Perang Padri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Suntingan Bluebear17 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh InternetArchiveBot
Tag: Pengembalian
Bluebear17 (bicara | kontrib)
pengembalian tanpa penjelasan, di peraturan wikipedia sudah dijelaskan semua klaim luar biasa harus bersumber luar biasa, sedangkan di artikel banyak yg tidak bersumber dan sumber tidak jelas halaman berapa ( sourcing)
Tag: Pembatalan
Baris 5:
|image = [[Berkas:Naar-beide-zijden-front.jpg|310px|Perang Padri]]
|caption = Perang Padri
|date = [[1803]]–[[1838]]1803–1837
|place = [[Sumatra Barat]], [[Sumatra Utara]] dan [[Riau]]
|casus = Pertikaian [[Kaum Padri]] melawan [[Kaum Adat]], kemudian melibatkan Belanda.
|result = * Kemenangan koalisi Adat dan Belanda.
* Pembubaran [[Kerajaan Pagaruyung]]
* Penangkapan dan Pengasingan [[Tuanku Imam Bonjol]]
|combatant1 = Perang [[1803]]–[[1821]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}} Perang [[1821]]–[[1833]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}}Perang [[1833]]–[[1838]]:{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}}
 
Baris 21 ⟶ 19:
|casualties2 =
}}
'''Perang Padri''' berlangsung di kawasan [[Kerajaan Pagaruyung]] atau daerah [[Minangkabau]] (saat ini [[Sumatra Barat|Sumatera Barat]]) dari tahun 1803 hingga 1838.<ref>{{cite book|first=Jeanne|last=Cuisinier|year=1959|title=Archives de Sociologie des Religions|chapter=La Guerre des Padri (1803-1838-1845)|publisher=Centre National de la Recherche Scientifique}}</ref> Perang ini berawal dari pertentangan antara [[Kaum Padri]] dan [[Kaum Adat]] mengenai masalah penerapan ajaran Islam di Minangkabau. Kaum Padri yang terdiri dari sejumlah [[Ulama Minangkabau|ulama]] menentang kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh [[Kaum Adat]] di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti [[perjudian]], [[Sabung ayam|penyabungan ayam]], [[Opium|penggunaan madat]], [[minuman keras]], [[tembakau]] terkecuali [[sirih]], aspek hukum adat [[matriarki]] mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama [[Islam]].<ref name="Yudhi">{{cite book|title=Sejarah|publisher=Yudhistira Ghalia Indonesia|ISBN=978-979-746-801-9}}</ref> Kaum Adat dan Kerajaan Pagaruyung yang telah memeluk Islam tidak secara serius meninggalkan kebiasaan tersebut sehingga memicu kemarahan Kaum Padri dan mengakibatkan peperangan pada tahun 1803.
 
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai [[perang saudara]] yang melibatkan sesama [[Orang Minang]] dan [[Suku Mandailing]]. Dalam peperangan ini, ''Kaum Padri'' dipimpin oleh [[Harimau Nan Salapan]] sedangkan K''aum Adat'' dipimpinan oleh [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] saat itu [[Sultan Arifin Muningsyah]]. Pada 1821, Kaum Adat mulai terdesak dan meminta bantuan kepada Belanda, namun akhirnya memperumit keadaan dan situasi di pihak Kaum Adat dan Kerajaan. Sehingga pada 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, sampai akhirnya peperangan ini dimenangkan oleh Belanda.
 
'''Perang Padri''' (juga dikenal senagai '''Perang''' '''Minangkabau''') adalah perang yang terjadi dari tahun 1803 sampai 1837 di [[Sumatra Barat|Sumatera Barat]], [[Indonesia]] antara kaum Padri dan Adat. Kaum Padri adalah umat [[muslim]] yang ingin menerapkan [[Syariat Islam]] di negeri [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] di Sumatera Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada [[Belanda]], yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang panjang, menguras harta, dan memakan korban jiwa. Perang ini berakibat pada runtuhnya kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, serta berdampak pada merosotnya perekonomian masyarakat di sekitarnya, dan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.
 
