda penulis laporan dari pos perdagangan Gresik menulis sering terjadi konflik Mataram–Surabaya di awal abad ke-17.{{Sfn}}{{Sfn}} Belanda menutup posnya pada tahun 1615 ketika konflik semakin intensif.{{Sfn}}{{Sfn}}
 
Pada tahun 1613 [[Sultan Agung dari Mataram|Hanyakrakusuma]] ({{Reign|1613|1645}} 1613{{Reign|1613|1645}} 1645, yang kemudian bergelar [[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung]]) naik takhta Mataram.{{Sfn}} Dia mulai mengadakan perang yang pada akhirnya akan mengakibatkan jatuhnya Surabaya. Pada tahun 1614 Agung menyerbu beberapa sekutu dari Surabaya, terutama termasuk Wirasaba.{{Sfn}} Surabaya dan sekutunya kemudian melakukan serangan balasan dan menyerbu Mataram, tetapi dikalahkan di Siwalan, dekat Pajang, pada bulan Januari 1616.{{Sfn}}{{Sfn}} Selanjutnya, Mataram secara bertahap menaklukkan sekutu Surabaya, terutama Tuban pada tahun 1619.{{Sfn}}
 
Pada tahun 1620 Mataram menyerang [[Kota Surabaya]] itu sendiri. Karena kombinasi geografis, logistik, dan faktor iklim, Mataram tidak mampu melancarkan serangan langsung di Surabaya,{{Sfn}} atau mempertahankan pengepungan di kota ini.{{Sfn}} Sebagai gantinya, Mataram secara berkala menyerang Surabaya selama musim kemarau, mengadakan pengepungan, menghancurkan sawah, dan menjarah hasil panen dari daerah sekitarnya.{{Sfn}}{{Sfn}} Akhir pengepungan berlangsung pada tahun 1625.{{Sfn}} Pasukan Mataram membendung sungai [[Sungai Brantas|Brantas]], membatasi pasokan air kota,{{Sfn}} dan membusukkan sisa pasokan air menggunakan hewan yang mati.{{Sfn}} Dengan kota kelaparan dan penuh dengan penyakit, Jayalengkara, adipati Surabaya, memutuskan untuk menyerah.{{Sfn}}{{Sfn}}Ia diizinkan untuk tinggal di Surabaya sebagai bawahan Sultan Agung, tapi adipati tua itu meninggal segera sesudahnya.{{Sfn}}
 
Kejatuhan Surabaya dan kota-kota pesisir lainnya di timur laut Jawa menyebabkan penurunan perdagangan Jawa pada periode berikutnya, dan munculnya [[Kesultanan Gowa|Kesultanan Makassar]] di [[Sulawesi]] sebagai pusat utama perdagangan rempah-rempah di [[Nusantara]].{{Sfn}}