''''Al-Mukarram Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd'''' dilahirkan di Kampung Bermi, [[Pancor, Selong, Lombok Timur]], [[Nusa Tenggara Barat]] pada tanggal 17 [[Rabiul Awwal]] [[1316]] [[Hijriah]] bertepatan dengan tanggal 20 [[April]] [[1908]] [[Masehi]] dari perkawinan Tuan Guru Hajjī Abdul Madjīd (beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan [[Guru Mukminah atau Guru Minah|Guru Mu'minah atau Guru Minah]]) dengan seorang wanita shālihah bernama Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.<sup>[1]</sup>
Nama kecil beliaukecilnya adalah ''''Muhammād Saggāf'''', nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH. Abdul Madjīd, didatangi dua walīyullāh, masing-masing dari [[Hadramaut|Hadhramaũt]] dan [[Magrabi|Maghrabī]]. Kedua walīyullāh itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni "Saqqāf". BeliauIa berdua berpesan kepada TGH. Abdul Madjīd supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqāf", yang artinya '''"Atapnya para Wali pada zamannya"'''. Kata "Saqqāf" di Indonesiakan menjadi "Saggāf" dan untuk dialek bahasa [[Sasak]] menjadi "Segep". Itulah sebabnya beliauia sering dipanggil dengan "Gep" oleh ibu beliauia , Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.
Setelah menunaikan ibadah hajjī, nama kecil beliaukecilnya tersebut diganti dengan ''''Hajjī Muhammād Zainuddīn''''. Nama inipun diberikan oleh ayah beliauayahnya sendiri yang diambil dari nama seorang '[[Ulama|ulamā]]' besar yang mengajar di [[Masjid al-Haram|Masjīd al-Harām]]. Akhlāq dan kepribadian [[Ulama|ulamā]]' besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulamā' besar itu adalah [[Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak|Syaīkh Muhammād Zainuddīn Serawak]], dari [[Serawak]], [[Malaysia]].
=== Silsilah dan Keturunan ===
Silsilah Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak bisa diungkapkan secara jelas dan runtut, terutama silsilahnya ke atas, karena catatan dan dokumen silsilah keluarga beliaukeluarganya ikut hangus terbakar ketika rumahrumahnya beliau mengalami musibah kebakaran. Namun, menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni dan keturunan raja - raja [[Selaparang]], sebuah kerajaan [[Islam|Islām]] yang pernah berkuasa di [[Pulau Lombok]]. Disebutkan bahwa Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd merupakan keturunan [[Kerajaan Selaparang|raja Selaparang]] yang ke-17.<sup>[2]</sup>
Pendapat ini tentu saja paralel dengan analisis yang diajukan oleh seorang [[antropolog]] berkebangsaan [[Swedia]] bernama Sven Cederroth, yang merujuk pada kegiatan [[ziarah]] yang dilakukan Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd ke [[makam]] [[Selaparang]] pada tahun [[1971]], sebelum berlangsungnya kegiatan pemilihan umum (Pemilu).<sup>[3]</sup> Praktik ziarāh semacam ini memang bisa dilakukan oleh masyarakat [[Indonesia]] pada umumnya, termasuk masyarakat [[Sasak]], untuk mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya. Disamping itu pula, Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak pernah secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap anggapan dan pernyataan-pernyataan yang selama ini beredar tentang silsilah keturunannya, yakni kaitan genetiknya dengan raja - raja [[Kerajaan Selaparang]].
BeliauIa mendapatkan keturunan dari dua isterinya yaitu Hj. Jauhariyah seorang perempuan keturunan Jawa dan Hj. Rahmatullah Hasan seorang perempuan keturunan Guru Hasan dari Jenggik Lombok Timur. Dari Hj. Jauhariyah terlahir putri pertamanya bernama Rauhun Zainuddin Abdul Madjid dan dari Hj. Rahmatullah Hasan terlahir putri kedua bernama Raihanun Zainuddin Abdul Madjid. Karena hanya memiliki dua orang putri bernama Rauhun dan Raihanun maka beliauia juga dipanggil Abu Rauhun wa Raihanun.
