Arbitrase: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 125:
dianggap perlu oleh Majelis atau arbiter.Putusan akhir paling lama ditetapkan dalam kurun waktu 30 hari sejak ditutupnya persidangan. Sebelum memberi putusan akhir, Majelis atau arbiter juga memiliki hak untuk memberi putusan-putusan pendahuluan atau putusan-putusan parsial. Namun, bila dirasa diperlukannya perpanjangan waktu untuk menetapkan putusan akhir menurut pertimbangan Majelis atau arbiter, maka putusan akhir dapat ditetapkan pada suatu tanggal berikutnya. (Prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase, 2017)
== Dasar Hukum Arbitrase di Indonesia ==
Beberapa serangkaian peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis arbitrase di Indonesia adalah:
* Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan pasal 3.
* Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1).
* Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
* Pasal 615-651 Rv.
* Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.
Keberadaan lembaga arbitrase ini telah mempunyai landasan yuridis/ dasar hukum yang tetap dalam sistem hukum nasional Indonesia. M. Yahya Harahap menyebutkan tiga dasar hukum lembaga ini, yaitu: (1) Landasan Titik Tolak Arbitrase: Yaitu pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg yang berbunyi: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. (2) Landasan Umum Arbitrase: Yaitu Buku Ketiga Reglemen Hukum Acara Perdata atau Rv, dimulai dari pasal 615 s/d pasal 651 Rv. (3) Landasan Arbitrase Asing: Ketentuan arbitrase yang diatur dalam Rv sama sekali tidak menyinggung tentang arbitrase asing. Seolah-olah peraturan ini mengucilkan bangsa Indonesia dari lingkungan kehidupan hubungan antar negara di bidang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan arbitrase asing ini, pemerintah memotivasi untuk mengaturnya yang dapat dilihat dari konvensi-konvensi internasional dimana Indonesia telah meratifikasinya seperti International Center for the Sattelment of Investment Dispute (ICSID) dengan undang-undang Nomor 5 tahun 1968.
Dalam pasal 5 angka 1 UU No 30 tahun 1999 disebutkan bahwa Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa.
Menurut UU No 30 tahun 1999 pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga arbitrase akan menghasilkan Putusan Arbitrase. Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999, arbiter atau majelis arbitrase untuk segera menjatuhkan putusan arbitrase selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan sengketa oleh arbiter. Jika didalam putusan yang dijatuhkan tersebut terdapat kesalahan administratif, para pihak dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan diberikan hak untuk meminta dilakukannya koreksi atas putusan tersebut. Putusan arbitrase merupakan putusan pada tingkat akhir (final) dan langsung mengikat para pihak. Putusan arbitrase dapat dilaksanakan setelah putusan tersebut didaftarkan arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri. Setelah didaftarkan, ketua pengadilan negeri diberikan waktu 30 hari untuk memberikan perintah pelaksanaan putusan arbitrase.
== Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase ==
|