Masjid Raya Ganting: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 69:
=== Hindia Belanda ===
Sebagai masjid terbesar di Minangkabau pada awal abad ke-20, Masjid Raya Ganting pernah menjadi arena perdebatan dan perebutan pengaruh antara [[ulama Minangkabau]] yang terbagi menjadi Kaum Tua dan Kaum Muda.<!--
istilah “Kaum Muda” dan “Kaum Tua” muncul setelah pertemuan di rumah Haji Jamil di Kampung Pondok Padang antara dua kelompok, yakni kelompok ulama tua di kota Padang, yaitu Syaikh Khatib Muhammad ‘Ali al-Fadani, Syaikh Muhammad Dalial (Tuanku Syaikh Bayang), Tuanku Syaikh Khatib Saidina, Syaikh Muhammad Thaib Seberang Padang dan Tuanku Imam Masjid Gantiang Padang dengan kelompok ulamamuda yang terdiri dari Haji Abaz Daud Balingka (Inyik Balingka), Haji Abdullah Ahmad Padang Panjang dan Haji Abdul Karim Amrullah Maninjau yang menudian dimasyhurkan orang dengan Inyik Rasul. Pertemuan ini mendebatkan persoalan tarekat dan rabithah.--> Perbedaan pandangan dalam masalah [[ikhtilaf]] hingga metode menentukan awal bulan
Pada 1909, Abdullah Ahmad pindah mengajar dan mendirikan [[Adabiyah School]]. Meski tidak lagi mengajar di masjid, Abdullah Ahmad memiliki pengaruh luas. Imam Masjid Raya Ganting bernama Haji Talib menjadi pengikutnya. Pada 1919, Kaum Tua yang dipimpin oleh [[Khatib Muhammad Ali bin Abdul Muthalib|Syekh Khatib Ali]] berusaha mengganti kedudukan Haji Talib sebagai imam, tetapi gagal. Kaum Tua menolak Haji Talib lantaran tidak mengeraskan membaca [[niat]] salat dan mengikuti perhitungan awal bulan Ramadhan dengan metode hisab. ''[[Oetoesan Melajoe]]'' melaporkan bahwa terdapat ratusan orang yang salat di [[Masjid Istighfar|Surau Syekh Khatib Ali]] karena tidak mau mengikuti salat Jumat yang dipimpin oleh Haji Talib—padahal surau bukan tempat salat Jumat. Penguasa lokal di Padang mendamaikan kedua belah pihak dan mengatakan bahwa masjid adalah kepunyaan nagari, boleh dipakai Kaum Muda dan Kaum Tua. [[Bertram Johannes Otto Schrieke|BJO Schrieke]], pejabat Hindia Belanda di Padang, turun tangan dan memberikan solusi agar Masjid Raya Ganting memiliki dua imam, masing-masing mewakili Kaum Tua dan Kaum Muda.{{sfn|Darwis|2013|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JUtODwAAQBAJ&pg=PA44&dq=%22masjid+agung+*+padang%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwinoL7AnpHpAhUwlEsFHf2jDyIQ6AEIKzAA#v=onepage&q=masjid%20agung&f=false 44]}} Namun, perseteruan antara dua kelompok tetap berlangsung hingga beberapa tahun berikutnya.{{sfn|Cholik|2008|pp=99–112}}{{sfn|Fernando|2017|pp=67}}[[Berkas:Padang - Missigit.tif|al=|jmpl|272x272px|Masjid Raya Ganting pada awal abad ke-20]]Dalam suatu rentang waktu, Masjid Raya Ganting pernah dimanfaatkan sebagai tempat bimbingan [[Manasik Haji|manasik haji]]{{sfn|Zein|1999|pp=71}} sekaligus tempat embarkasi bagi jemaah calon haji sebelum berlayar dari [[Pelabuhan Teluk Bayur]] ke Jeddah.{{sfn|Republika|15 Maret 2012}} Materi bimbingan diberikan oleh seorang guru yang berasal dari Timur Tengah bernama Syekh Abdul Hadi atau dijuluki Tuanku Syekh Arab.{{sfn|Oetoesan Melajoe Perobahan|6 Juni 1923}}{{sfn|Hamka|1982|pp=[https://books.google.co.id/books?id=tLYXAAAAIAAJ&q=%22Tuanku+Syekh+Arab%22.&dq=%22Tuanku+Syekh+Arab%22.&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiit9qA647pAhUUeisKHad7B3oQ6AEIKDAA 135]}} Ia merupakan menantu Syekh Khatib Ali. Saat propoganda [[komunisme di Sumatra]] kian kuat, Syekh Abdul Hadi memberikan khotbah Jumat dalam bahasa Melayu di masjid, disaksikan polisi Hindia-Belanda, yang berisi ajakan untuk tidak ikut dalam gerakan komunis.{{sfn|Historia.id|10 Mei 2019}} Belakangan, ia terlibat perdebatan masalah ikhtilaf dengan [[Adam B.B.|Syekh Adam Balai-Balai]] di Padang Panjang. Pada suatu waktu, ia berkhotbah di mimbar Masjid Raya Ganting sambil membawa kapak dan berseru mengancam Syekh Adam. Peristiwa ini membuatnya diamankan oleh polisi dan dikirim ke rumah sakit jiwa di [[Kota Sabang|Sabang]].{{sfn|Hamka|1974|pp=30–31}}
|