== Latar Belakang ==
Perang Padri dianggap dimulai pada tahun 1803, sebelum campur tangan [[Belanda]], dan merupakan konflik yang pecah di negeri [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] ketika kaum Padri mulai memberangus adat istiadat yang mereka anggap sebagai tidak [[Islami]]. Namun setelah pendudukan [[Kerajaan Pagaruyung]] oleh Tuanku Pasaman, salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, kaum bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di [[Padang]] untuk melawan mereka memerangi kaum Padri.<ref>Sjafnir Aboe Nain, 2004, ''Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.''</ref>
 
Kaum Padri, seperti halnya para jihadis sezaman di [[Kekhalifahan Sokoto]] di [[Afrika Barat]], adalah kaum puritan Islam yang telah menunaikan ibadah [[haji]] ke [[Makkah]] dan kembali<ref>The port where they embarked and disembarked, Pedir, Sumatra, gave them their name.</ref> dengan terinspirasi untuk membawa [[Al-Qur'an|Al-Quran]] dan [[Syariat Islam|syariah]] ke posisi yang lebih besar pengaruhnya di Sumatera. Gerakan Padri telah terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya dari tradisi dan kepercayaan yang dipandang oleh para pengikutnya sebagai tidak Islami.
 
Pada tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan kepemilikan mereka di beberapa bagian Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) setelah memperolehnya kembali dari Inggris. Hal ini terutama terjadi di pulau Sumatera, di mana beberapa daerah tidak berada di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke-20.
 
== Perang Padri I 1803-1825 ==
 
=== LatarAwal Belakangmula 1803-1821 ===
Perang Padri berawal sesaat setelah kembalinyaSepulangnya tiga orang [[Ulama Minangkabau|alim ulama]] dari [[Mekkah]] sekitar tahun 1803, yaitu [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]] dan [[Haji Piobang]], mereka mengungkapkan keinginan mereka yang ingin memperbaikimenyempurnakan penerapan syariat Islam yang belum sempurna dijalankan olehdi masyarakat [[Minangkabau]].<ref>Azra, Azyumardi (2004). ''The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries''. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Mengetahui hal tersebut, [[Tuanku Nan Renceh]] sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan).<ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.</ref>
 
Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]] yang memiliki kedekatan dan kekerabatan dengan [[Raja Pagaruyung|Yang Dipertuan Pagaruyung]] [[Muningsyah dari Pagaruyung|Sultan Arifin Muningsyah]] untuk mengajak Kaum Adat agar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Konflik ini mendorong terjadinya gejolak diantara beberapa [[nagari]] dalam Kerajaan Pagaruyung, sampai pada 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan [[Tuanku Pasaman|Tuanku Lintau]] menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]]. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.<ref name="Aboe">Nain, Sjafnir Aboe (2004). ''Memorie Tuanku Imam Bonjol''. Padang: PPIM.</ref> Catatan [[Stamford Raffles|Thomas Stamford Raffles]] yang pernah mengunjungi [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa [[Istano Basa|Istana Kerajaan Pagaruyung]] yang sudah terbakar.<ref>Raffles, Sophia (1830). ''Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles''. London: J. Murray.</ref>
Baris 50 ⟶ 53:
 
== Gencatan Senjata 1825 - 1831 ==
Perlawanan yang dilakukan oleh [[Kaum Padri]] cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh [[Tuanku Imam Bonjol]] untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.<ref name="Yudhi">{{cite book|title=Sejarah|publisher=Yudhistira Ghalia Indonesia|ISBN=978-979-746-801-9}}</ref> Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di [[Eropa]] dan [[Jawa]] seperti [[Perang Diponegoro]].
 
Selama periode [[gencatan senjata]], [[Tuanku Imam Bonjol]] mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali [[Kaum Adat]]. Sehingga akhirnya terjadi kesepakatan yang dikenal dengan nama "[[Sumpah Satie Bukit Marapalam|Sumpah Satie Bukik Marapalam]]" di [[Bukit Marapalam]], [[Kabupaten Tanah Datar]] yang mewujudkan konsensus ''Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah'' yang bermakna bahwa [[Adat Minangkabau]] berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada [[Al-Qur'an]].<ref>Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). ''Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia'', Bab 6: ''Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira''. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0</ref>[[Berkas:Portret van Tuanku Imam Bonjol.jpg|jmpl|170px|[[Tuanku Imam Bonjol]], salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|de Stuers]] pada tahun [[1820]].]]