Dari masing-masing putri itu beliauia mendapatkan 13 orang cucu. Dari Hj. Sitti Rauhun ZAM terlahir enam cucu yaitu: [[Sitti Rohmi Djalilah|Dr. Ir. Hj. Sitti Rohmi Djalilah]], [[gelar|M.Pd.]], H. M. Syamsul Luthfi, MM., [[Muhammad Zainul Majdi|TGB Dr. KH. Muhammad Zainul Majdi, MA.]], H. M. Djamaluddin, M.Kom., Sitti Tsurayya dari pernikahannya dengan H. M. Djalaluddin, SH. serta Siti Hidayati, dari pernikahannya dengan H. M. Syubli. Sedangkan dari Hj. Sitti Raihanun ZAM terlahir tujuh cucu yaitu: TGH. L. Gede Muhammad Ali Wiresakti Amir Murni, QH., Lc., M.A., Lale Yaqutunnafis, QH., S.Sos., MM., Lale Laksmining Pujijagad, M.Pd.I., [[Lalu Gede Syamsul Mujahidin|Lalu. Gede. Syamsul Mujahidin]], [[gelar|SE.]], Hj. Lale Syifa'unnufus, M.Farm., [[Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani|TGB KH. Lalu. Gede. Muhammad Zainuddin Atsani]], [[gelar|Lc]], [[gelar|M.Pd.I]] dan TGH. L. Gede Muhammad Khairul Fatihin, QH., S.Kom. dari pernikahannya dengan H. L. Gede Wiresentane.
=== Keluarga ===
Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Kakak kandungnya lima orang, yakni Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Sawdah, Hajji Muhammād Shabūr dan Hajjah Masyitah.
Ayahandanya TGH. Abdul Madjīd yang terkenal dengan penggilan "Guru Mu'minah", semasa mudanya bernama Luqmānul Hakīm merupakan seorang muballigh dan terkenal pemberani. BeliauIa pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibu Maulānāsysyāikh, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah terkenal sangat shãlihah. Luqmānul Hakīm membawa Maulānāsysyāikh ke Mekkah untuk menimba ilmu agama ketika beliauia berusia 9 tahun.
Sejak kecil al-Mukarram Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu tidaklah mengherankan bila ayah-bundanya memberikan perhatian istimewa dan menumpahkan kasih sayang yang begitu besar kepada beliaukepadanya. Ketika melawat ke Tanah Suci [[Mekah]] untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke Tanah Suci. Ayahandanyalah yang mencarikan guru tempat belajar pertama kali di Masjīd al-Harām dan sempat menemaninya di Tanah Suci sampai dua kali musim hajji. Sedangkan ibundanya Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah ikut bermukim di Tanah Suci mendampingi dan mengasuhnya sampai ibunda tercintanya itu berpulang ke rahmātullāh tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Ma’lah, Mekkah al-Mukarramah.
Dengan demikian, tampak jelaslah betapa besar perhatian ayah-bundanya terhadap pendidikannya. Hal ini juga tercermin dari sikap ibundanya bahwa setiap kali beliauia berangkat untuk menuntut ilmu, ibundanya selalu mendo'ākan dengan ucapan '''''"Mudah mudahan engkau mendapat 'ilmu yang barakah"''''' sambil berjabat tangan serta terus memperhatikan kepergiankepergiannya beliau sampai tidak terlihat lagi oleh pandangan mata. Pernah suatu ketika, beliauia lupa pamit pada ibundanya. BeliauIa sudah jauh berjalan sampai ke pintu gerbang baru sang ibu melihatnya dan kemudian memanggil beliauia untuk kembali, ''Gep, gep, gep (nama panggilan masa kecil beliaukecilnya), koq lupa bersalaman?'', ucap ibundanya dengan suara yang cukup keras. Akhirnya, beliaupunia pun kembali menemui ibundanya sembari meminta ma'af dan bersalamān. Kemudian, ibundanya berdo'ā', '''''"Mudah-mudahan anakku mendapatkan 'ilmu yang barokah"'''''. Setelah itu, barulah beliauia berangkat ke sekolah. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa betapa besar kesadaran ibundanya akan penting dan mustajabnya [[Doa|do'ā]] ibu untuk sang anak sebagaimana ditegaskan dalam Hadīts [[Rasulullah SAW|Rasūlullāh SAW]], bahwa do'ā' ibu menduduki peringkat kedua setelah do'ā' [[Rasul|Rasūl]].
== Pendidikan ==
=== Pendidikan Lokal ===
Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun [[1919]] M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, beliauia kemudian diserahkan oleh ayahandanya untuk menuntut 'ilmu agama yang lebih luas dari beberapa [[Tuan Guru]] lokal, antara lain TGH. Syarafuddīn dan TGH. Muhammād Sa'īd dari Pancor serta Tuan Guru 'Abdullāh bin [[Amaq]] Dulajī dari desa [[Kelayu]], [[Lombok Timur]]. Ketiga guru agama ini mengajarkan ilmu agama dengan sistem '''halaqah''', yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan mendengarkan guru membaca Kitāb yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid secara bergantian membaca.
=== Pendidikan di Mekah ===
Untuk lebih memperdalam 'ilmu agama, Muhammād Zainuddīn remaja kembali berangkat menuntut 'ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang kemenakan dan beberapa orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddīn. Pada saat itu beliauia berusia 15 tahun, yaitu menjelang musim Haji tahun 1341 H/[[1923]] M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid langsung mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.
=== Belajar di Masjid al-Haram ===
Beberapa saat setelah musim haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai mencarikan guru buat anaknya. Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar ditempat tersebut bernama Syaīkh Marzūqī, seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjīd al-Harām, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Disanalah Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd diserahkan untuk belajar.
Selain itu juga sempat belajar 'ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni [[Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi|Syaīkh Muhammād Āmīn al-Quthbī]] dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyīd Muhsin Al-Palembanī, seorang keturunan 'Arāb kelahiran [[Palembang]] yang kemudian menjadi guru beliaugurunya di [[Madrasah]] [[al-Shaulatiyah]].
Ketika ayah TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd pulang ke Lombok, ia langsung berhenti belajar mengaji pada Syaīkh Marzūqī, karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut 'ilmu selama ini, hal itu dikarenakan kehausan beliauia akan ilmu. Namun, sebelum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara kekuasaan Syarīf Husaīn dengan golongan [[Wahabi]].<sup>[4]</sup>
=== Belajar di Madrasah al-Shaulatiyah ===
Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam pendidikan di [[Arab Saudi]]. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia. TGKH. Muhammad Zainuddin masuk Madrasah al-Shaulatiyah pada tahun 1345 H ([[1927]] M) yang waktu dipimpin (Mudir/Direktur), [[Syaikh Salim Rahmatullah]] yang merupakan cucu pendiri Madrasah al-Shaulatiyah. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap thullab yang masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang cocok bagi thullab. Demikian pula dengan TGKH. Muhammad Zainuddin, juga ditest terlebih dahulu. Secara kebetulan diuji langsung oleh Direktur [[al-Shaulatiyah]] sendiri, [[Syaikh Salim Rahmatullah]] dan [[Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath]].
Hasil test menentukan di kelas 3. mendengar keputusan itu, TGKH. Muhammad Zainuddin minta diperkenankan masuk kelas 2 dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran ilmu [[Nahwu]] dan [[Sharaf]]. Semula Syaikh Hasan bersikeras agar TGKH. Muhammad Zainuddin masuk kelas 3, tetapi pada akhirnya melunak dan mengabulkan permohonan untuk masuk kelas 2 dan sejak itu TGKH. Muhammad Zainuddin secara resmi masuk Madrasah al-Shaulatiyah mulai dari kelas 2. Prestasi akademiknya sangat istimewa. BeliauIa berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Dengan kecerdasan yang luar biasa, TGKH. Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemubeliaun loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6, kemubeliaun pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.
Sahabat sekelas TGKH. Muhammad Zainuddin bernama Syaikh Zakaria Abdullah Bila, mengakui kejeniusannya dan mengatakan: ''Syaikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi pada waktu saya bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah Al-Shaulatiyah Mekah''.
Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah Al-Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Prestasi istimewa itu memerlukan pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di Madrasah al-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah. Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H dengan predikat "mumtaz" (''Summa Cumlaude'').
Setelah tamat dari Madrasah al-Shaulatiyah, tidak langsung pulang ke Lombok, tetapi bermukim lagi di Mekah selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Haji Muhammad Faisal/ TGH. Muhammad Faisal ''('''TGH. Muhammad Faisal'<ref>''beliau memimpin pertempuran fisik melawan kompeni Belanda/VOC, beliauia ditangkap dalam perundingan dan dibuang keluar daerah dan gugur ditempat pengasingan.''</ref> ''memimpin pertempuran fisik melawan kompeni Belanda/VOC, beliauia ditangkap dalam perundingan dan dibuang keluar daerah dan gugur ditempat pengasingan.'. Waktu dua tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh selama di Tanah Suci Mekah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, TGKH. Muhammad Zainuddin langsung melakukan safari [[dakwah]] ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya ''''Tuan Guru Bajang''''. Semula, pada tahun [[1934]] mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/[[22 Agustus]] [[1937]] mendirikan [[Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI)]] dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran [[1940]]/[[1941]].
Perjuangan dan kepemimpinan merupakan dua hal yang saling mengkait, karena perjuangan itu akan berhasil baik, apabila pola pendekatan yang dipergunakan dalam kepemimpinan itu baik. Di samping itu, kepemimpinan yang arif dan bijaksana akan menghasilkan keberhasilan perjuangan.
Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai ulama' besar di [[Indonesia]] karena ilmu yang dimiliki sangat luas dan mendalam. Demikian juga kharisma beliauia sebagai sosok figur ulama demikian besar. BeliauIa adalah tokoh panutan yang sangat berpengaruh karena kearifan dan kebijaksanaannya. Perjuangan dan kepemimpinannya senantiasa beliaurahkania rahkan untuk kepentingan umat. Penghargaan dan penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya terutama kepada guru-gurunya diwujudkan dalam bentuk yang dapat memberikan manfaat kepada umat.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa penghargaaannya kepada mahaguru yang paling dicintai dan disayangi. Maulana [[Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath]] diwujudkan dalam bentuk [[pondok pesantren]] Hasaniyah NW di [[Jenggik]], Lombok Timur. Penghargaan kepada mahagurunya Maulana [[Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi]] diwujudkan dalam bentuk Pondok Pesantren Aminiyah NW di [[Bonjeruk]] Lombok Tengah, dan penghargaan kepada Mahagurunya Maulana al-Syaikh Salim Rahmatullah dilakukan dengan mendirikan sebuah Pondok Pesantren di Lombok Timur. Pola kepemimpinan yang beliauia contohkan di atas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pemimpin yang memiliki kearifan dan kebijaksanaan.
Demikian pula tentang pendekatan yang beliauia lakukan selalu bernilai paedagogik dalam arti mengandung nilai-nilai pendidikan. BeliauIa tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai pembesar yang disegani. Belaiu selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-tengah jama'ah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan mereka. Demikian juga halnya di kala beliauia memberikan fatwanya selalu disesuaikan dengan kondisi dan jangkauan alam pikiran murid dan santerinya.
Pembawaan dan sikap hidupnya selalu menunjukkan kesederhanaan. Inilah yang membuat beliauia selalu dekat dengan para warganya dan murid-muridnya dengan tidak mengurangi kewibawaan dan kharisma yang beliauia miliki. Keluhan yang disampaikan para warga dan muridnya ditampung, didengar, dan dicarikan jalan penyelesaiannya dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
Untuk melanjutkan dan mengembangkan perjuangan [[Nahdlatul Wathan]] di masa datang, beliauia sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi dan militansi, serta loyalitas yang tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun bobot keilmuan. Dalam banyak kesempatan beliauia sering menyampaikan keinginannya agar murid dan santrinya memiliki ilmu pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lipat lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang beliauia miliki. Demikian motivasi yang selalu beliauia kumandangkan supaya murid dan santrinya lebih tekun dan berpacu dalam menuntut ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam menerima dan menghadapi para murid dan santri serta warga [[Nahdlatul Wathan]], beliauia tidak pernah membedakan antara yang satu dengan yang lain. Semua murid dan santeri serta warga [[Nahdlatul Wathan]] diberikan perhatian dan kasih saying yang sama besarnya, bagaikan cinta dan kasih saying seorang bapak kepada anak-anaknya.
Yang membedakan murid dan santri dihadapannya adalah kadar keikhlasan dan sumbangsihnya kepada [[Nahdlatul Wathan]]. Dan, untuk membina dan memonitor kualitas kader [[Nahdlatul Wathan]], beliauia mengeluarakan wasiat dalam bahasa Arab, yang artinya:
''Dengan menyebut nama [[Allah]] dan dengan memuji-Nya semoga keselamatn tetap tercurah padamu, demikian pula rahmat Allah, keberkatan, ampunan dan ridha-Nya.''
Semoga Allah membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu dan semoga ia menganugerahi kami dan kamu serta para simpatisan [[Nahdlatul Wathan]] masuk surga dan nikmat tambahan yang tiada taranya, yaitu melihat zat-Nya dari dalam surga''.''
Demikianlah, wasiat ini dikeluarkan setelah terlihat beberapa kader dari kalangan alumni Madrasah NWDI, dan mereka yang sudah beliauia biayai untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi keluar dari garis perjuangan organisasi. Tidak taat pada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi. Memang dalam rangka kaderisasi beliauia banyak memberikan bantuan kepada alumni NWDI dan orang-orang lain untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan nawaitu khusus dan perjanjian khusus pula, yaitu untuk setia membela dan memperjuangkan cita-cita NWDI, NBDI dan NW. Alhamdulillah banyaklah beliauntaraia ntara mereka yang benar-benar menepati janjinya dengan tulus. Sebaliknya ada juga yang khianat pada janjinya, tidak malu merobek-robek nawaitu pengiriman. Eksistensi dan aplikasi dari wasiat ini menjadi tolok ukur kualitas dan kader ketaatan serta keihklasan kader-kader [[Nahdlatul Wathan]].
Di samping itu, untuk mempertegas Wasiat Renungan Masa I dan II berbahasa Indonesia dalam bentuk puisi. Wasiat Renungan Masa ini berisikan nasihat, fatwa dan pedoman bagi warga [[Nahdlatul Wathan]] dalam berjuang.
Lahirnya wasitat-wasiat tersebut merupakan konsekuensi logis dari pola kepemimpinan beliauia yang selalu menekankan hubungan guru dan murid. BeliauIa adalah figur pemimpin yang selalu menekankan agar tetap terjalin dan terpelihara hubungan antara guru dan murid. Menurut prinsip beliauia bahwa tidak ada guru yang membuang murid akan tetapi kebanyakan murid yang membuang guru.
== Perjuangan ==
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemudian beliauia kembali ke Indonesia atas perintah dari guru yang paling beliauia kagumi, yakni [[Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath]], pada tahun [[1934]]. Setiba di Pulau Lombok dari Tanah Suci Mekah ke Indonesia, mula-mula beliauia mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun [[1934]] M. kemudian pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/[[22 Agustus]] [[1937]] M. beliauia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/[[21 April]] [[1943]] M. beliauia juga mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di [[Pulau Lombok]] yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut berubah nama menjadi pondok pesantren ''''Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan'''<nowiki/>'. Istilah ''''Nahdlatain'''<nowiki/>' beliauia ambil dari kedua madrasah tersebut. BeliauIa aktif berdakwah keliling desa di [[Pulau Lombok]] sekaligus mengajar.
Pada tahun [[1952]], madrasah-madrasah cabang NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumni di berbagai daerah telah berjumlah 66 buah. Maka untuk mengkoordinir, membina dan mengembangkan madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 H/[[1 Maret]] [[1953]] M. sampai dengan tahun 1997 ini lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh Organisasi Nahdlatul Wathan telah berjumlah 747 buah dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, begitu juga lembaga sosial dan dakwah islamiyah Nahdlatul Wathan berkembang dengan pesat bukan hanya di [[NTB]] melainkan juga diberbagai daerah di [[Indonesia]] seperti [[NTT]], [[Bali]], [[Jawa Timur]], [[Jawa Barat]], [[DKI Jakarta]], [[Riau]], [[Sulawesi]], [[Kalimantan]], bahkan sampai ke mancanegara seperti [[Malaysia]], [[Singapura]], [[Brunei Darussalam]], dan lain sebagainya.
* Pada tahun 1994 mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri
* Pada tahun 1996 mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi
Oleh karena jasa-jasa beliaujasanya itulah, maka pada tahun 1995 belau beliaunugerahiia nugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah. Disamping itu, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya mengadakan inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan ummat demi kebahagian di dunia maupun di akhirat.
Di antara inovasi/rintisa-rintisan beliauia adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB dengan sistem madrasi, membuka lembaga pendidikan khusus untuk wanita, mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di samping didatangi, meyelenggarakan pengajian umum secara bebas, mengadakan gerakan doa dengan berhizib, mengadakan ''syafa'at al-kubro'', menciptakan tariqat, yakni tariqat Hizib Nahdlatul Wathan, membuka sekolah umum disamping sekolah agama (madrasah), menyusun nazam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia, dan lain-alin.
Sebagai seorang Ulama' mujahid beliauia telah memberikan keteladanan yang terpuji. Seluruh sisi kehidupankehidupannya beliau, beliauia isi dengan perjuangan memajukan agama, nusa dan bangsa. Tegasnya, tiada hari tanpa perjuangan. Itulah yang senantiasa terlihat dan terkesan dari seluruh sisi kehidupankehidupannya beliau yang patut dicontoh dan diteladani oleh seluruh pengikut dan murid beliauia .
== Karya ==
Al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku ulama' pewaris para [[Nabi]], di samping menyampaikn dakwah ''bi al-hal wa bi al-lisan'', juga tergolong penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliauia sebagai pengarang ini tumbuh dan berkembang sejak beliauia masih belajar di Madrasah Shaulatiyah Mekah. Namun karena banyaknya dan padatnya kegiatan keagamaan dan keasyarakatan yang harus diisi maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. Kendatipun demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, beliauia masih sempat mengarang beberapa kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak.
=== Dalam bahasa Arab ===
== Wafat ==
Tarikh akhir [[1997]] menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, [[21 Oktober]] [[1997]] M / 18 [[Jumadil Akhir]] 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kebeliauman beliauia di desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliauia tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.
BeliauIa adalah ulama pewaris para nabi. BeliauIa sangat berjasa dalam mengubah masyarakat NTB dari keyakinan semula yang mayoritas [[animisme]], dan [[dinamisme]] menuju masyarakat NTB yang islami. Buah perjuangan beliauia jugalah yang menjadikan Pulau Lombok sehingga dijuluki Pulau Seribu Masjid. Karena di seluruh kampung di Lombok pasti kita temukan masjid untuk tempat ibadah dan acara sosial, baik yang berukuran kecil maupun besar.
Perjuangan beliauia dalam menegakkan syiar Islam dan pendidikan di bumi Indonesia tidak boleh terhenti begitu saja, namun harus terus dilanjutkan oleh siapa saja, baik umat muslim Indonesia secara keseluruhan dan masyarakat [[Sasak]] pada umumnya, maupun oleh kader-kader Nahdlatul Wathan yang telah dididik melalui lembaga-lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan serta seluruh warga Nahdlatul Wathan (abituren, pencinta dan simpatisan) pada khususnya.
Akhirnya, memperhatikan seluruh riwayat kelahiran, pendidikan, dan perjuangan Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Madjid baik untuk masyarakatnya dan negaranya, sehingga tokoh-tokoh daerah setempat setuju dan berusaha memperjuangkan BeliauIa <sup>[5]</sup> agar beliauia bisa diangkat sebagai Pahlawan Nasional dalam bidang Pendidikan dan Gerakan Kepemudaan. Pada hari Kamis, 9 November 2017 bertempat di Istana Negara, beliauia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Empat tokoh yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo yakni almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TKGH) Muhammad Zainuddin Madjid asal Lombok Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana [[Malahayati]] asal Aceh, almarhum [[Sultan Mahmud Riayat Syah]] asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof. Drs. [[Lafran Pane]] asal Daerah Istimewa Yogyakarta.
== Pranala luar ==
|