Orde Baru: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bot5958 (bicara | kontrib)
k WPCleaner v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Subjudul dengan bold)
k clean up
Baris 94:
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu [[Mayor Jenderal]] [[Basuki Rachmat]], [[Brigadir Jenderal]] [[M. Yusuf]], dan [[Brigadir Jenderal]] [[Amir Machmud]] bertemu dengan [[Letnan Jenderal Soeharto]] selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Segera setelah mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa [[Angkatan Bersenjaya Republik Indonesia]], khususnya [[Angkatan Darat]], dalam kondisi siap siaga.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}}
 
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu [[Mayor Jenderal]] Basuki Rachmat, [[Brigadir Jenderal]] M. Yusuf, [[Brigadir Jenderal]] Amir Machmud, dan [[Brigadir Jenderal]] [[Sabur]], Komandan Pasukan Pengawal Presiden [[Tjakrabirawa]].{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}}
 
=== Pemberangusan Partai Komunis Indonesia ===
Baris 166:
 
=== Pemilihan Umum ===
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1971|1971]], [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1977|1977]], [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1982|1982]], [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1987|1987]], [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1992|1992]], dan [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1997|1997]]. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu.<ref>{{Cite book|last=Rully Chairul Azwar|first=|date=2009|url=https://books.google.co.id/books?id=O1M0NZUhqXMC&pg=PA61&dq=%22Golkar+%22+mayoritas%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjDkNfr2qjrAhXCc30KHSKCAg0Q6AEwAHoECAAQAg#v=onepage&q=%22Golkar%20%22%20mayoritas%22&f=false|title=Politik komunikasi Partai Golkar di tiga era: Dari partai hegemonik ke partai yang berorientasi "pasar"|location=|publisher=Grasindo|isbn=978-979-025-690-3|pages=60|language=id|url-status=live}}</ref>
 
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di DPR.<ref>{{Cite book|last=Bacharuddin Jusuf Habibie|first=|date=2006|url=https://books.google.co.id/books?id=eRtxAAAAMAAJ&q=%2251+persen+,+sehingga+memperoleh+325+kursi+*%22&dq=%2251+persen+,+sehingga+memperoleh+325+kursi+*%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi3ibLL26jrAhXC7XMBHdVGCuYQ6AEwAHoECAEQAg|title=Detik-detik yang menentukan: jalan panjang Indonesia menuju demokrasi|location=|publisher=THC Mandiri|isbn=978-979-99386-6-4|pages=5|language=id|url-status=live}}</ref> Ini merupakan perolehan suara terbanyak Golkar dalam pemilu.<ref>{{Cite book|last=Firmanzah|first=|date=2008|url=https://books.google.co.id/books?id=RyvwaIFJJH8C&pg=PA7&dq=Golkar+1997+%22325+kursi%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi8jrCr26jrAhV_7XMBHdhSB_MQ6AEwAHoECAQQAg#v=onepage&q=Golkar%201997%20%22325%20kursi%22&f=false|title=Mengelola partai politik: komunikasi dan positioning ideologi politik pada era demokrasi|location=|publisher=Yayasan Obor Indonesia|isbn=978-979-461-680-2|pages=7|language=id|url-status=live}}</ref> Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.<ref>{{Cite book|last=Firmanzah|url=https://books.google.co.id/books?id=Xib3DQAAQBAJ&pg=PT78&dq=Golkar+1997+%22325+kursi%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi8jrCr26jrAhV_7XMBHdhSB_MQ6AEwA3oECAYQAg#v=onepage&q=Golkar%201997%20%22325%20kursi%22&f=false|title=Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia|isbn=978-602-433-321-8|language=id}}</ref>
 
Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut.{{fact}} PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi [[PDIP]]. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.{{fact}} Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.{{fact}}
 
=== Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI ===
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer sebagai pemain sentral dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI.<ref>{{Cite book|last=Connie Rahakundini Bakrie|first=|date=2007|url=https://books.google.co.id/books?id=ipwN_Dg8tJUC&printsec=frontcover&dq=Pertahanan+Negara+dan+Postur+TNI+Ideal+(2007)&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiFwYn73ajrAhUk8HMBHUfCC_gQ6AEwAHoECAAQAg#v=onepage&q=Militer%20di%20Indonesia%20mulai%20memiliki%20peran%20signifikan&f=false|title=Pertahanan negara dan postur TNI ideal|location=|publisher=Yayasan Obor Indonesia|isbn=978-979-461-665-9|pages=7|language=id|url-status=live}}</ref> Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.{{fact}}
 
Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV Tahun 1978.<ref>{{Cite book|last=|first=|date=1978|url=https://books.google.co.id/books?id=FmlmBDUZa2IC&q=fungsi+ABRI+%22MPR+No.+IV+%22&dq=fungsi+ABRI+%22MPR+No.+IV+%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi02d6E4ajrAhWf4nMBHQdjAHMQ6AEwAHoECAAQAg|title=Dwi fungsi dan kekaryaan ABRI|location=|publisher=Departemen Pertahanan-Keamanan|isbn=|pages=8|language=id|url-status=live}}</ref> Selain itu, dasar hukumnya yakni Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5 tahun 1975.<ref>{{Cite book|last=|first=|date=1979|url=https://books.google.co.id/books?id=XYT5dldcJbMC&q=%22baru+diatur+dalam+UU+No.+15+dan+16+Tahun+1969+yang+telah+dirubah+oleh+UU+No.%22&dq=%22baru+diatur+dalam+UU+No.+15+dan+16+Tahun+1969+yang+telah+dirubah+oleh+UU+No.%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwivqKWD46jrAhWQlEsFHXjICzsQ6AEwAHoECAAQAg|title=Yudhagama|location=|publisher=TNI-AD|isbn=|pages=86|language=id|url-status=live}}</ref> Pengukuhan peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan  dalam UU No. 20 Tahun 1982.<ref>{{Cite book|last=Jurdi Fajlurrahman|first=|date=2019|url=https://books.google.co.id/books?id=D1e-DwAAQBAJ&pg=PA295&dq=%22selaku+dinamisator+dan+stabilisator%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwij5JTL46jrAhVP6nMBHRWrCGoQ6AEwAHoECAQQAg#v=onepage&q=%22selaku%20dinamisator%20dan%20stabilisator%22&f=false|title=Hukum Tata Negara Indonesia|location=|publisher=Kencana|isbn=978-623-218-050-5|pages=295|language=id|url-status=live}}</ref> Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang sosial politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator.<ref>{{Cite book|last=Tambunan|first=Arifin Sari Sarunganlan|date=1991|url=https://books.google.co.id/books?id=TTkbAAAAIAAJ&dq=Arifin+Tambunan&focus=searchwithinvolume&q=dinamisator|title=Pejuang dan prajurit, konsepsi dan implementasi dwifungsi ABRI|location=|publisher=Pustaka Sinar Harapan|isbn=|pages=370|language=id|url-status=live}}</ref> Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah [[Gerakan 30 September]], yang melahirkankan Orde Baru.
Baris 197:
==== Pemulihan Hubungan dengan Malaysia ====
[[Berkas:IndoMalaycooperation.jpg|250px|jmpl|ka|Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia]]
Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian [[Bangkok]]. Isi perjanjian tersebut adalah: <ref> {{Cite news|url=https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/06/184500369/berakhirnya-konfrontasi-indonesia-malaysia|title=Berakhirnya Konfrontasi Indonesia-Malaysia|editor-last=Nailufar|editor-first=Nibras Nada|first=Nibras Nada|last=Nailufar|work=[[Kompas.com]]}} </ref>
# Rakyat [[Sabah]] diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
# Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
Baris 290:
 
==== Pelita VI ====
Periode Pelita VI dimulai 1 April [[1994]] sampai 31 Maret [[1999]]. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi karena dipandang sebagai penggerak pembangunan. Program pada sektor ekonomi dipusatkan pada bidang industri dan pertanian. Pelita VI juga mengadakan program peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukung sektor ekonomi. Pada periode ini, pemerintahan Orde Baru berakhir akibat [[krisis moneter]] dan peristiwa politik dalam negeri yang melanda negara-negara [[Asia Tenggara]] termasuk [[Indonesia]]. Krisis ini menyebabkan gangguan terhadap pembangunan ekonomi.<ref>{{Cite book|last=Nufus, H., dan Ishmatiika, E. N.|date=2017|url=http://elearning.fkkumj.ac.id/pluginfile.php?file=%2F8728%2Fcourse%2Foverviewfiles%2FPancasila.pdf&forcedownload=1|title=Pancasila dalam Praktik Kebidanan|publisher=Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta|isbn=978-602-6708-16-8|pages=83-84|url-status=live}}</ref>
 
== Warga Tionghoa ==
Warga keturunan [[Tionghoa]] juga dilarang berekspresi. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia agar terkesan sebagai "pribumi asli" Indonesia. Penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa juga dilarang untuk penggunaan nama media massa dan perusahaan.
 
Satu-satunya media massa berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah [[Harian Indonesia]] yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia.<ref> {{cite web|url=https://tirto.id/hilangnya-identitas-orang-tionghoa-akibat-asimilasi-paksa-el92|title=Hilangnya Identitas Orang Tionghoa Akibat Asimilasi Paksa}} </ref> Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah [[ABRI]] meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya [[agama Konghucu]] kehilangan pengakuan pemerintah.
 
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh [[komunisme]] di Tanah Air. {{fact}} Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. {{fact}}
 
Selain itu, warga keturunan Tionghoa juga harus memiliki [[Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia |SBKRI]] sebagai bukti kewarganegaraan Indonesia. Hal ini ditentang oleh banyak pihak karena dianggap diskriminatif. Pada akhirnya penggunaan SBKRI dihapus pada tahun 1996 dan diselesaikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.<ref> {{cite web|url=https://historia.id/politik/articles/warga-tanpa-negara-vYbOa|title=Warga Tanpa Negara}} </ref>
 
== Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru ==