Pengguna:Pradana26/Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pradana26 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis VisualEditor
Pradana26 (bicara | kontrib)
←Mengosongkan halaman
Tag: Mengosongkan Pengembalian manual VisualEditor
 
Baris 1:
Melihat kasus korupsi yang terjadi sepanjang Indonesia merdeka, di periode Reformasilah yang terang-terangan muncul ke permukaan. Kasus itu bukan sekadar terlihat di publik, melainkan dibicarakan dan disidangkan sepengetahuan masyarakat. Hal berbeda terjadi saat periode Orde Baru, karena kasus korupsi terjadi secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, namun tindakan untuk menyuarakan hal itu malah mendapatkan respons negatif dari pemerintah dengan sikap represi.
 
 
KPK sebagai komisi bertindak melakukan pencegahan, pengawasan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan sebagai upaya pemberantasan korupsi yang terjadi di instansi negara, baik di tingkat bawah (tingkat daerah I dan II), tingkat menengah, dan tingkat atas (lembaga pemerintahan) (“Sekilas KPK,” 2020). KPK membagi korupsi ke dalam 30 jenis dan 7 klasifikasi untuk tindak pidana korupsi. Jenis korupsi tersebut antara lain melibatkan pejabat negeri, publik, dan sipil seperti pegawai negeri, hakim, advokat, pemborong atau kontraktor, pengawas proyek, rekanan TNI/Polri, pengawas rekanan TNI/Polri, penerima barang TNI/Polri, pihak yang merintangi proses pemeriksaan, seperti tersangka, saksi, bank, ahli, atau pihak lain. Di sini pihak-pihak yang menghalang-halangi upaya KPK dalam pemberantasan korupsi juga dimasukan ke dalam jenis korupsi itu sendiri. Klasifikasi untuk korupsi antara lain kerugian uang negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi (“Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!,” 2022).
 
 
Varian korupsi yang disebutkan di atas berdasarkan lembaga anti korupsi di Indonesia. Tindak pidana korupsi yang sering muncul dan diperbincangkan publik adalah kerugian uang negara, suap menyuap, dan penggelapan dalam jabatan. Sejak tahun 2004 sampai Oktober 2022 KPK mencatat sekitar 1.310 tindak pidana korupsi telah ditangani. Menurut data statistik yang disajikan Katadata, sejak tahun 2004 sampai 2018 terjadi tren peningkatan kasus korupsi. Jumlah kasus korupsi terendah pada tahun 2004 dengan hanya 2 kasus, kemudian meningkat hingga ke titik tertinggi di 199 kasus pada tahun 2018. Setelah tahun 2018 terjadi tren penurunan hingga tahun 2020 pada angka 91 kasus tindak pidana korupsi (Annur, 2022b).
 
 
Kasus penyuapan menjadi kategori kasus tindak pidana korupsi terbanyak yang ditangani KPK dengan jumlah 867 kasus, kemudian disusul kasus pengadaan barang dan jasa sebanyak 274 kasus. Mayoritas tindak pidana korupsi tersebut terjadi di instansi pemerintah tingkat kabupaten/kota dengan total 537 kasus tindak pidana korupsi, lalu diikuti oleh kementerian/lembaga setingkat menteri sebanyak 406 kasus, dan pemerintah provinsi sebanyak 160 kasus (Annur, 2022b). Data fantastis yang dicatat KPK itu menunjukkan bahwa korupsi paling marak terjadi di tingkat bawah atau kabupaten/kota sehingga pemerintahan tingkat bawah dapat dikatakan potensial melakukan tindakan pidana korupsi. Terjadi tren kenaikan kasus tindak pidana korupsi dari tahun 2015 sampai tahun 2021. Pada tahun 2015 tercatat 10 kasus, sedangkan di tahun 2021 mencapai puncaknya dengan catatan sebanyak 74 kasus (“Statistik TPK Berdasarkan Instansi,” 2022).
 
 
Selain itu, ada juga korupsi politik yang didefinisikan melalui perspektif klasik sebagai kaitan masalah sumber kekuasaan dan hak moral penguasa, seperti yang telah dijelaskan oleh Lord Acton bahwa semua kekuasaan memiliki kecenderungan untuk korup dan korupsi absolut akan terjadi bila kekuasaan mutlak diterapkan (Adelina, 2019, p. 62). Bentuk-bentuk korupsi politik antara lain penyuapan, menjual pengaruh (''trading in influence''), pembelian suara, nepotisme/patronase, dan pembiayaan kampanye. Bentuk terakhir memiliki potensi-potensi terjadinya korupsi (Adelina, 2019, pp. 69–72).
 
 
Pemerintah memiliki potensi sangat besar dalam melakukan tindak pidana korupsi,berkaca pada sifat kekuasaan yang telah dijelaskan oleh Lord Acton dan melihat jumlah kasus yang terjadi di era Reformasi. Kasus korupsi yang ditangani oleh KPK mengalami peningkatan pasti menegaskan birokrasi Indonesia memiliki tendensi untuk korup. KPK sebagai komisi yang menangani kasus-kasus korupsi memiliki kewenangan khusus dalam melaksanakan tugasnya. Pembatasan-pembatasan seperti mempersempit ruang gerak, pemotongan akses, intervensi hukum, dan hal-hal lain yang dianggap membatasi atau bahkan merintangi kerja-kerja KPK dianggap sebagai upaya untuk melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.
 
 
Pelemahan KPK ini dapat ditarik mundur jauh sebelum era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), yaitu pada tahun 2009 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ada sembilan kali upaya untuk merevisi UU KPK yang selalu muncul dari DPR, pengajuan itu selalu berujung kegagalan karena upaya merevisi regulasi tersebut ditolak SBY. Wewenang yang selalu dipertanyakan oleh legislatif dan eksekutif sejak tahun 2019 di bawah pemerintahan Jokowi adalah penyadapan yang dilakukan KPK. Akhirnya pada akhir tahun 2019 revisi UU KPK disahkan meski ada penolakan dari berbagai pihak, hal ini karena kolaborasi antara pemerintah eksekutif dan legislatif yang sepakat untuk melemahkan KPK (Kalalinggi, 2021, p. 112).
 
 
Masyarakat mulai curiga terhadap upaya-upaya pelemahan KPK pada tahun 2021, status pegawai KPK berubah menjadi pegawai negeri atau Aparatur Sipil Negara (ASN) membuat beberapa pegawai yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak dapat melanjutkan kerjanya (Kalalinggi, 2021, p. 110). Hal tersebut juga mengindikasikan adanya intervensi pemerintah dalam afiliasi atau keberpihakan KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia, dan Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada melalui terbitannya menyebutkan bahwa revisi UU KPK pada tahun 2019 akan berakibat runtuhnya independensi kelembagaan, KPK yang sebelumnya lembaga independen menjadi lembaga pemerintah. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diketok palu secara kilat, keduanya disahkan karena KPK dianggap menganggu atau bahkan menghambat iklim investasi yang tengah tumbuh di Indonesia. Hal ini menyebabkan KPK sebagai lembaga independen dapat ditundukkan pemerintah, terlebih sejak tahun 2019 pemerintah tidak menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas (Indonesia Corruption Watch, Transparency International Indonesia, & Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2021, p. 7).
 
 
KPK sebelum revisi UU dapat melakukan penindakan dengan leluasa, namun independensinya sebagai lembaga pemberantas korupsi menjadi dikooptasi oleh pemerintah karena memasukkannya ke dalam bagian dari pemerintah itu sendiri. Ada beberapa aspek yang sebelumnya menjadi wewenang dan KPK dapat melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dengan leluasa dalam upaya pemberantasan korupsi seperti model kelembagaan, konsep kepegawaian, intervensi aparat penegak hukum lain, sampai tindakan individu komisioner (Indonesia Corruption Watch et al., 2021, p. 14). Sehingga revisi UU KPK dinilai sebagai upaya untuk melemahkan posisi KPK dalam memberantas korupsi secara independen, dengan menjadikan KPK bagian dari pemerintah, sehingga wewenang dan aksesnya terhadap kasus tindak pidana korupsi dapat dibatasi sedemikian rupa.
 
 
Melemahnya menjadi salah satu indikator melemahnya demokrasi di Indonesia. Hal ini terlihat dari turunnya indeks demokrasi di Indonesia menurut laporan dari The Economist Intelligence Unit (EUI) sejak tahun 2015. Indeks demokrasi Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2015 dengan memperoleh skor 7,03 dan kemudian menurun di tahun-tahun berikutnya (Annur, 2021). Penurunan ini skor indeks demokrasi di era Jokowi juga disinyalir ada kontribusi upaya pelemahan KPK terhadap penurunan tersebut.
 
 
Menurut Mahdi dan Pratiwi korupsi adalah hambatan dalam mengupayakan demokrasi di Indonesia. Reformasi membawa agenda demokrasi yang berkelindan dengan upaya meruntuhkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di era Orde Baru. Kasus korupsi yang masih terjadi pasca Orde Baru atau era Reformasi ini menunjukkan bahwa transisi demokrasi berjalan terlampau lambat, bahkan bisa saja tidak akan bermuara kepada demokrasi yang sesungguhnya. Menggunakan pendekatan Al-Attas, maka korupsi di Indonesia era Reformasi adalah budaya korupsi, ini berbeda dari dua periode sebelumnya saat Orde Lama dan Orde Baru yang secara berturut-turut adalah korupsi terbatas dan korupsi yang merajalela (Mahdi & Pratiwi, 2010).
 
 
Sehingga korupsi yang tetap tinggi di era Reformasi meskipun telah ada lembaga khusus yang bertugas untuk memberantas korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi yang telah membudaya membuat demokrasi tidak berjalan sesuai dengan harapan reformis pada tahun 1998 saat menumbangkan Orde Baru. Bukan saja korupsi yang telah menjadi budaya, ada pihak-pihak yang berusaha untuk melemahkan KPK dengan berbagai alasan, baik untuk melancarkan upaya korupsi ataupun melancarkan investasi di negeri ini.
 
 
Endarto menyebutkan beberapa alasan yang menyebabkan KPK mengalami kesulitan, bahkan sebelum upaya pelemahan terhadap KPK disahkan akhir-akhir ini. Kinerja KPK yang terbatas dan kurang maksimal disebabkan oleh keterbatasan personel yang bertugas, rivalitas penegak hukum, serangan balik koruptor, pengadilan tindak pidana korupsi lemah dan vonis ringan, grasi presiden untuk koruptor, citra buruk oknum KPK, konflik internal dan KPK (Endarto, 2014). Berdasarkan alasan yang telah disebutkan Endarto, upaya pelemahan KPK termasuk ke dalam kategori serangan balik koruptor. Usaha ''counter attack'' itu akan berdampak pada menurunnya kinerja KPK. Kasus-kasus korupsi akan terjadi di belakang layar tanpa pengusutan, namun keadaan pemerintahan tentu saja tidak baik. Praktek korup ini nantinya hanya akan merugikan masyarakat, karena anggaran tidak terserap sebagaimana mestinya.
 
 
Emerson Yuntho memberikan detail upaya pelemahan terhadap KPK antara lain ''judicial review'' UU yang mengatur KPK, seleksi pimpinan KPK, ancaman bom, wacana pembubaran, penolakan pengajuan anggaran KPK, serangan legislasi, pembatasan wewenang penyadapan, penarikan penyidik dan auditor, audit BPKP, dan masih banyak lagi. Ada 15 kasus pelemahan terhadap KPK, yaitu penangkapan pimpinan KPK, penangkapan dan penarikan penyidik KPK, fasilitas dan anggaran minim, pelemahan lewat seleksi pimpinan, judicial reviev dan wacana revisi, putusan praperadilan, UU KPK dalam RKHUP, dan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK. Penangkapan pimpinan KPK seperti proses hukum yang telah terjadi kepada Antasari Ashar, Binit Samad Rianto, Chandra Martha Hamzah, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto membuat proses pemberantasan korupsi terhambat bahkan berhenti total. Upaya lain juga muncul dari lembaga legislatif, saat kasus Antasari Ashar diperbincangkan publik, Komisi III DPR mengatakan bahwa KPK tak lagi memiliki fungsi kolektif kolegial (Arliman S, 2018, pp. 258–262).
 
 
Muttaqin dan Susanto mencontohkan bahwa serangkaian serangan balik dari koruptor yang menjadi bagian dari upaya melemahkan KPK dapat terlihat dari kasus Cicak vs Buaya yang totalnya ada 3 jilid (3 kali berturut-turut). Ini terjadi pada tahun 2009, 2012, dan 2015 yang disebabkan usaha KPK mengusut kasus tindak pidana korupsi di lingkungan kerja kepolisian. Intervensi polisi dalam pengusutan yang dilakukan KPK adalah bentuk tindakan ''corruptor fight back'' dan secara langsung melemahkan kedudukan KPK sebagai lembaga yang berwenang. Secara lebih lanjut Muttaqin dan Susanto memberikan analisis tentang pihak potensial melakukan serangan balik, yaitu koruptor itu sendiri, pihak yang berpotensi diusut kasusnya, dan pihak yang memang menghalangi proses pengusutan tindak pidana korupsi (Muttaqin & Susanto, 2018). ICW dalam laporannya tahun 2021 melakukan upaya advokasi untuk melawan upaya pelemahan terhadap KPK, bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi membawa permasalahan TWK ke lembaga, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Keduanya sepakat bahwa masalah tes tersebut perlu adanya penanganan dan peninjauan ulang, namun menurut ICW penyingkiran 57 anggota KPK melalui TWK adalah agenda politik. Sehingga rekomendasi dari Komnas HAM dan ORI tidak digubris oleh KPK (Indonesian Corruption Watch, 2022).
 
 
Demokrasi yang didambakan semua orang di Indonesia dapat dicederai dengan beberapa faktor, kemudian berubah menjadi ancaman yang akan menurunkan demokrasi. Melihat dengan perspektif global di dunia ada beberapa hal yang mengancam demokrasi antara lain ketimpangan ekonomi, korupsi, perusahaan global, batas kebebasan berbicara, campur tangan pemilu, perusahaan besar teknologi, dan kecurangan pemilu. Korupsi menjadi peringkat kedua dengan potensi ancaman sebesar 66% (Annur, 2022a). Indeks persepsi korupsi Indonesia mengalami tren peningkatan dalam 20 tahun terakhir sejak tahun 2001. Indeks persepsi korupsi berskala 0 hingga 100, dengan 0 sebagai indikator sangat korup dan 100 mewakili bebas dari korupsi. Indonesia mengalami kemajuan yang lumayan berarti dalam menurunkan indeks ini. Namun skor di bawah 50 menunjukkan negara masih bergelut melawan korupsi yang tak kunjung tuntas. Indonesia sendiri berada di urutan 96 dari 180 negara, sedikit lebih baik daripada tahun sebelumnya yang menempati urutan 102 (Pahlevi, 2022). Suyatmiko melihat keterkaitan antara indeks persepsi korupsi dengan situasi pandemi Covid-19, hal ini terlihat pada menurunnya indeks di tahun 2020 dari angka 40 menjadi 37 (Suyatmiko, 2021, p. 173).
 
 
Membaiknya indeks persepsi korupsi diiringi pula dengan naiknya indeks demokrasi di Indonesia. Kaitan dua indeks ini kemudian menjadikan bahwa naik atau turunnya indeks persepsi korupsi berpengaruh terhadap angka indeks demokrasi. Dengan kata lain secara teori, apabila kualitas demokrasi negara tinggi dan ditambah pasar yang diperkuat mesin antikorupsi (KPK) yang agresif, tentu membuat pemberantasan korupsi semakin efektif (Umam, 2019, p. 5). Penurunan korupsi inilah yang kemudian akan membuat indeks demokrasi membaik. Upaya-upaya untuk melemahkan KPK tentu akan membuat penanganan dan pengusutan kasus korupsi menjadi sulit. Berakibat pada maraknya kasus tindak pidana korupsi. Lebih lanjut, maraknya kasus korupsi akan menurunkan indeks demokrasi Indonesia.
 
 
Dapat dikatakan bahwa pelemahan KPK mempengaruhi demokrasi, dan melemahnya KPK berbanding lurus dengan melemahnya demokrasi di Indonesia. Sehingga diperlukan upaya khusus untuk mengembalikan independensi serta wewenang KPK untuk melakukan penanganan dan pengusutan kasus korupsi di berbagai instansi, terutama lembaga pemerintahan yang berpotensi korupsi. Pengusutan kasus-kasus korupsi di Indonesia, kemudian diikuti penurunan jumlah kasus akan dapat mengembalikan kepercayaan publik, lalu berimplikasi kepada terwujudnya demokrasi yang diinginkan oleh reformis 1998 dan masyarakat Indonesia.